Selasa, 22 Desember 2009

Esei Denni Pinontoan: "Orang Muda Minahasa Bergerak (Catatan dari diskusi “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Orang Muda Minahasa”).

Kamis, 17 Desember 2009, bertepatan dengan HUT saya, teman-teman Mawale Cultural Center, dan juga beberapa kelompok jaringannya berkumpul di rumah tempat saya dan keluarga tinggal (bukan rumah milik pribadi, melainkan fasilitas fakultas). Teman-teman yang hadir tidak terlalu banyak, tapi diskusinya fokus dan menarik. Dan, seperti biasa, sebagai juru foto dalam diskusi ini adalah Bodewyn Talumewo. Sementara Sylvester Ompi Setlight mengikuti dengan seksama proses diskusi tersebut. Topik diskusi kami di sore hingga malam itu adalah “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Muda Minahasa”? Saya bilang di awal diskusi, memilih topik ini bukan berarti kita baru akan menggagas sebuah gerakan, namun katakanlah topik ini sebagai refleksi jelang akhir tahun kita atas apa yang telah dibuat oleh Mawale Cultural Center dengan jaringan-jaringannya.

Diskusi dimulai dengan pernyataan menarik dari Ivan Kaunang, yang sekarang ini sedang menyelesaikan S3nya di Udayana, Bali. Dia menyoal tentang penggunaan kata “muda” atau “orang muda” dalam gerakan ini. “Ini sangat dikotomis, tidak mencirikan posmo. Padahal melakukan kerja budaya tidak boleh dikotomis”, kata lelaki yang biasa kami sapa mner Ivan ini.

Rikson Karundeng, menanggapi pernyataan mner Ivan tersebut. Katanya, misalnya mengapa Gerakan Minahasa Muda (GMM) menggunakan kata “muda”, ini karena ada suatu masa di Kab. Minahasa terjadi kelesuan dalam gerakan kebudayaan. Nah, yang kebetulan muncul waktu itu, kata dia adalah pemikiran dari beberapa orang muda untuk melakukan sesuatu dalam kebudayaan Minahasa. Maka lahirlah GMM. Artinya, orang-orang muda yang peduli dengan kebudayaan Minahasa dalam kekiniannya berusaha mencari cara dan melakukan usaha untuk kemajuan cara pikir dan bertindak dengan basis kultur Minahasa menghadapi beberapa tantangan dan peluang.

Saya memberi tanggapan dengan mengatakan, bahwa kata ‘muda’ atau ‘orang muda’ ini sebenarnya tidak terutama menunjuk pada segi usia, namun lebih menunjuk pada semangat atau spirit berpikir dan beraksi. Orang-orang yang sudah tidak masuk dalam kategori orang muda dari segi usiapun, kata saya, bisa menjadi bagian dalam gerakan ini. Tapi, menurut saya bahwa, misalnya dari beberapa kesempatan berdiskusi dengan para tua-tua ini, yang tampak adalah pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung tidak mengikuti zaman. “Mereka, memang tidak semua, cenderung lebih banyak bernostalgia dengan masa lalu. Bahkan, kecenderungan untuk seolah-olah melimpahkan tanggung jawab terhadap usaha memajukan Minahasa sering muncul dalam ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan mereka. Dan, di sini orang muda cenderung dilihat sebagai objek,” kata saya.

Fredy Wowor kemudian angkat bicara dengan mengungkap diskusi di waktu lalu mengenai topik “tua” dan “muda” ini. Menurut dia, hal ini memang pernah menjadi topik diskusi menarik. Dalam diskusi di waktu itu, kata Fredy, akhirnya disimpulkan bahwa kata “muda” ini memang tidak terutama menunjuk pada segi usia, melainkan lebih ke spirit dan dinamisasi gerakan serta pemikiran. “Tapi, memang sebagai sebuah gerakan budaya, kita orang muda harus mengambil garis pilihan. Bukan karena kita tidak menghormati lagi peran orang-orang tua, tapi bahwa inilah kita yang mengambil pilihan garis gerakan dengan memakai pendekatan yang progresif, bersifat kebaruan dan dinamis,” kata dosen sastra ini.

Greenhill Weol mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan gerakan muda ini lebih menunjuk pada sebuah usaha dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran muda, baru dan mungkin memiliki pendekatan dan cara padang yang berbeda dengan ‘tua-tua’ tersebut. Tapi, katanya, ini bukan bermaksud untuk membuat “pembedaan”. “Perbedaan”, ya, jelas dan itu wajar-wajar saja. “Menariknya, yang khas pa torang meski kita terlibat debat atau beda pendapat dengan kaum tua misalnya, tapi selalu diakhiri dengan pendekatan kultur,” kata Green “Gondrong” Weol.

Saul Ering, pendiri Teater Roda di Manado memberi penekanan soal semangat atau “roh” muda atau orang muda dalam gerakan kultural Minahasa. Artinya, yang dimaksud dengan gerakan orang muda Minahasa menunjuk pada adanya pemikiran dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang muda atau yang berpikiran muda. “Jadi, mungkin yang lebih tepat kita menyebut gerakan ini sebagai gerakan orang-orang muda Minahasa. Roh atau semangat orang-orang muda yang melakukan gerakan itu,” kata alumni Fakultas Teologi UKIT ini.

Satu pertanyaan menarik diungkap oleh Jack Wullur, dari Komunitas Kreatif ’06, Fakultas Teologi UKIT yang hadir bersama dua rekannya, Eka Egeten dan Rivo Gosal. Dia bertanya tentang siapa sebenarnya yang disebut tou Minahasa itu. Ini kemudian memunculkan respon yang menarik pula. Diskusi pun semakin hangat. Dari beberapa orang yang menanggpi pertanyaan Jack itu kebanyakan sampai pada titik yang sama, bahwa yang disebut tou Minahasa itu bisa dilihat dari segi geneologis, dan kemudian dari segi ikatan sosial, politik dan ekonomi dengan tanah Minahasa. “Dasarnya adalah komitmen. Jadi siapapun dia yang hidup dan mati di tanah ini yang mendasari gerakhidupnya pada komitmen pada Tanah Minahasa, maka dialah Tou Minahasa,” begitu kesimpulannya.

Keragaman Corak dan Paradigma Berminahasa
(Beberapa pokok pikiran saya yang tidak tertuang dalam diskusi itu)
Di tahun 2009 ini, saya mengamati secara umum ada semacam gairah baru bagi kaum muda Minahasa dalam memberi sikap dan pemikiran serta aksi yang berbasis budaya Minahasa terhadap beberapa persoalan dalam konteks kekiniannya. Kaum muda Minahasa yang saya maksudkan tentu tidak semua. Namun, dari sekelompok orang muda Minahasa yang bergerak melalui gerakan dan pemikiran ini, sebagai orang muda, saya melihat ada semacam semangat untuk memberi perhatian terhadap kebudayaan Minahasa. Hal tersebut tampak dari gerakannya, baik itu dalam bentuk diskusi, seminar atau sejenisnya yang mengangkat tema “ke-Minahasa-an” di Facebook, di acara-acara yang melibatkan banyak orang, publikasi tulisan, dan kegiatan-kegiatan seni dan sastra. Terakhir yang saya rekam adalah usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa, seperti yang dilakukan oleh Mawale Cultural Center (MCC), Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Pinawetengan Muda di Watu Pinawetengan pada tanggal 9 Desember lalu.

Berdasarkan pengamatan saya, yang mungkin subjektif, dari berbagai macam bentuk gerakan dan pemikiran yang terlihat dipublik, tampak ada paling kurang tiga pendekatan ketika membicarakan Minahasa. Pertama, memahami Minahasa sebagai bagian yang tidak terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga kepedulian terhadap persoalan kebudayaan Minahasa selalu berusaha diletakkan dalam konteks Indonesia. Kadang pendekatan ini rawan menjebakkan orang-orang muda Minahasa pada usaha mempolitisir dan mengkomersialisasikan budaya Minahasa. Atau hanya membuat gerakan itu berjalan di tempat karena tidak kritis dalam memahami apa yang sudah mapan, sudah begitu adanya. Tapi, saya kira pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin nasionalisme orde baru dengan penyeragamannya dan juga usaha politik negara mensubordinasi Minahasa sebagai sebuah bangsa dalam komunitas politik besar yaitu negara. Tapi dari beberapa diskusi dengan teman yang saya identifikasi masuk dalam pendekatan ini, bahwa alasanya lebih kepada bahwa Minahasa, secara histories adalah bagian dari sejarah pergerakan Indonesia. Makanya, adalah suatu keharusan untuk membicarakan Minahasa dalam konteks ke-Indonesia-an.

Kedua, orang-orang yang memahami Minahasa sebagai sebuah suku bangsa yang identik dengan Kekristenan, sehingga ketika mendiskusikan masalah-masalah Minahasa selalu diletakkan pada pada nilai-nilai kekristenan, yang denganya maka ketika berbicara fenomena tentang berbagai hal yang memprihatinkan di Minahasa jawabanya ada pada iman Kristen. Bahkan ada kecenderungan untuk menyamakan begitu saja antara kekristenan sebagai agama dengan ke-Minahasa-an sebagai bangsa secara kultur. Sejarah penginjilan atau kristenisasi di Tanah Minahasa yang bersamaan dengan kolonialisme ternyata pada banyak hal telah membentuk pemikiran dan sikap bagi orang-orang Minahasa untuk menyimpulkan bahwa eksistensi Minahasa kontemporer sebagai bagian yang tidak terlepas dari proses perkembangan agama Kristen di tanah ini. Padahal, pada banyak hal gereja-gereja Kristen di Minahasa belum berhasil melakukan kontekstualisasi teologi dan praktek kekristenannya dengan kebudayaan Minahasa.

Ketiga, memahami Minahasa sebagai bangsa yang entitas dan identitasnya tidak identik dengan Indonesia dan Kekristenan. Bahwa, berdasar pada catatan sejarah, Minahasa adalah bangsa yang di dalamnya terdiri dari suku-suku. Sehingga, usaha menjawab keprihatinan terhadap berbagai persoalan Minahasa hari ini tidak kemudian diletakkan dalam konteks NKRI dan kekristenan, malah justru secara kritis mencari akar-akar persoalan itu dari dominasi NKRI dan juga persoalan belum tuntasnya gereja-gereja membumikan teologinya dalam konteks Minahasa.

Orang-orang ini memahami Minahasa sebagai organisme hidup, yang dinamis dan selalu mengambil pilihan pada zamannya. Ciri dari orang-orang yang memahami Minahasa seperti ini adalah secara kritis tidak menyamakan begitu saja antara yang disebut Minahasa sebagai entitas dan identitas kultur dengan kekristenan sebagai agama. Berikut, memahami kebudayaan Minahasa sebagai sesuatu yang dinamis, dan dengannya selalu berusaha melakukan interpretasi terhadap sejarah, nilai dan simbol Minahasa peninggalan leluhur. Kemudian, secara kritis memahami kolonialisme dan kekristenan sebagai yang antara lain penyebab dari sejumlah persoalan Minahasa kontemporer. Bahwa, kolonialisme dan kristenisasi di Tanah Minahasa telah menyebabkan hilangnya beberapa nilai budaya Minahasa. Dalam mendefinisikan siapa Tou Minahasa, pendekatan ini cenderung terbuka. Bahwa yang disebut tou Minahasa kontemporer tidak terutama hanya bisa dilihat dari segi geneologisnya, namun juga komitmen dari orang-orang (siapa saja dia) yang hidup dan mati di atas tanah Minahasa.

Pada soal politik, oleh pendekatan ini memahami bahwa NKRI tidaklah identik dengan Minahasa, sebab Minahasa adalah bangsa dengan identitas dan entitasnya yang khas yang berbeda dengan NKRI yang baru berdiri pada tahun 1945 itu. Pada hal-hal tertentu, secara kritis memahami bahwa struktur dan kebijakan politik NKRI telah mendominasi dan menghegemoni Minahasa. Pendekatan ini percaya, bahwa salah satu cara untuk memajukan Minahasa adalah dengan perubahan cara pikir dan paradigma.

Tapi yang perlu digaris bawahi bahwa ketiga kategori pendekatan ini tidak serta merta menunjuk pada lembaga atau kelompok gerakan orang-orang muda tersebut. Dalam satu kelompok gerakan orang Muda Minahasa, ketiga corak dan paradigma berpikir tersebut bisa tercampur. Masing-masing individu di dalamnya bisa saling berbeda pendekatan. Makanya, ketiga pendekatan ini barangkali tepatnya kalau disebut sebagai corak dan paradigma berpikir dalam memahami dan mendekati Minahasa sekarang ini secara umum yang tampak dalam diskusi-diskusi di berbagai macam ruang sebagai media untuk membicarakan Minahasa. Lepas dari persoalan perbedaaan pendekatan dan paradigma tersebut, hal yang positif dari fenomena ini adalah munculnya semacam semangat baru dalam memaknai Minahasa dalam kekiniannya. Para orang muda Minahasa sekarang ini dan mudah-mudahan akan semakin berkembang, sementara melakukan gerakannya dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti: seni sastra (sanggar-sanggar teater, band-band indie) kajian intelektual (lewat diskusi, penelusuran jejak-jejak sejarah, penelitian, penerbitan buku, dll) dan kelompok-kelompok yang fokus pada minat tertentu.

Kami, di Mawale Cultural Center misalnya mengambil posisi pada pendekatan yang terbuka, kritis dan berusaha mendialektikan secara aktif antara nilai budaya di masa lalu dengan melakukan interpretasi kritis terhadapnya dengan konteks Minahasa kontemporer. Meski pada level praksisnya, di antara kami masih sering terlibat dalam diskusi yang mendalam mengenai beberapa hal yang menjadi perhatian bersama. Prinsip dasarnya adalah komitmen membangun kembali rumah bersama Minahasa ini yang mungkin pada beberapa hal masih sangat terbebani dengan paradigma warisan kolonial, paradigma sentralistik orde baru, belum tuntasnya usaha menkontekualisasikan teologi agama Kristen dengan Minahasa yang telah memunculkan keterbelahan pada orang-orang Minahasa. Dengan berbagai bentuk gerakan yang ada di Mawale Cultural Center yang bergerak bersama dengan berbagai jaringannya, misi kita adalah melakukan perubahan paradigma atau mindset di kalangan muda Minahasa.



Bukit Inspirasi, Jumat, 18 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar