Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Reportase Rikson Karundeng: "Tuama, Sukma dan Diskusi Mawale".

Danau Tondano dilihat dari Puncak Tampusu

Perbukitan Maesa Unima Tondano tampak penuh geliat, dari Blok A No.18, bertuliskan GERAKAN MINAHASA MUDA, terdengar alunan syahdu “Oh Ina Ni keke” dari sepasang X tech Super Woofer speaker yang mungil. Tapi Sang surya seakan tak peduli dan terus mendekati pembaringannya. Tiba-tiba weker menari sambil mendentangkan lonceng tiga kali. Sukmapun terkejut dan segera mengusik raga Si Tuama yang asik dengan tarian jemarinya di atas keyboard SPC usang. “Hei, mo ka Sonder torang ato nyanda ? So jam tiga ini Tuama !” Tendangan itu direspons Tuama yang secepat kilat mengarahkan krusor ke titik merah bertuliskan Turn Off.

Jaket kulit beraroma tiga macam (Casablanca, Daia plus Keringat) yang selalu setia menemani Tuama, langsung lengket di badannya dan dari luar, Shogun 125 menatap Tuama seakan dia tahu kini saatnya ia mengemban tugas selanjutnya. Saat tombol starter di tekan, stir hendak diarahkannya ke Tomohon, namun tiba-tiba Sukma menyelanya “Iko Gunung Tampusu jo torang. Selain dekat, torang lei boleh menikmati keindahan Tanah Minahasa dari sudut yang kadang Tou Minahasa ambe”.

Penuh gairah sukma berpacu dan sesekali ia meledek si Shogun 125 “Se lia angko pe jago,” dan Si Tuama mulai memainkan tali gas seolah memaksa mereka untuk bergegas menerjang pegunungan Tampusu dari wilayah Romboken. Betapa terpukaunya sukma tatkala puncak Tampusu ditaklukkan dan Tuama memalingkan wajahnya ke arah Danau Tondano. “Ternyata Danau Tondano memiliki pesona tersendiri kalu torang mo lia dari wilayah pegunungan Tampusu, ruwarrrrrr biacaaaa…..”, decak sukma dibalas anggukan Si Tuama seolah memahami betul apa yang dirasakan sukma.
Lembah Minahasa Tengah. Tampak Soputan tertutup awan.

Setelah sedikit memacu ke depan si Shogun, sukma kembali tersentak ketika Tuama sedikit mengarahkan pandangannya ke kiri dan tampak hamparan perkebunan Tou Minahasa di lembah yang luas di wilayah Minahasa Tengah, dengan lukisan Gunung Soputan di belakangnya. Wilayah yang menggoda mata itu memaksa Tuama menginjak rem dan berhenti sejenak untuk mengabadikan karya Agung Opo Empung itu. Tepat di ujung pandangan mata di ufuk timur, Pegunungan Lengkoan yang tampak masih perawan ikut juga memancarkan pesonanya.
Pegunungan Lengkoan dilihat dari Wanua Kasuratan.

Saat hendak menuruni lembah Tampusu menuju Wanua Leilem, Shogunpun kembali berhenti, “Stop bos ! Nyaku yakin ini bukang tampa ba teru akang Cap Tikus, soalnya depe pipa basar-basar. Oh nyaku tau, ini lokasi eksplorasi PT Pertamina Geothermal Lahendong,” Kata Sukma dan kembali di balas dengan anggukan oleh Si Tuama. “Angko tau Tuama, menurut yang nyaku tau, di sini kata tersimpan energi setara dengan 313 megawatt listrik. Haa, pembangkit listrik tenaga panas bumi ini so beroperasi deri taong 1996. Pembangkit listrik geothermal ini ka tiga di Indonesia setelah Kamojang, Jawa Barat, deng Sibayak, Sumatra Utara. Mar kata, sampe skarang pengolahan potensi geothermal di Lahendong, belum sepenuhnya tuntas. So itu pengeboran masih terus dorang ja lakukan. Dong bilang kata, uap panas bumi yang Pertamina Geothermal da gale, dorang salurkan ka pembangkit listrik negara wilayah Sulut. Depe kapasitas sebesar 60 ribu megawatt yang dialirkan mencakup amper 40 persen kebutuhan listrik masyarakat Sulut. Mantap to ? Mar lebeh mantap waktu lalu ada masyarakat da ba demo lantaran tako jang ini wilayah jadi sama deng di Lapindo. Oh rekey, kalu butul jadi, deng Fredi Wowor pe Sonder ona’ boleh ta tutu, hehehe….”
Kompleks Sumur PT Pertamina Geotermal Lahendong di atas Wanua Leilem (Di sebelah selatan Waua Tondangow)

Di sekitar lokasi Pertamina Geothermal Lahendong, ada juga sebuah kompleks bangunan yang bagian depannya bertuliskan Pabrik Gula Aren Masarang. “Ha…kalu ini pabrik ja menghasilkan berbagai jenis produk. Waktu tahap awal dorang konsentrasi di tiga jenis gula. Pertama gula semut, karena harga ekspor tertinggi, baru gula merah cetak, kong gula kristal Aren mas. Khusus untuk produksi gula kristal aren murni melalui proses modern di pabrik ini, merupakan yang pertama kali di dunia. Hasil sampingan pabrik adalah pati, ragi, dan molasses. Molasses dijadikan lagi ethanol, minuman obat, rum, kecap, makanan ternak, medium jamur, kompos, dll. Sehingga sama sekali tidak ada sisa produksi atau sampah dari pabrik ini. Proses pembuatan gula sendiri pula sama sekali tanpa menggunakan bahan kimia seperti di proses gula tebu. Waktu lalu nyaku dengar, untuk produksi satu shift karyawan, dapat dihasilkan 3 ton gula per hari yang berasal dari sekitar 26.000 liter nira segar per hari. Sebenarnya kata, persediaan nira di Tomohon saja masih jauh lebih besar. Untuk dapat menampung produksi yang jauh lebih besar pabriknya akan diperluas dengan dana dari Menkokesra, sehingga produksi pabrik akan mendekati 15 ton per hari dan lebih dari 10.000 lapangan kerja baru akan tercipta. Mantap, apalei dorang giat deng program penanaman aren. Ini tantu Om Bert Polii deng Om Frangky Maramis stuju skali. Mar, ta dengar skarang kata ini pabrik da ta brenti sementara. Ato lama wona kang ? Depe jelas ngoni tanya jo langsung pa Tanta Syeni Watulangkow ato pa Om Willy Smits. Angko ja dengar lei da ja bilang Tuama ato so nda ? Soalnya angko so dapa lia manganto. Capat jo dang jang tu tamang-tamang Mawale Movement somo ba tunggu lama !”
Pabrik Gula Aren Masarang
Lokasi Pengeboran Minyak Bumi oleh pertamina, tapi tidak dilanjutkan karena banyak alat rusak, termasuk bor patah. Fredy bilang, menurut kepercayaan masyarakat di lokasi tersebut memang tidak boleh sembarang diutak-atik.

Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wita saat Si Tuama dan Sukma memasuki Wanua Sumonder. Maksud mereka hendak mengabadikan Lembah Sonder Bawah saat sunset, sayang langit mendung seakan belum memberi mereka kesempatan “Sabar jo Tuama jang kecewa, satu kali torang mo dapa tu moment terbaik itu,” kata Sukma seakan menghibur Si Tuama yang memang tampak sudah mulai lunglai. Namun, Si Tuama kembali bergelora saat memasuki rumah keluarga Wowor yang telah dibangun sejak tahun 1955 itu, tatkala melihat Fredy Wowor (Makawale), Ompi Stlight dan Ian (Amurang) beserta Denni Pinontoan (Tomohon) telah menanti dengan riang. Belum lagi, kopi hangat dan pisang goroho rubus yang tampak memang sudah menanti Si Tuama dan sukma. “Tabea !” sebuah sapaan hangat yang didorong Sukma, keluar dari Si Tuama.
Ini salah satu Perpustakaan Mawale Movement yang ta bongkar koleksi Fredy Wowor. Ini so amper 10 ribu judul.

Tak berapa lama, Greenhill Weol (Tareran) Chandra Rooroh (Treman) Charli Samola (Kalawat), Billi Manoppo (Manado Tua), Alan Umboh (Bitung), Inggrid Pangkey (Manado), Jendri Koraag (Koha), Bodewyn Talumewo (Poopo Motoling), Karlos Pesik (Sonder), ta sopu di lokasi tampa diskusi Mawale Movement 9 April 2010.
Suasana Diskusi. Billy, Charly, Green dan Fredy.

Kopi semakin dingin namun diskusi Mawale mulai bergulir semakin hangat. Malai dari mengkaji buku Iones Rakhmat "Membedah Soteriologi Salib" tentang Yesus Historis. Pertanyaan dan pernyataan yang muincul dari topic ini adalah, membedah soteriologi salib sama dengan membedah kekristenan (Barat) itu sendiri! Ketika soteriologi ini berhasil diruntuhkan dan dinyatakan tidak absah, maka apakah kekristenan juga runtuh dan menjadi tidak absah? Ya, kekristenan yang berfondasi pada soteriologi salib memang runtuh; tetapi penulis buku ini menurut Denni Pinontoan, membangunnya kembali dari keruntuhannya dengan mengajukan soteriologi-soteriologi alternatif yang tersedia dan yang tetap setia pada Yesus dari Nazaret. Pukul 18.00 Wita, topik berganti ke soal Pergerakan Pemuda GMIM kini hingga kelanjutan “Skolah Mawale” yang rencananya bulan berikut akan di gelar di Lewet Amurang.
Suasana Diskusi. So lebe Panas. Bode, Fredy, Karlos, Alan, Inggrid, Jendri.
Suasana Diskusi. Jendryi, saki kapala, Ompi Stres, Denni Tegang.

Dikusi semakin hangat ketika salah satu aktifis Mawale yang kini giat dengan YDRInya, Andre GB tiba dari Bolaang Mongondow. Nama Giroth Wuntu kembali diperbincangkan waktu mendiskusikan Buku Andre yang segera akan terbit "Menganyam Cerita dari Benang Kebisuan" yang berisi tentang kesaksian-kesaksian para eks PKI, kajian HAM. Perdebatan karena perbedaan pendapat, sejumlah fakta dan data terungkap hingga usulan-usulan yang direkomendasikan untuk Andre, cukup menguras energi. Diskusi terpaksa harus berhenti pukul 3.30 pagi mengingat ada yang harus melanjutkan aktifitas pagi itu dan diksusi berakhir dengan gelak tawa ketika Andre dan pasukan Mawale yang lain mulai membayangkan kondisi anggota Mawale 50 taong datang (Kalu umur panjang, hehehe…) Yang paling parah bahwa saat itu ternyata Fredy Wowor belum juga menikah dan masih terus bercinta dengan buku-bukunya yang kini hampir 10 ribu judul, sedangkan Green Weol masih kata ba tona’ trus deng Angga. Sementara Andre telah menikah ke enam kali dan masih dengan orang yang sama. “So ngana tu manusia paling soe, kaweng brapa kali dengan perempuan yang sama !” Canda Weol menutup kebersamaan Mawale saat itu, sebelum akhirnya semua terlelap seperti ikang roa di kamar pa Fredy.

Tu cerita ada banya lei, mar nanti tu tamang2 laeng tambah akang jo………
Napa tu Ikang Roa. Hehehe...

Puisi Rikson Karundeng: "My Beautiful Land".

For Katuari Waya di seberang sana.........

Surise 04.45 AM: Pulau Lembe, Gunung Klabat dan Dua Sudara, menatap Kota Bitung. Dari Puncak Temboan Rurukan torang lei ikut menatap.


Dari Puncak Temboan, tampak Cot di atas Kumelembuai Tomohon bersahut-sahutan dengan Klabat dan dari jaoh Pante Manado tersenyum.
Bak Teterusan ia berpekik " I....Yayat U...Santi !
Dan Waranei itu membelah gelap berselimut kabut
Melintasi Mahawu yang masih membisu


Dengan gagah Pegunungan Lembean berucap: "Apa kabar kekasihku Danau Tondano, Slamat Pagi Tondano, Slamat Pagi Minahasa"
Nafsu memburunya tuk menaklukkan Temboan
Tak ingin ia melepaskan sang kekasih beranjak dari pembaringannya
Nafas menderu semakin merangsang hasrat
Dan satu desahan kelegaan
memeluk asanya yang kini orgasme


"Pagi Bae !" Masarang bilang.
Di atas rumput permadani embun...
Di depan mata Masarang......
Dalam awasan Lembean....
Kening sang kekasih di balik Lembe' dikecupnya
dan sang kekasih tersenyum dengan sinarnya


Denni, Rikson, Green dan Sang Mentari. Dari blakang Kamera Ompi bilang: "Nda Rugi Mawale tidor jam satu bangong jam stenga ampa"
Klabat dan Dua Sudara hanya tersipu menatapnya
Dano Tourano hening tak berujar....
Dalam kalbu ia dendangkan "Oh Minahasa Kinatoanku"


Torang Pe Cirita

Tadi pagi Torang bacirita....

DUA SUDARA : Klabat, ngana do' pe gagah skali, pe tinggi, dapa lia damai...
KLABAT : Mar ngoni dua lei pasung, kong salalu baku sayang. Mantap !

MASARANG : Kalu kita dang weta' ?

KLABAT : Angko lei dapa lia pasung. Tanya jo pa Lembean !

LEMBEAN : Tu'u ! Torang samua lebe pasung kalu so sama2 deng Danau Tondano dg Pante Manado.

MENTARI : Tiap kita bangong, langsung rasa dame ja lia pa ngoni. Pasuuuuung skaliiyanan. Semoga ini Tanah Malesung Dame deng pasung salalu.

GREEN : Kalu kita, Ompi, Rikson deng Denni dang ?

MENTARI : ???????????? Hehehe.....bakusedu katu. Biar ngoni blung cuci muka, tetap pasung lei.

Reportase Denni Pinontoan: "Giroth Wuntu, 'Menyepi' dengan Cita-cita"

Malam sudah menanti. Jalan Kel. Liningaan Tondano tampak mulai ramai dengan lampu-lampu warna-warni untuk memeriahkan Paskah. Sebuah rumah kayu khas Minahasa yang sederhana, dari kejauhan tampak sepi. Lampu pijar di rumah itu memang sudah menyala, tapi belum tampak penghuninya. Nanti ketika pas di depan pintu rumah, baru tampak seorang perempuan muda berusia kira-kira 30-an tahun.

“Selamat sore,” Bodewyn Talumewo yang mengantar rombongan Mawale Cultural Center memberi salam kepada perempuan itu.

“Selamat sore. Mari maso,” perempuan itu menyapa kami ramah.

“Opa, ada?” Bodewyn kembali bertanya.

“Oh, ada. Mari maso dulu kwa,” perempuan itu mempersilahkan rombongan masuk ke dalam rumah.

Rumah kayu itu sederhana. Tidak terlalu luas. Di bagian depannya ada ruang tamu yang terbuka khas rumah-rumah orang Minahasa. Di bagian sebelahnya ada sebuah ruangan kira-kira seluas 3x3 meter. Tampak di dalamnya perangkat alat jahit menjahit. Rombongan Mawale pun masuk ke dalam rumah.

Dinding rumah itu tampak pahatan atau ukiran-ukiran kayu yang halus dan indah. Ada pahatan bermotif Tuhan Yesus yang menuntun seorang anak kecil. Yang lainnya ukiran bunga yang rumit tapi halus. Di bagian lain terlihat foto hitam putih Soekarno dan Mohammad Hatta. Ada juga foto sendiri hitam putih Soekarno yang berbentuk poster.

Kami masih dalam posisi berdiri ketika seorang lelaki uzur keluar dari bagian lain rumah itu. Rambut, janggot dan kumis lelaki yang berwajah tegar itu sudah memutih. Dia keluar dari bagian rumah yang agaknya sebagai ruang makan sekaligus perpustakaan kecil. Jalannya dituntun oleh perempuan yang menyapa kami tadi.

“Selamat sore, bung Giroth,” Jenry Koraag, salah satu dari rombongan Mawale menyapa lelaki yang berjalan agak lamban itu. Yang lainnya ikut memberi salam.

Nama lengkap lelaki uzur itu adalah Giroth Wuntu. Semenatara perempuan muda yang menyapa kami tadi adalah keponakannya bernama Adeleide Walangare. Dia adalah keponakan Giroth yang sudah sejak dari kanak-kanak tinggal bersama tokoh komunis ini. Dia pun banyak tahu kehidupan Opanya (begitu dia menyapa Giroth), terutama di beberapa tahun sejak Giroth keluar dari penjara.

Giroth membalas salam kami meski tidak terdengar jelas. Lelaki kelahiran tahun 1920 ini, seperti kata Keke - sapaan untuk keponakannya - di sekitaran lima tahun terakhir ini mengalami kemunduran secara fisik maupun ingatan yang cukup drastis. “Dulu, opa nda bagini. Dia kalo so bacirita, depe semangat luar biasa. Dia kan dulunya agitator, jadi kalo ada tamang-tamang PRD (Partai Rakyat Demokratik - red) dulu yang kamari, dia bicara nda putus-putus. Satu pertanyaan, dia boleh jelaskan panjang lebar.” ujar Keke.

Giroth Wuntu sekarang telah duduk bersama kami di ruang tamu yang kecil itu. Meski fisiknya sudah agak melemah, namun tampak dari tatapannya sebuah semangat yang tidak pernah padam. Di rumah ini memang cuma dia dengan Keke. Sehingga ketika rombongan kami datang, seketika rumah itu menjadi ramai dengan orang. Kebetulan rombongan Mawale juga bersama-sama dengan “istri-istri” kami, dan termasuk Teresa, anak saya.

Keke duduk di samping Giroth. Perempuan yang juga pandai mengukir kayu ini, membantu kami menyampaikan informasi-informasi seputar kehidupan opanya. Sesekali Giroth masuk dalam percakapan tersebut menjawab pertanyaan kami. Giroth meminta beberapa kali Keke mengeluarkan sejumlah karyanya atau buku-buku yang menjadi bacaannya. “Kebanyakan opa pe buku depe isi aliran kiri,” ujar Keke.

Tentang beberapa karya ukiran di rumah itu, menurut Keke dibuat oleh Giroth setelah dia keluar dari penjara. Dua lemari di sebuah ruangan di rumah ini berisi buku-buku “kiri” dan dua buah patung kayu perempuan telanjang.

“Ke, apa makna dari patung-patung perempuan telanjang ini?” tanyaku.

“Ini, opa cuma bilang depe arti kata keindahan. Bagi opa, perempuan adalah simbol keindahan,” jelas Keke.

Keke juga menjelaskan cerita ukiran Yesus dan anak kecil yang terpajang di dinding rumah Giroth. “Ukiran ini punya cerita. Waktu opa di penjara, depe kepala penjara Katolik. Kepala penjara itu ternyata memperhatikan kemampuan mengukir opa. Kebetulan ada semacam liturgi yang bergambar Yesus dan anak kecil. Kemudian, si kepala penjara meminta opa untuk mengukir gambar itu. Lalu, jadilah ukiran ini,” ujar Keke.

Giroth ternyata bukan hanya seorang idealis atau ideolog “kiri”, dia juga adalah seorang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi. “Giroth itu kan dulunya pemimpin Lekra di sini,” ujar Bode menambahkan.

Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia di tahun 50-an dan 60-an. Lekra didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. DN Aidit dan Nyoto saat itu adalah para pemimpin PKI, yang baru dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Muso. Anggota Lekra yang terkenal antara lain Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin.

Lekra dibubarkan berdasarkan Tap. MPRS No. XXV/MPRS/tahun 1966, tentang pelarangan ajaran Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.

Keke, keponakannya itu bahkan diajarnya mengukir. Sebuah meja ukir bermotif bunga yang halus adalah buah tangan Giroth dan Keke. “Waktu opa masih kuat-kuat, kita dia ja kase ajar ba ukir. Sambil ba ukir, dia bacirita tentang depe perjalanan hidop. Maar, nda sama deng katu ja kase belajar pa murid. Biasa no dia bacirita,” ujar Keke.

Keke mengaku, dia tahu mengenai ideologi komunis, marxisme dan gerakan-gerakan kiri lainnya dari interaksi dengan opanya sehari-hari. “Atau, kalau ada aktivis-aktivis dulu yang datang kamari, kita ba dengar dari dorang pe diskusi deng opa. Kita nda belajar secara formal, tapi dari tu ba bagitu no,” ujar Keke menjelaskan.

Giroth mengatakan, bahwa dalam hidup ini terutama adalah kerelaan berkorban dan keberanian. Dia mengingatkan kepada kami pentingnya keberanian dalam memperjuangkan idealisme. “Keberanian itu penting bagi torang memperjuangkan idealisme,” ujarnya.

Soal minatnya terhadap terhadap pemikiran-pemikiran “kiri”, Giroth mengaku bahwa sebenarnya dari segi pendidikan formal, dia sebenarnya hanya bermodalkan 4 tahun pendidikan Sekolah Rakyat (SR). “Saya hanya menempuh 4 tahun di Sekolah Rakyat. Selebihnya saya ke kebun membantu orang tua. Tapi, ada satu dari saya, yaitu selalu ingin mencari tahu, apa sebetulnya keadaan ini? Apa ini? Kenapa begini? Tanya-tanya sama orang lain, nda guna kalo dorang nda tahu. Saya pikir-pikir, bagaimana saya bisa tahu keadaan ini. Maka saya berusaha mencari tahunya dengan membaca. Tetapi, yang membimbing saya bisa tahu tentang semua ini adalah seseorang yang bernama Jan Dengah,” ujar Giroth dengan nada yang terputus-putus.

Giroth memahami agama, terutama Kristen secara kritis. Bicara agama, Giroth mengkaitkannya dengan konsep “Kasihilaha sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” “Menurut opa itulah komunis sebenarnya. Yesus, menurut opa adalah Ur-komunis,” kata Keke mengulang apa yang pernah diucap oleh Giroth kepadanya.

Giroth menambahkan, “Ideologi, seperti komunisme, jangan dipaksakan. Apa seseorang membutuhkan itu atau tidak. Pengertian komunisme itu tidak mudah dipahami. Agama juga kalau dimengerti benar, itu baik. Asalkan dia dimengerti betul. Kuncinya adalah banyak belajar,” ujar Giroth.

Menurut Keke, Giroth sebenarnya memiliki satu anak laki-laki. Dulunya tinggal di Jakarta. Tapi, belakangan menetap di Amerika. Kata Keke, Giroth pernah ke Jakarta menemui anaknya itu. “Maar, karena stou dorang da berseberangan pemikiran, maka opa pe anak itu pigi di Amerika, kong opa pulang ka sini,” kata Keke.

Giroth, ternyata sangat sayang kepada anak-anak kecil. Ini mungkin karena kerinduannya terhadap anak dan cucunya. Teresa, anak saya yang masih berusia 3 tahun lebih, ketika bersama-sama dengan kami waktu kunjungan itu sangat diperhatikan oleh Giroth. Bahkan, waktu berpose, Giroth sempat menawarkan kepada saya untuk menggendong Teresa. Tapi, saya tak tega melihat Giroth yang sudah dalam keadaan lemah fisik menggendong Teresa. Dari tatapan terhadap Teresa saya menangkap sebuah kerinduan yang luar biasa untuk kehadiran anak cucunya. Tapi, lebih daripada itu saya menangkap rasa humanisnya yang tinggi.

Dari informasi lain, Giroth adalah anak bungsu dari 13 bersaudara. Sekarang ini tinggal Giroth yang hidup. Puluhan tahun Giroth menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Di masa Belanda, dia pernah menjadi tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger). Sebelum pecah peristiwa G30s Giroth pernah menjadi anggota Dewan di daerah ini mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah karya sastra sejarah telah ditulisnya, antara lain mengenai Perang Tondano, dan juga cerita-cerita sastra tentang kehidupan rakyat kecil.

Kini Giroth hidup “menyepi” dari hiruk pikuk agama dan politik di rumahnya yang sederhana. Ditemani Keke, keponakannya yang setia itu, seolah umur panjang Giroth dikuatkan dengan obsesinnya terhadap cita-cita ideologi yang dia pegang teguh hingga hari ini. Di masa Permesta dia adalah tokoh yang dicari-cari. Bahkan, perpustakaan pribadinya yang mengkoleksi ribuan judul buku dieksekusi oleh Permesta. Sampai jelang Orde Baru, dia termasuk orang yang diawasi oleh pemerintah.

“Pemilu tahun 1992, opa beking spanduk dari karong plastik. Sayang kita so lupa apa depe tulisan waktu itu. Maar, depe inti adalah mengkritisi sistem politik yang sedang berlangsung. Karena spanduk itu provokatif, sampe pihak dari koramil datang angka (tangkap) pa opa. Dorang periksa pa opa. Waktu kaluar, opa suruh kase di WC tu spanduk itu. Kong opa ganti deng gambar petani yang memikul cangkul. Arti gambar itu, menurut opa adalah kedaulatan hak-hak kaum petani,” ujar Keke.

Bukit Inspirasi, Hari Paskah 2010

Reportase Rikson Karundeng: "Perjumpaan Dengan Giroth Wuntu".

Rikson dan Giroth Wuntu dalam suasana perjumpaan yang akrab

Sang Mentari telah memasuki pembaringannya, tatkala Tim Mawale Movement memasuki sebuah rumah sedehana di wilayah Wanua Liningaan Kecamatan Tondano Timur. Bodewin Talumewo yang menginjakkan kaki pertama kali di tangga rumah itu, langsung disambut dengan sapaan akrab KEKE, seorang perempuan Minahasa luar biasa, cerdas, kreatif dan tekun, yang selama ini merawat dan menjaga sosok manusia renta yang dikenal dengan nama GIROTH WUNTU.

"Opa ada teman-teman Mawale Movement mo baku dapa," kata Keke sambil melangkah ke ruangan tamu. Sosok renta itupun tampak dengan sekuat tenaga mencoba berdiri dari tempat pembaringannya seraya menjemput tim Mawale dengan senyuman. “Mari maso ,” ujarnya.

Satu per satu anggota Tim Mawale berjabatan tangan tanda selamat dalam sebuah perjumpaan dengan sosok yang memang sengaja dicari Sabtu, 3 April 2010 malam itu. Kalbu mereka tampak berdecak kagum dan itu terpancar dari ekspresi wajah mereka. Decakan kagum itu muncul saat terbersit dalam pikiran bahwa malam ini luar biasa karena kini mereka berhadapan langsung dengan sosok yang selama ini sering menjadi pokok diskusi karena karya, perjuangan dan kisah tragis yang menimpa dirinya.

“Masih kuat da palia Bung Giroth,” sapa Jendri Koraag.
“Samua orang tau termasuk para tokoh agama di sini bahwa Om Giroth itu bae-bae. Cuma saat inipun kita masih siap fight secara fisik deng sapa saja yang mau mengusik kita pe kehidupan pribadi,” ujar lelaki berusia 89 tahun itu dengan gaya khas Tole Tou Dano.

Percakapan itu adalah awal dari sebuah diskusi panjang antara Tim Mawale dengan Giroth Wuntu, Sang Legendaris yang terkenal dengan sejumlah karya berupa tulisan-tulisan sastra Minahasa, termasuk buku PERANG TONDANO yang tiada duanya. “Saat ini saya bukan PKI tapi sampai saat ini saya masih komunis,” terang Wuntu sembari memperlihatkan sejumlah karyanya yang mengulas tentang pemikiran dan tanggapan kritisnya terhadap Marxisme-Komunisme, Pemerintah Orde Baru hingga masalah Kebudayaan Minahasa.
Tim Mawale Movement

“Nasionalisme kita pahami dengan jelas, Kalau soal agama itu tidak bisa dipaksakan sama seperti Komunisme. Buat apa kita beragama jika kita tidak memahami dengan benar apa agama itu. Yesus pernah mengungkapkan ajaranNya ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, itu Komunisme. Bagi saya, Yesus itu adalah Ur Komunis,” Terang Wuntu menanggapi pertanyaan Deni Pinontoan soal tanggapannya mengenai NASAKOM.

……………………………………………………………………
………………………………………

Perjumpaan Tim Mawale dengan seniman, pemahat yang menghasilkan karya-karya mengagumkan itu berakhir saat Om Giroth menunjukkan sejumlah koleksi bukunya terkait Komunisme hingga Minahasa dan Kebudayaan.
Denni Pinontoan di depan sebagian koleksi buku dan patung kayu pahatan karya Giroth Wuntu.

Dalam perjumpaan dengan Giroth Wuntu kali ini, Tim Mawale juga sempat berdiskusi banyak soal Filosofi Si Tou Timou Tumou Tou. Om Giroth telah mengurai aspek historis dan maka dari filosofi Tou Minahasa itu, sampai kritiknya terhadap makna filosofis dari kalimat tersebut yang menurutnya banyak kali salah.
Kalau Tou Minahasa ingin mengetahui banyak apa saja yang diperbincangkan Tim Mawale dengan Om Giroth Wuntu malam itu, boleh dibaca di Majalah “WALETA MINAHASA” terbitan Gerakan Minahasa Muda dan Mawale Cultural Center yang rencananya akan dilaunching pertengahan bulan April 2010. Memiliki majalah WALETA MINAHASA adalah bagian dari partisipasi Tou Minahasa sekalian dalam menunjang Renaisans Kebudayaan Minahasa.

Reportase Denni Pinontoan: "Pesta di Wanua Treman".

Ini memang pesta. Sebuah bangsal besar digelar di tanah lapang Wanua Treman. Ramai orang di sana. Pesta rakyat di wanua Treman sedang digelar. Sebuah baliho besar di panggung tertulis “Selamat Hut ke 325 Wanua Treman”. Ibadah dengan liturgy yang dipadukan dengan unsur-unsur budaya Tonsea memberi nuansa religius. Sebuah cerita dalam bentuk teaterikal mengulang sejarah kelahiran wanua itu. Tapi, sudah pasti pesta hari itu telah jauh berbeda dengan pesta rakyat wanua Treman di abad-abad sebelumnya.

Banyak warga di luar bangsal berkostum partai. Di dalam bangsa sang pendeta berdoa dan berkhotbah, sementara di luarnya ramai terdengar cerita kampanye Pilkada Kabupaten Minaahsa Utara (Minut) tahun ini. Jangan heran, sebab ketua umum panitia pesta rakyat ini adalah calon bupati yang siap maju bertarung dalam Pilkada Minut. Pesta rakyat itu tak ubahnya seperti kampanye. Calon bupatinya agaknya sengaja mengerahkan massanya untuk meramaikan acara itu.

Langit masih mendung. Hujan memang sudah turun tapi agaknya dia masih akan kembali. Doa dan khotbah sang pendeta di dalam bangsal agaknya tak menjadi perhatian warga di luar bangsal. Mereka lebih tertarik bicara soal suksesi Pilkada Minut ketimbang menyimak dengan seksama khotbah sang pendeta. Orang-orang yang di dalam bangsalpun belum tentu, sebab mereka tampak sudah lapar.

Tapi begitu sang ketua umum yang juga sebagai calon bupati bicara setelah ibadah dan prosesi budaya selesai, warga yang tadinya asyik dengan bicara-bicara politiknya segera mendekat ke bangsal menyimak “orasi” sang calon itu. Tepuk tangan dan teriakan mendukungpun bersahutan menyambut kalimat-kalimat manis berbau politis yang keluar dari mulut sang calon.

Maka, acara yang tadinya bernuansa religius dan budaya kini tiba-tiba berubah menjadi ajang kampanye politis. Rasa laparpun sejenak hilang, dipuaskan dengan janji-janji manis. Prosesi religi dan budaya sudah berganti dengan proses politik. Warna-warni bendera partai semakin berseri, begitu juga dengan hampir semua makhluk hidup di tanah lapang itu. Inilah religi, budaya Minahasa dalam bungkusan politik masa kini.

Politik memang mempesona. Pesonannya mengalahkan khotbah gereja dan nilai budaya. Bahkan, kodrat rasa laparpun bisa sejenak dikalahkan oleh kalimat-kalimat berisi janji kemakmuran dan kesejahteraan sebagai retorika politik. Padahal, sekira 1 km dari tanah lapang itu artefak-artefak budaya, berupa waruga berserakan tak terurus. Minawanua, perkampungan lama wanua Treman tergelar jejak-jejak peradaban Tou Treman sejak kira-kira abad 16. Menuju ke sana, mobil berjenis Espass harus menyerah. Jalannya penuh bebatuan. Sejumlah waruga yang rusak berserakan di pinggiran jalan, yang lainnya hampir roboh. Kondisi waruga-waruga ini sangat kontras dengan tugu pendidikan yang berdiri kokoh dan terurus di tanah lapang, tempat dilaksanakannya pesta rakyat itu.

Minawanua itu tampak sedang sekarat. Padahal, di tempat lain di wanua itu acara akbar mengenang peradaban itu sedang digelar.

Dari Minawanua itu, tampak gunung Kalabat yang kokoh berdiri. Daun-daun nyiur melambai-lambai diterpa angin sore. Di tanah lapang, acara makan-makan setelah proses politik itu sedang berlangsung. Macam-macam menu sementara disantap. Tarian modern Caka-caka mangganti Maengket. Tarian “Selendang Biru” syairnya hanya menyisahkan kata “Opo Empung” untuk keminahasaannya, yang lainnya diucap dalam bahasa republik ini. Seruan “I Yayat U Santi” sunyi terdengar, gantinya seruan “Merdeka” yang memekikan telinga. Musik Kolintang masih berdendang mengiringi prosesi ritual Kristen. Setelah itu lagu-lagu popular yang diiringi perangkat musik modern dinyanyikan seorang keke berbusana minim dengan warna menyolok . Syair lagu-lagunya bertemakan cinta dan terlebih sakit hati!

Cerpen Denni Pinontoan: "Mariara".

Nenek Omi kemarin pagi masih tampak berjalan pagi di jalan kampung. Rambutnya sudah ubanan. Membungkuk dia berjalan. Garis-garis keriput wajah dan dua gigi yang tersisa membuat orang menjadi ngeri melihat dia. Tapi hari ini rumahnya di ujung kampung hangus dibakar massa. Jasad nenek Omi pun tinggal arang.

Massa marah sehingga membumihanguskan rumah Nenek Omi, sekaligus dengan penghuninya. Alasan mereka anak gadis Pak Tonny mati karena diguna-gunain oleh Nenek Omi. Memang alasan itu agaknya bisa dibenarkan. Sebab, tiga hari lalu Eby, anak gadis yang malang itu disuruh oleh ibunya mengambil kemangi di halaman rumah Nenek Omi. Malamnya Eby kena deman, dan selama tiga hari panas tinggi. Baru beberapa jam di Puskemas ia meninggal dunia.

Nenek Omi memang cuma tinggal sendirian. Suaminya, Kakek Bernard meninggal tiga tahun lalu. Pasangan ini tak memiliki anak. Sehari-hari rumah tua mereka itu tampak sunyi dan tak terurus. Halaman rumah mereka yang cukup luas, sejak Kakek Bernard mangkat ditumbuhi umput-rumput liar. Cuma sebidang tanah yang mungkin luasnya 2 x 3 meter yang dibersihkan oleh Nenek Omi untuk menanami rempah-rempah. Di sisa hidupnya untuk makan sehari-hari orang tua ini hanya berharap pembagian hasil kebun dari Om Yopy, yang masih terhitung family dengannya.

Nenek Omi ini oleh warga sudah lama disangkakan sebagai mariara (bahasa lokal Minahasa yang berarti dukun yang bisa menyantet orang). Konon, ada warga yang pernah mengintip dan melihat nenek Omi semacam melakukan ritual di dalam rumahnya. Dari situ beredar cerita bahwa nenek yang suka mengunyah pinang ini sebagai mariara. Warga sekampunpun percaya.

Semasa dia hidup, anak-anak yang bertepatan berpapasan dengannya menjadi takut dan menghindar, mengambil jarak. Ketakutan itu berawal dari cerita-cerita itu. Di rumah mereka, para orang tua menceritakan tentang desas-desus itu. Cerita yang berawal dari satu orang kini seolah-olah menjadi momok. Termasuk pendetapun percaya dengan cerita itu. Bahkan, pernah satu hari minggu, di gereja pendeta secara khusus berdoa untuk menjauhkan warga kampung dari kuasa-kuasa jahat, yang katanya hadir dalam bentuk mariara.

Nenek Omi, memang telah menjadi momok bagi masyarakat. Mereka menyamakan Nenek Omi dengan tokoh “nenek sihir” di film anak-anak. Hanya tetangga atau kerluarga terdekat yang berani masuk ke halaman rumahnya. Sebab kata warga, kalau tetangga atau famili pasti tidak akan dijahati, dia tidak berani. Mungkin, itulah sehingga keluarga Pak Tony masih akrab dengan Nenek Omi. Itupun, kata warga, Pak Tony masih tergolong famili dengan Nenek Omi.

Kampung itu seketika menjadi ramai dengan kemarahan massa. Asap masih mengepul dari sisa-sisa rumah yang terbakar. Massa berkerumun di halaman rumah nenek Omi. Lainnya berdiri di jalanan. Mereka tidak berkabung dengan peristiwa itu, malahan yang lain bergembira. Pikir mereka, dengan dibakarnya rumah nenek Omi dan kematian sang “nenek sihir” itu, kampung mereka akan bebas dari sakit penyakit misterius. Hari itu cuma Om Yopy yang tidak kelihatan.

Ketika rumah sudah rata tanah dan tinggal bongkahan-bongkahan hitam sisa kayu-kayu yang terbakar, tampak jasad nenek Omi yang sudah berubah menjadi arang. Mengerikan sekali jasad itu. Seperti anjing yang dibakar.

Ada rasa takut yang bercampur gembira di kalangan warga. Tapi, yang tidak tahan melihat jasad itu menjauh dan bahkan ada yang sampai mual dan muntah. Sekitar 5 orang laki-laki yang diberi tugas oleh pemerintah kampung sebagai Hansip yang berani mengais-ngais sisa-sisa kebakaran rumah itu. Sebelum mereka masuk di antara sisa-sisa kebakaran itu, pendeta gereja setempat mendoakan mereka agar mereka dijauhkan dari kuasa gelap yang mungkin masih bergentayangan di situ. “Dalam nama Yesus, enyahlah kuasa jahat!” Begitu pendeta mengakhiri doanya.

Perempuan tua itu kini telah tewas menjadi arang bersama rumah tuanya. Tiada keluarga yang meratapinya. Polisi pun nanti muncul ketika semua sudah hampir berakhir. Tiada satupun warga yang ditangkap. Hukum Tua kampung itu tampaknya sudah memberi keterangan kepada para polisi mengenai kejadian itu. Lokasi kebakaran itupun tidak diberi police line, sebagaimana biasanya peristiwa-peristiwa kebakaran lainnya. Kebakaran bagi warga dan diaminkan oleh polisi adalah tindakan yang sudah tepat. Apalagi, di lokasi kebakaran itu, pendeta gereja setempat hadir dan tampak memberi alasan teologisnya.

Sebulan kemudian
Sebulan kemudian dari pembihangusan rumah nenek Omi dan kematian “nenek sihir” itu, tiba-tiba warga digemparkan dengan kematian Aldy, cowok tambun yang baru lulus SMA tahun lalu. Kematian Aldy juga misterius. Malam sebelumnya dia masih bersama-sama temannya menonton pertandingan sepak bola Liga Italia di televisi. Paginya, dia didapati sedang menggigil dan panas tinggi. Dua hari dia cuma minum obat yang dibeli di warung. Tapi panasnya tak turun-turun. Baru beberapa jam di Puskemas, Aldy pun meninggal.

Kematian Aldy membuat warga teringat peristiwa kematian Eby. Gejalanya sama. Mereka jadi bingung. Dokter tak menjelaskan penyebab kematian Aldy. “Apakah ini ulah mariara? Tapi, siapa lagi mariara di kampung ini? Nenek Omi sudah tewas bulan lalu,” begitu komentar beberapa orang di rumah duka Aldy.

“Saya duga, ilmu nenek Omi itu diturunkan kepada seseorang. Tapi siapa dia?” ujar Om Robert di rumah duka itu.

“Siapa, ya?” yang lainnya menyahut.

“Ehmmm…” mereka terdiam sejenak.

“Tunggu. Sejak kematian nenek Omi, sampai sekarang, Yopy tak pernah muncul lagi di kampung. Bukankah Yopi itu yang dekat dengan nenek Omi. Dia kan masih family dekat nenek Omi?” kata Om Robert.

Beberapa laki-laki yang sibuk membuat peti jenasah di rumah duka itu tersentak mendengar ucapan Om Robert. Mereka saling memandang.

“Di mana dia sekarang?” yang lain bertanya.

“Kalau tidak salah, Yopi tinggal di kebun. Dia kan yang mengolah kebunnya nenek Omi?”

“Oh, iya. Benar. Pasti ilmu nenek Omi diturunkan kepadanya. Dan, dialah penyebab kematian Aldy!” kata tante Nece, yang dari tadi mengikuti percakapan itu.

“Maksudnya, Yopilah sekarang yang menjadi mariara di kampung ini?” tanya Om Robert meminta kepastian teman-temannya.

“Kalau bukan dia siapa lagi!” tegas tante Nece.

Tidak hitung jam, kesimpulan itupun langsung menjadi pendapat umum warga sekampung. Cepat sekali beredar cerita itu. Dan, ini langsung menyulut kemarahan massa. Mereka seolah-olah menemukan musuh baru yang harus segera dilenyapkan.

Sekelompok laki-laki datang ke pastori gereja. Mereka meminta pertimbangan pendeta mengenai kesimpulan mereka itu. Warga lain menyusul kemudian. Tapi mereka hanya di luar pastori menunggu hasil percakapan tersebut. Warga yang datang itu tampak sudah bersiap-siap mencari Yopi. Parang, pisau dapur, tombak, dan benda apa saja yang bisa memukul di tangan masing-masing orang. Berni, remaja adik Eby kebagian ditugaskan membawa gallon berisi bensin. Mereka seperti sedang bersiap-siap maju ke medan perang melawan musuh.

Percakapan perwakilan warga dengan pendeta selesai. Om Robert yang akan mengumumkannya kepada warga yang sudah menunggu di halaman pastori.

“Saudara-saudara, kami sudah bercakap-cakap dengan pendeta perihal adanya mariara baru di kampung kita ini. Pendeta menyetujui tindakan kita untuk segera mengeksekusi Yopi, sebagai mariara di kampung ini!”

Sorakan warga pun menggema menyambut pernyataan Om Robert. “Bunuh dia! Bakar Yopi! Lenyapkan mariara di kampung kita!” warga berteriak histeris sambil mengacungkan benda-benda tajam yang mereka bawa.

Om Robert pun bertindak seperti panglima perang. Di bawah komandonya massa bergerak mencari Yopi di kebun. Sesampai di kebun mereka langsung menuju ke sabua (pondok) kecil yang sudah dipastikan milik Yopi. Massa mengepung sabua kecil itu. Massa berteriak memanggil nama Yopi. Berni sudah siap menyiram sabua dengan Bensin. Beberapa laki-laki lainnya secara hati-hati masuk ke dalam sabua.

“Yopi tidak di dalam,” kata seorang laki-laki yang ikut masuk ke dalam sabua.

“Bakar saja sabua ini!” teriak warga.

“Iya, bakar saja!” sambut yang lain.

Berni yang membawa gallon berisi bensin sudah tahu tugasnya. Ia pun segera menyiram dinding dan atap sabua itu. Tak berapa lama, ketika api disulut, sabua yang dindingnya terbuat dari bambu itu terbakar. Asap hitam mengepul ke udara. Nyala api yang tiba-tiba membesar mengusir sekelompok burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon cengkih di sekitarnya. Warga berteriak histeris, senang. Seperti ritual merayakan kemenangan warga mengeilingi sabua yang sementara terbakar itu. Mereka terus berteriak.

Sementara “ritual” berjalan, Alo, komandan Hansip kampung melaporkan kepada Om Robert, bahwa mereka melihat Yopi berada di dekat mata air di kaki bukit yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berada sekarang

“Yopi sedang berada di mata air itu. Mari kita ke sana!” kata Alo.

Massa pun bergerak. Mereka berlari dan terus berteriak. Tak lama kemudian mereka mendapati Yopi dengan parang di tangan sedang ketakutan. Agaknya dia sudah tahu bahwa dia sedang dicari massa. Tapi, Yopi tidak melarikan diri. Dia berdiri di dekat mata air itu. Masih tampak rumput dan beberapa pohon kecil yang baru dia potong. Dia memang baru sementara membersihan mata air ketika massa datang.

Jarak massa dengan Yopi tinggal kurang lebih 5 meter. Mereka hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang airnya mengalir dari mata air itu. Untuk menuju ke tempat Yopi bediri massa harus melewati pipa-pipa besar yang dipakai untuk mengaliri air dari mata air ke kampung.

Yopi tampak ketakutan sekali. Tapi ia tidak bicara. Orangnya memang pendiam. Tapi dia dalam keadaan waspada. Parang di tangannya di arahkan ke tanah. Sementara tangan kirinya tampak dua ekor tikus mati yang basah. Dengan ketakutan Yopi mengangkat tikus-tikus mati untuk ditunjukkan kepada warga. Seolah ada yang ingin dia katakana dengan tikus-tikus mati kepada massa.

Tapi massa tidak mengerti atau tidak mau peduli. Mereka terus berteriak. Om Robert yang berada di baris paling depan mencoba berkomunkasi dengan Yopi.

“Yopi, kamu harus pertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kami! Sudah dua korban meninggal akibat ulah nenek Omi dan kamu. Kalian telah meracuni anak-anak kami dengan ilmu-ilmu hitam kalian. Dulu nenek Omi, sekarang kamu, Yopy. Cepat serahkan dirimu!”

Meski warga telah berteriak-teriak marah, tapi Yopi tetap tidak bicara. Dalam keadaan takut dia masih berusaha “bicara” dengan menunjukkan tikus-tikus mati yang dia pegang itu kepada warga. Sambil sesekali dia menatap ke mata air itu. Untuk meyakinkn warga, dia mengambil lagi tikus mati dari dalam mata air. Yopi seolah ingin merespon kemarahan massa dengan menghubungkan tikus-tikus mati itu dengan mata air, yang mengalir ke kampung dan sehari-hari dijadikan sebagai air bersih, mencuci dan termasuk untuk memasak dan diminum.

Tapi belum satupun massa yang mengerti isyarat Yopi. Mereka bahkan menganggap Yopi orang sinting atau idiot. Massa pun semakin marah dan hendak mengejar dia. “Bunuh saja dia kalau tidak mau mengakui perbuatannya. Mari kita tangkap dia. Lenyapkan dia dari kampung kita!!” suara kemarahan itu terdengar dari antara massa.

“Benar. Kita bunuh saja dia!” Sambut massa yang lain.

Lima orang lelaki berbadan kekar melompat melewati pipa-pipa itu. Dengan sikap hati-hati mereka mencoba mendekati Yopi. Tombak dan parang di tangan mereka. Yopi yang melihat gerakan mereka semakin ketakutan. Tapi dia tidak lari. Parang yang dia pegang ditancapkan ke tanah. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya. Para lelaki yang akan menangkap Yopi tidak mendapatkan perlawanan. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan Yopi. Yopi pun pasrah. Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha memegang tikus-tikus mati itu.

Merekapun berhasil membengkuk Yopi. Massa yang lain ingin Yopi segera dieksekusi. Tapi Om Robert menolaknya. “Eksekusi nanti akan kita lakukan di kampung, di hadapan pendeta dan hukum tua!” tegasnya kepada massa.

Massa segera menggiring Yopi ke kampung untuk dieksekusi. Seperti penjahat kelas kakap, Yopi diikat dengan rantai, mulutnya dibungkam dengan kain. Di sepanjang perjalanan massa berteriak-teriak senang seperti baru mendapat hewan buruan. Sampai memasuki kampung, sepanjang jalan mereka terus berteriak. Di kampung, para perempuan dan anak-anak di pinggir jalan menyaksikan dengan penuh perhatian arak-arakan massa itu. Yopi sebagai terdakwa ditarik seperti hewan. Sesekali wajahnya tampak kesakitan ditarik dan dicaci oleh massa. Namun, pria yang berambut panjang dan berbaju kumal itu sepanjang jalan hanya diam saja. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya.

Di sebuah tanah kampung massa berhenti. Di situ Yopi akan dieksekusi. Rencananya dia akan dibakar hidup-hidup. Menurut Om Robert Yopi akan diikat di pohon pinang yang tertancap di tempat itu. Pohon pinang ini waktu tujubelasan dipakai untuk lomba panjang pinang warga sekampung. Seketika warga sekampung, dari anak-anak sampai kakek nenek telah berkumpul di tanah itu.

Beberapa lelaki ditugaskan mengikat tubuh Yopi di pohon pinang itu. Yang lainnya menyiapkan kayu bakar.

Sementara warga sibuk dengan persiapan untuk mengeksekusi Yopi, pendeta dan hukum tua kampung datang ke lokasi itu. Mereka tampak terlibat percakapan serius dengan om Robert. Ketika Om Robert bicara, pendeta dan hukum tua tampak mengangguk-angguk. Begitu sebaliknya. Agaknya, percakapan itu tinggal membicarakan teknis eksekusi, yaitu dibakar hidup-hidup. Soal alasan eksekusi mungkin menurut mereka sudah jelas, bahwa Yopi bersalah karena telah membunuh Aldy dengan cara sihir. Alasan ini sama dengan yang mereka pakai kepada nenek Omi sebulan yang lalu.

Yopi, kini siap diesekusi. Tubuhnya telah diikat di pohon pinang. Kayu bakar telah menutupi tubuhnya. Warga yang mengitari tanah kampung itu tampak tegang menunggu waktu eksekusi.

Dan, setelah Om Robert selesai bercakap-cakap dengan pendeta dan hukum tua, eksekusipun akan segera dimulai. Menyambut eksekusi itu, Hukum Tua menyampaikan beberapa kata.

“Saudara-saudara. Sudah dua warga kita yang menjadi korban sihir. Pelakunya sudah kita ketahui. “Nenek sihir”, nenek Omi sudah kita lenyapkan. Tapi masih juga ada korban yang berjatuhan. Ternyata, ilmu sihirnya telah diturunkan kepada lelaki yang sebentar lagi kita akan bakar ini, yaitu Yopi…”

“Bakar dia! Lenyapkan mariara dari kampung kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.

“Iya, kita akan membakar dia. Tidak boleh ada mariara di kampung ini,” sambung Hukum tua. “Hari ini, kita akan membakar hidup-hidup mariara yang telah meresahkan kampung kita. Ini menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mariara. Tidak ada yang bisa lolos…”

Setelah hukum tua selesai berpidato, pendeta diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa setan, seperti mariara. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, “Dalam nama Yesus, kami akan melenyapkan kuasa jahat itu. Amin.”

Tubuh Yopi tak tampak lagi. Kayu bakar yang sudah disirami bensin telah menutupinya. Ketika tubuh Yopi masih tampak tadi, tangan kirinya kelihatan masih memegang tikus-tikus mati itu. Sampai selesai pendeta berdoa, tak satupun warga yang menyoal tikus-tikus mati itu.

Sebatang korek api ditangan om Robert mengeluarkan percikan api. Kemudian korek itu dilempar ke tumpukan kayu yang sudah disirami bensin. Seketika tumpukan kayu yang membungkus tubuh Yopi berubah menjadi nyala api yang besar. Lidah-lidah apinya seperti tangan-tangan iblis yang menari-nari. Sesekali keluar bunyi kayu yang retak. Tapi, tidak terdengar suara teriakan minta tolong dari dalam tumpukan kayu. Padahal sebuah kematian tragis sementara terjadi, kematian yang disengaja dan diiyakan dengan hukum kampung dan doa seorang pendeta. Warga kampungpun tampak menikmati pertunjukkan eksekusi mati terhadap Yopi, terdakwa mariara .

Matahari mulai miring ke Barat. Kira-kira pukul 2 sore nyala api baru padam. Tinggal tumpukan arang hitam yang tampak. Warga sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hukum tua dan pendeta juga sudah pergi. Tinggal Om Robert dan beberapa laki-laki yang masih tampak di situ. Jasad Yopi hangus terbakar. Tak tampak lagi jenasah manusia. Namun masih kentara tangan kirinya memegang tikus-tikus mati yang juga sudah menjadi arang itu.

Om Robert dan beberapa lelaki yang bersama dengannya, setelah sejenak mengais-ngais bekas pembakaran itu, merekapun pulang ke rumah. Jasad Yopi yang sudah berubah menjadi arang yang hitam dibiarkan begitu saja. Dan, matahari semakin terbenam di ufuk Barat. Malampun segera menyelimuti kampung itu. Langit menjadi hitam dan suasana kampung tampak mencekam. Entah kenapa, malam itu warga lebih suka tinggal di rumah daripada bercerita di warung, di perempatan jalan, atau nonton liga Italia di beberapa rumah warga. Mungkin saja kengerian akibat peristiwa sadis tadi siang baru dirasakan setelah malam tiba atau setelah suara gonggongan anjing bersahut-sahutan.

Tapi, beberapa hari dari eksekusi itu, warga dihebohkan dengan kematian lagi secara berturut-turut beberapa warga kampung. Gejalanya sama persis yang dialami oleh Eby dan Aldy. Mulai dengan menggigil, panas tinggi, cuma 3 atau 4 hari lalu meninggal. Seminggu jumlah warga yang meninggal mencapai 10 orang. Satu di antaranya Om Robert.

Warga sekampung menjadi bingung. Hukum tua berpikir keras mencari penyebab kematian warganya. Sebab dua mariara sudah mereka lenyapkan tapi mengapa masih ada kematian misterius. Pendetapun, di ibadah hari minggu di gereja bahkan mendoakan secara khusus kematian-kematian yang sedang menimpa jemaatnya. Hingga kematian ke-100 di waktu sekitar 1 bulan itu, belum ada satupun warga yang bisa mengungkapkan penyebabnya. Dugaan masih disekitar bahwa roh-roh sihir nenek Omi dan Yopy belum hilang semuanya.

Kematian beruntun akibat penyakit misterius itu akhirnya heboh sampai di kabupaten. Pemerintah pun segera menyuruh dinas kesehatan kabupaten untuk turun ke kampung itu menyelidiki sebab kematian massal itu. Setelah seminggu petugas kesehatan dan para ahli melakukan penelitian, mereka mendapat kesimpulan penyebabnya. Kampung itu terserang wabah penyakit pes mematikan, sejenis penyakit mematikan yang di sebabkan oleh sebuah bakteri yang ditularkan oleh kutu tikus.

“Jadi saudara-saudara, kami telah menemukan penyebab penyakit misterius yang telah membunuh ratusan warga di sini sejak beberapa bulan terakhir ini,” ujar ketua tim peneliti dari Dinas Kesehatan Kabupaten. “Di Indonesia dan negara-negara Asia penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus, gigitan atau cakaran binatang yang terinfeksi bakteri dan dengan kontak tubuh binatang yang terinfeksi. Kematian di kampung ini adalah akibat penyakit pes yang memang mematikan.“

Mendengar itu, sejumlah warga teringat tikus-tikus mati yang dipegang oleh Yopi sampai dia dieksekusi. Mereka juga masih mengingat tikus-tikus itu diambil oleh Yopi dari mata air, sumber air bersih warga kampung itu.

“Apakah itu maksud dari Yopi dengan tikus-tikus mati dari mata air yang dipegangnya sampai dia hangus terbakar? Dia mungkin bermaksud menyampaikan pesan dengan tikus-tikus mati itu. Kalau karena penyakit pes, berarti dia dan nenek Omi bukan mariara ? Tapi, mereka telah mati dibakar??” Tante Nece bertanya entah kepada siapa.


Bukit Inspirasi, 22 Maret 2010

Esei Denni Pinontoan: "Merenung tentang “Sang Maha Kuasa”.

Padamulanya, mungkin adalah kesadaran adanya “Kuasa” yang melampaui diri. “Kuasa” yang tak bernama, tak terjangkau secara fisik, tak berjenis kelamin, tak berawal dan tak berakhir itu, kemudian dihadirkan dalam bahasa masing-masing kebudayaan dan dalam macam-macam pemaknaan. “Yang Maha Kuasa” itu, bukan sekadar yang diproyeksikan oleh kemampuan nalar, tapi juga bukan soal kejiwaan yang gelisah atau terpesona oleh kebesaran jagad ini. Dia mungkin saja bagian dari kesadaran akan semua itu, tapi melampaui segala proyeksi dan gejala kejiwaan manusia. Karena itulah sehingga Dia diakui sebagai “Yang Maha Kuasa”.

Pun ketika “Yang Maha Kuasa” itu, disebut sebagai Yahweh, Brahman, Allah, Thian, Hiyang Widhi, Opo Kasuruan, dll, Dia tetap saja melampaui daya ucap dan daya ingat manusia. Dalam ruang kehidupan “Yang Maha Kuasa” itu tak bisa ditunggalkan. Dia melampaui bingkai-bingkai kemanusiaan. Manusia yang mengaku beragama, yang setiap hari menyebut nama-Nya, belum tentu telah menggapai makna kesucian “Yang Maha Kuasa” itu. Tetapi, mungkin tak bijak buru-buru mengatakan orang yang jarang atau sulit menyebut nama itu, dan atau tak menformalkannya dalam seremonial keagamaan sebagai orang yang tak mengakui keberadaanNya.

Saya kira, para nabi dan nabiah, para resi dan sufi serta leluhur kita yang mencoba menyatukan diri dalam tatanan kosmis sebagai usaha menyelami kekuasaan yang tak terbatas “Sang Maha Kuasa”itu, yang paling menyelami makna adanya “Sang Maha Kuasa” itu. Yesus, Sidharta Gautama, Kong Hucu, Muhammad, yang mesti dirujuk sebagai yang telah menyatu dengan “Yang Tak Terjangkau” itu.

Agama, awalnya adalah pelembagaan ekspresi kepercayaan terhadap “Yang Maha Kuasa” itu. Namun karena itulah maka agamapun belum tentu sebagai pewaris kesucian-Nya. Sebab, agama tak hanya mengurus bagaimana warisan suci itu mendamaikan dunia. Dalam dimensi politis dan ekonomisnya, agama dapat dengan mudah berubah menjadi kasar dan keras. Atas nama tuntutan kesucian, agama dengan enteng dapat menghalakan cara-cara yang dia khotbahkan sebagai sesuatu yang sebenarnya haram. Pada dimensi ideologisnya, agama sering terlibat dalam pertarungan dengan “yang lain” untuk cita-cita menunggalkan kebenaran.

Tapi, seideologis apapun agama, seateis apapun manusia, “Yang Maka Kuasa” itu tak dapat mati. Yang berusaha membunuh Diapun, nanti sadar kemudian, bahwa yang dia coba bunuh ternyata adalah tuhannya. Mereka salah sasaran. Tuhan-tuhan yang menjadi target pembuhunan itu sebenarnya bikinan nalar dan jiwa yang tak pernah terpuaskan. Namun, dari pada dibunuh lebih baik tuhan-tuhan itulah yang dipakai sebagai pembenar untuk perang melawan yang lain. Maka, perang atas nama tuhan itulah yang terjadi, bukan Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang telah mencipta kebaikan.

Maka mestinya, sebagai “Yang Maha Kuasa”, Dia tak pernah bisa dipenjara dalam ideologi dan lembaga agama apapun. Dia melampaui pelebelan apapun. Siapapun bisa saja mengklaim dirinya sebagai yang paling religius, sebagai yang paling suci, sebagai yang paling benar, tapi “Yang Maha Kuasa” melampaui klaim-klaim macam itu. Kita bisa saja dengan gampang menuduh “yang lain” kafir, sesat, ateis, dan kitalah yang paling benar. Tapi, “Yang Maha Kuasa” menembus jauh ke dalam setiap pribadi. Dia yang paling tahu lebel-lebel itu untuk siapa.

“Yang Maha Kuasa” itulah yang mengalir dalam keadilan, kebaikan, kesetaraan, kebebasan, dan kesejahteraan yang diperjuangkan oleh siapapun, beragama atau tidak beragama pejuang itu. Maka, kebenaran tak perlu dicari ke mana-mana. Di dalam pribadi yang bebas dan merdeka kebenaran itu tersimpan dalam nurani. Itulah kebenaran yang membebaskan dan memerdekakan.

Tomohon, 16 Maret 2010