Sabtu, 10 April 2010

Reportase Denni Pinontoan: "Pesta di Wanua Treman".

Ini memang pesta. Sebuah bangsal besar digelar di tanah lapang Wanua Treman. Ramai orang di sana. Pesta rakyat di wanua Treman sedang digelar. Sebuah baliho besar di panggung tertulis “Selamat Hut ke 325 Wanua Treman”. Ibadah dengan liturgy yang dipadukan dengan unsur-unsur budaya Tonsea memberi nuansa religius. Sebuah cerita dalam bentuk teaterikal mengulang sejarah kelahiran wanua itu. Tapi, sudah pasti pesta hari itu telah jauh berbeda dengan pesta rakyat wanua Treman di abad-abad sebelumnya.

Banyak warga di luar bangsal berkostum partai. Di dalam bangsa sang pendeta berdoa dan berkhotbah, sementara di luarnya ramai terdengar cerita kampanye Pilkada Kabupaten Minaahsa Utara (Minut) tahun ini. Jangan heran, sebab ketua umum panitia pesta rakyat ini adalah calon bupati yang siap maju bertarung dalam Pilkada Minut. Pesta rakyat itu tak ubahnya seperti kampanye. Calon bupatinya agaknya sengaja mengerahkan massanya untuk meramaikan acara itu.

Langit masih mendung. Hujan memang sudah turun tapi agaknya dia masih akan kembali. Doa dan khotbah sang pendeta di dalam bangsal agaknya tak menjadi perhatian warga di luar bangsal. Mereka lebih tertarik bicara soal suksesi Pilkada Minut ketimbang menyimak dengan seksama khotbah sang pendeta. Orang-orang yang di dalam bangsalpun belum tentu, sebab mereka tampak sudah lapar.

Tapi begitu sang ketua umum yang juga sebagai calon bupati bicara setelah ibadah dan prosesi budaya selesai, warga yang tadinya asyik dengan bicara-bicara politiknya segera mendekat ke bangsal menyimak “orasi” sang calon itu. Tepuk tangan dan teriakan mendukungpun bersahutan menyambut kalimat-kalimat manis berbau politis yang keluar dari mulut sang calon.

Maka, acara yang tadinya bernuansa religius dan budaya kini tiba-tiba berubah menjadi ajang kampanye politis. Rasa laparpun sejenak hilang, dipuaskan dengan janji-janji manis. Prosesi religi dan budaya sudah berganti dengan proses politik. Warna-warni bendera partai semakin berseri, begitu juga dengan hampir semua makhluk hidup di tanah lapang itu. Inilah religi, budaya Minahasa dalam bungkusan politik masa kini.

Politik memang mempesona. Pesonannya mengalahkan khotbah gereja dan nilai budaya. Bahkan, kodrat rasa laparpun bisa sejenak dikalahkan oleh kalimat-kalimat berisi janji kemakmuran dan kesejahteraan sebagai retorika politik. Padahal, sekira 1 km dari tanah lapang itu artefak-artefak budaya, berupa waruga berserakan tak terurus. Minawanua, perkampungan lama wanua Treman tergelar jejak-jejak peradaban Tou Treman sejak kira-kira abad 16. Menuju ke sana, mobil berjenis Espass harus menyerah. Jalannya penuh bebatuan. Sejumlah waruga yang rusak berserakan di pinggiran jalan, yang lainnya hampir roboh. Kondisi waruga-waruga ini sangat kontras dengan tugu pendidikan yang berdiri kokoh dan terurus di tanah lapang, tempat dilaksanakannya pesta rakyat itu.

Minawanua itu tampak sedang sekarat. Padahal, di tempat lain di wanua itu acara akbar mengenang peradaban itu sedang digelar.

Dari Minawanua itu, tampak gunung Kalabat yang kokoh berdiri. Daun-daun nyiur melambai-lambai diterpa angin sore. Di tanah lapang, acara makan-makan setelah proses politik itu sedang berlangsung. Macam-macam menu sementara disantap. Tarian modern Caka-caka mangganti Maengket. Tarian “Selendang Biru” syairnya hanya menyisahkan kata “Opo Empung” untuk keminahasaannya, yang lainnya diucap dalam bahasa republik ini. Seruan “I Yayat U Santi” sunyi terdengar, gantinya seruan “Merdeka” yang memekikan telinga. Musik Kolintang masih berdendang mengiringi prosesi ritual Kristen. Setelah itu lagu-lagu popular yang diiringi perangkat musik modern dinyanyikan seorang keke berbusana minim dengan warna menyolok . Syair lagu-lagunya bertemakan cinta dan terlebih sakit hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar