Sabtu, 10 April 2010

Esei Denni Pinontoan: "Merenung tentang “Sang Maha Kuasa”.

Padamulanya, mungkin adalah kesadaran adanya “Kuasa” yang melampaui diri. “Kuasa” yang tak bernama, tak terjangkau secara fisik, tak berjenis kelamin, tak berawal dan tak berakhir itu, kemudian dihadirkan dalam bahasa masing-masing kebudayaan dan dalam macam-macam pemaknaan. “Yang Maha Kuasa” itu, bukan sekadar yang diproyeksikan oleh kemampuan nalar, tapi juga bukan soal kejiwaan yang gelisah atau terpesona oleh kebesaran jagad ini. Dia mungkin saja bagian dari kesadaran akan semua itu, tapi melampaui segala proyeksi dan gejala kejiwaan manusia. Karena itulah sehingga Dia diakui sebagai “Yang Maha Kuasa”.

Pun ketika “Yang Maha Kuasa” itu, disebut sebagai Yahweh, Brahman, Allah, Thian, Hiyang Widhi, Opo Kasuruan, dll, Dia tetap saja melampaui daya ucap dan daya ingat manusia. Dalam ruang kehidupan “Yang Maha Kuasa” itu tak bisa ditunggalkan. Dia melampaui bingkai-bingkai kemanusiaan. Manusia yang mengaku beragama, yang setiap hari menyebut nama-Nya, belum tentu telah menggapai makna kesucian “Yang Maha Kuasa” itu. Tetapi, mungkin tak bijak buru-buru mengatakan orang yang jarang atau sulit menyebut nama itu, dan atau tak menformalkannya dalam seremonial keagamaan sebagai orang yang tak mengakui keberadaanNya.

Saya kira, para nabi dan nabiah, para resi dan sufi serta leluhur kita yang mencoba menyatukan diri dalam tatanan kosmis sebagai usaha menyelami kekuasaan yang tak terbatas “Sang Maha Kuasa”itu, yang paling menyelami makna adanya “Sang Maha Kuasa” itu. Yesus, Sidharta Gautama, Kong Hucu, Muhammad, yang mesti dirujuk sebagai yang telah menyatu dengan “Yang Tak Terjangkau” itu.

Agama, awalnya adalah pelembagaan ekspresi kepercayaan terhadap “Yang Maha Kuasa” itu. Namun karena itulah maka agamapun belum tentu sebagai pewaris kesucian-Nya. Sebab, agama tak hanya mengurus bagaimana warisan suci itu mendamaikan dunia. Dalam dimensi politis dan ekonomisnya, agama dapat dengan mudah berubah menjadi kasar dan keras. Atas nama tuntutan kesucian, agama dengan enteng dapat menghalakan cara-cara yang dia khotbahkan sebagai sesuatu yang sebenarnya haram. Pada dimensi ideologisnya, agama sering terlibat dalam pertarungan dengan “yang lain” untuk cita-cita menunggalkan kebenaran.

Tapi, seideologis apapun agama, seateis apapun manusia, “Yang Maka Kuasa” itu tak dapat mati. Yang berusaha membunuh Diapun, nanti sadar kemudian, bahwa yang dia coba bunuh ternyata adalah tuhannya. Mereka salah sasaran. Tuhan-tuhan yang menjadi target pembuhunan itu sebenarnya bikinan nalar dan jiwa yang tak pernah terpuaskan. Namun, dari pada dibunuh lebih baik tuhan-tuhan itulah yang dipakai sebagai pembenar untuk perang melawan yang lain. Maka, perang atas nama tuhan itulah yang terjadi, bukan Tuhan “Yang Maha Kuasa” yang telah mencipta kebaikan.

Maka mestinya, sebagai “Yang Maha Kuasa”, Dia tak pernah bisa dipenjara dalam ideologi dan lembaga agama apapun. Dia melampaui pelebelan apapun. Siapapun bisa saja mengklaim dirinya sebagai yang paling religius, sebagai yang paling suci, sebagai yang paling benar, tapi “Yang Maha Kuasa” melampaui klaim-klaim macam itu. Kita bisa saja dengan gampang menuduh “yang lain” kafir, sesat, ateis, dan kitalah yang paling benar. Tapi, “Yang Maha Kuasa” menembus jauh ke dalam setiap pribadi. Dia yang paling tahu lebel-lebel itu untuk siapa.

“Yang Maha Kuasa” itulah yang mengalir dalam keadilan, kebaikan, kesetaraan, kebebasan, dan kesejahteraan yang diperjuangkan oleh siapapun, beragama atau tidak beragama pejuang itu. Maka, kebenaran tak perlu dicari ke mana-mana. Di dalam pribadi yang bebas dan merdeka kebenaran itu tersimpan dalam nurani. Itulah kebenaran yang membebaskan dan memerdekakan.

Tomohon, 16 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar