Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Cerpen Grace O'Nelwan: "Ketika Cupido Belajar Memanah"

Menanti Esok.
Namaku Cupido. Panggil saja aku Abu-abu. Semua penduduk Negeri Awan Biru memanggilku Abu-abu. Karena warnaku memang Abu-abu.
Kini aku berusia 1999 hari. Besok aku genap berumur 2000 hari. Itu berarti aku akan masuk kelas persiapan menjadi Dewa Asmara. Pasti sangat menyenangkan. Bekerja bersama bunda Aphrodite membantu manusia menemukan pasangan jiwanya.
Aku tak sabar lagi.. Besok.. besok… ah… masih sekian ribu detik sebelum besok benar-benar datang.

Kelas Bunda Aphrodite.
Aku datang sepagi-paginya. Ternyata aku bukanlah yang pertama. Cupido-cupido lain yang sudah duduk manis di kelas persiapan. (Pasti manusia merasa heran, karena Cupido bukan hanya satu, tapi banyak.) Ada si Putih yang diam di pojokan, Si Merah dan Hijau yang sedang bercanda, Biru sedang membaca, Kuning sedang memainkan sayapnya. Ruangan ini penuh warna, karena kami para Cupido memang berwarna. (Tidak seperti yang di gambarkan manusia dalam buku-buku mitologinya.) Hmmm, semua Cupido sama tak sabarnya seperti aku. Semua segera ingin bisa ‘memanah’ dengan busur asmara dan anak panah cinta.
Bunda Aphordite datang. Kami semua berusaha tenang. Ah, Bunda cantik sekali pagi ini. Rambut birunya yang bergelombang indah dibiarkan tergerai menebarkan aroma buih laut yang menyengarkan.
“Semua pasti tahu kenapa kalian berada disini”
Kami semua mengangguk, anggukan serangam, terbius kelembutan suara Bunda.
“Yah, kita berada di sini untuk membantu manusia. Membantu mereka menemukan pasangan hatinya, pasangan jiwanya.”
“Mengapa kita harus membantu manusia Bunda, bukankah manusia terkenal pandai?” tanya si Unggu yang duduk di belakangku.
“Manusia memang sangat pandai, tapi untuk urusan hati, manusia tidak berdaya.”


Cerita Bunda Aphrodite tentang Manusia
Jaman dahulu kala, manusia tidak terbagi dan terkotak-kotak seperti sekarang. Tak ada ras, suku dan agama. Tak ada laki-laki dan perempuan. Hanya ada satu jenis manusia, yang disebut androgynus. Manusia jenis ini berkepala 2, bertangan 4, berkaki 4 tapi hanya memiliki 1 buah hati. Bisa dibayangkan betapa kuat dan pintarnya manusia androgynus ini dan dengan hatinya yang utuh, manusia selalu kukuh dalam pendiriannya, tidak plin-plan seperti manusia-manusia sekarang. Kekuatan, kepintaran dan kekukuhannya dalam bertindak membuat para dewa takut dan khawatir, jangan-jangan satu saat nanti manusia akan menguasai para dewa. Karena itu Raja Zeus membelah manusia menjadi 2. Sehingga manusia hanya memiliki 1 kepala, 2 tangan, 2 kaki dan ½ hati. Raja Zeus kemudian memisahkan manusia dan melemparkan mereka kedalam pengembaraan panjang di bumi. Ketika saling terpisah, manusia selalu rindu pada pasangan hatinya. Rindu pada ½ hatinya yang lain. Karena itu dalam setiap pengembaraan manusia, mereka selalu mencari cara untuk dapat bersatu lagi dengan pasangan hatinya. Tersiksa oleh rindu dan mendambakan pasangan hatinya, membuat manusia menjadi lemah (Ada air menggenang di mata Bunda Aphrodite). Dalam kelemahannya manusia kemudian terlalu sering menyerah dengan mengikatkan diri pada potongan hati pertama yang dia temukan, tapi setelah berapa saat, manusia sadar, itu bukanlah pasangan jiwanya. Karena itu seringkali terjadi perceraian diantara manusia. Pernikahan bukan titik akhir dari pencarian pasangan jiwa. Kelemahan ini yang membuat manusia menjadi sering terluka dan menderita. Raja kita, Zeus, merasa bersalah melihat penderitaan manusia. Untuk menebus rasa bersalahnya Zeus menugaskan kita membantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat.

Tangan kanan Bunda Aphrodite kini menggegam sebuah busur indah yang terbuat dari emas dan dengan tali-tali perak yang dijalin dari rumput laut. Tengahnya dihiasi mutiara hijau dan abu-abu.
“Ini adalah Busur Asmara kita yang termasyur. Hanya Cupidolah yang berhak memakainya. Tak ada dewa lain yang dapat menggetarkan tali-tali busur asmara ini.”
Dan kemudian Bunda mengangkat tangan kirinya yang menggengam sepasang anak panah kembar. Bentuknya panjang dan pipih. Ujungnya lancip berwarna pelangi dan diselimuti kabut tipis, beraroma sandalwood.
“Ini adalah panah asmara kembar. Anak panah ini dibuat sepasang-sepasang, tak ada sepasang panah yang sama. Karena manusia hanya memiliki 1 pasangan jiwa.
Busur asmara ini akan dipinjamkan pada kalian selama 1 minggu. Setelah itu kalian akan dievaluasi, bila minggu pertama gagal, kalian akan diberi kesempatan pada minggu kedua, bila kalian gagal lagi, maka kalian akan masuk dalam kelompok “stupid cupid”

Oh, aku tak pernah akan memaafkan diriku kalau sampai aku gagal dalam masa magang menjadi dewa asmara dan menjadi stupid cupid! What a nightmare, kalau sampai itu terjadi. Stupid Cupid adalah gelar yang diberikan pada cupido-cupido pecundang yang gagal melewati magang ‘menentukan pasangan hati.’ Dan biasanya Stupid Cupid harus menunggu 2000 hari lagi sebelum mendapatkan kesempatan menjadi dewa asmara. Dan selama 2000 hari stupid cupid hanya akan menjadi mahluk bersayap tanpa busur dan anak panah. Tanpa kesempatan membuat manusia bahagia. Dan tanpa membahagiakan manusia, cupido tak akan bisa bahagia. Sangat memalukan! Sangat menyedihkan!

Kelas hampir usai. Satu-satu kami berdiri, menerima dengan penuh sukacita, sebuah busur asmara dan sekantong anak panah cinta, buku manual memanah, buku UUM dan AUPH (Undang-undang Memanah dan Aturan Umum Penyatuan Hati).
“Ingat, teliti dulu sebelum memanah. Check en recheck itu perlu. Salah memasangkan hati maka manusia akan menderita, dan penderitaan manusia kan menyayat hatimu juga. Jangan buat kesalahan itu! Yang terbaik berhak mendapatkan Dewa Zeus Award. Sampai jumpa pada evaluasi memanah, minggu depan. Selamat bekerja”.
Bunda Aphroditepun berlalu….
Rambut birunya bergoyang-goyang, busur asmara dan panah cinta di bahunya turut bergoyang…

Minggu Memanah
Aku sangat bahagia. Ingin kubantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat. Ingin kubantu Raja Zeus tercinta, mengurangi rasa bersalahnya, dengan mengutus aku, si Abu-abu. Cupido yang tepat, Cupido yang tak akan berbuat kesalahan.
Aku harus berhati-hati dalam mencocokan pasangan. Aku harus menemukan potongan-potongan yang paling tepat… yah ..yang paling tepat.
Alangkah menyenangkan membuat manusia bahagia dan Bunda Aphrodite bangga.
Aku kini melayang-layang, bersembunyi di awan-awan. Mengintip manusia… aha.. ini dia, satu pasangan telah kutemukan. Kucocokan dengan catatan, kucocokan dengan potongan hati, mereka klop. Anakpanahpun kuluncurkan…
Hati-hati ku bidikan. Tepat pada sasaran… aku berhasil…!!! Manusia kini kembali menjadi 2 kepala, 4 tangan, 4 kaki, dan 1 hati. Sempurna…!!! PERFECTO!!!
Kini pasangan yang lain juga… anak panah berujung pelangi menancap di hati… la..la..la.. aku bernyanyi. Trilili aku menari… Dewa Zeus Award… pasti jadi miliku.


Kekacauan di Negeri Manusia.
Di sebuah Gym (Kisah Astrid)
Sambil berjalan di atas treadmill, Asrid memandang kelas body builder yang hanya dibatasi kaca tembus pandang. Ada Ajie di sana. Ajie memang tampan. Badannya atletis tak berlebihan. Tak ada otot-otot yang terlalu besar, tapi keseluruhan tubuhnya tegap dan kencang. Dia selalu tersenyum, dan matanya sangat indah. Ajie sangat ramah dan penuh perhatian. Tak tahu kapan rasa itu datang, tiba-tiba saja Asrid menemukan dirinya jatuh cinta pada Ajie. Dia yakin Ajiepun mencintainya, tapi mungkin Ajie malu untuk mengakuinya. Tapi Aku harus mendapat kepastian perasaan Ajie. Asridpun berlari penuh semangat diatas treadmillnya.
Melihat Ajie keluar dari ruangan. Asridpun berhenti berlari, dan dengan handuk kecil di bahunya Asrid mengejar Ajie. Pasti Ajie menuju café di lantai bawah. Baru 7 anak tangga yang dia lewati, dilihatnya Ajie, tapi dia tidak sendiri. Ajie sedang berciuman mesra dengan Rodi, istruktur senamnya. Bibir mereka bertaut dan tubuh mereka melekat erat. Asrid membeku di tempatnya… ah Ajieku ternyata homo!!!!



Di sebuah Gereja: (Kisah Pendeta Dian)
Tiba-tiba Ketua Jemaat, memanggil seluruh majelis jemaat untuk rapat mendadak. Sore itu semua telah hadir di ruangan konsistori Gereja. Rapat ini diadakan untuk membicarakan persoalan pendeta Diana. Kabar baru yang terdengar, Pendeta Diana menjalin hubungan khusus dengan Bernard, seorang narapidana yang divonis 15 tahun penjara, karena tuduhan membunuh kakaknya. Pendeta Diana memang bertugas untuk memimpin ibadah-ibadah di penjara. Dan ternyata, di penjara pula pendeta Diana, jatuh hati pada Bernard.
Suara 1: Jadi, tindakan apa yang harus kita ambil?
Suara 2: Pecat saja
Suara 1: itu bukan wewenang kita, tapi itu wewenang Sinode
Suara 3:Kalau begitu bawa saja persoalannya ke Sinode
Suara 4: Kucilkan saja dari Gereja, itu perbuatan yang memalukan
Suara 2: Diskors dulu, tidak bisa memimpin ibadah, bahkan tidak boleh masuk gereja!
Suara 1: bagaimana kalau kita melakukan pemilihan suara. Masing-masing menuliskan gajaran apa yang paling pantas untuk pendeta Diana…
Koor : Setuju!!!!
Kini para majelis dan para pendeta pelayan sibuk mencoret-coret secarik kertas….
Entah apa putusan mereka.


Di sebuah Café: (Kisah Arimbi dan Anita)
Dipojok O La la Café, dua wanita cantik duduk. Keduanya berambut panjang sebahu, yang satu di cat burgundy, yang lainnya di cat dark blue. Sepotong black forest dan sepiring french fries masih utuh di depan mereka. Begitu juga dengan frappucino milik Arimbi dan hot chocolate yang sekarang telah menjadi cold chocolate, milik Anita, belum tersentuh sama sekali. Itu karena tangan-tangan Arimbi dan Anita sangat sibuk. Sibuk bergegaman dan membelai di bawah meja. Tak ada suara, karena semua komunikasi dilakukan lewat mata. Dan kedua pasang mata biru dan coklat, karena efek kontak lens itu, saling mengerti, bahwa cinta adalah milik mereka.

Di sebuah RSJ (Kisah Dokter Bayu)
+ Apa???? Gak masuk di akal? Dia kan dokter muda tercakep serumah sakit ini.
tapi ini benar-benar terjadi
+ dari mana kamu dapat gosip murahan ini
kemarin aku sempat mendegar waktu dokter Bayu, berbicara dengan dokter Tio.
+ oh My my… dunia benar-benar sudah gila. Apa kurang banyak dokter atau suster yang cantik di rumah sakit ini, sampai-sampai dokter kita jatuh cinta ke orang gila…
orang gila yang juga cantik…
+ tetap saja gila…
tetap saja cantik, dan dokter Bayu tetap saja mencintainya.

Di sebuah Rumah Mewah (Kisah Meta)
Mama: Meta, sudah berkali-kali mama ingatkan, Allan bukanlah laki-laki yang pantas untukmu!
Meta: Kenapa gak pantas, ma? Karena ibunya hanya seorang tukang pijat?
Mama: Bukan itu saja, tapi kamu dari kecil sudah ditunangkan dengan Bobby.
Meta: Loh,ma, akukan gak pernah minta untuk ditunangkan dengan bobby.
Mama: Meta!!!!
Meta: Mama, aku mencintai Allan. Dan sampai kapanpun akan tetap mencintai Allan
Mama: Kamu boleh 1000 kali mencintai Allan, mencintainya sampai akhir hidup, tapi kamu tak akan pernah menikah dengannya. Kau boleh pilih, menikahi Bobby, atau tinggalkan rumah ini.

Di rumah Baba Liem (Kisah Han)
: kamu itu anak laki-laki satunya dalam keluarga, kamu harus menikah dengan Mei-lan
- Tapi pa, aku mencintai Keke, bukan Mei-Lan
: Tidak bisa Han, kamu harus tetap menikah dengan Mei-Lan. Jangan membantah papa. Apa kata paman A San kalau kamu membatalkan pertunangan ini.
- Tapi Pa….
: Tidak ada tapi-tapian… Paman A San sudah banyak membantu kita.

Di sebuah Pesantren (Kisah Ustad Yus)
Apakah aku bersalah kalau aku mencintai Ayu, ya Allah. Bukankan cinta adalah anugrahmu? Dan kenapa Anugrah sangat menyakitkan seperti ini.
Aku mencintaiMu yah Allah. Tapi aku juga mencintai ciptaanMu. Dan Ayu.., Ida Ayu Oka Laksmini adalah ciptaanMu yang kucintai. Aku mencintai kelembutannya, kebaikannya dan keindahannya. Tapi dia Hindu….
Apakah aku bersalah padaMu kalau ku-impikan membangun rumah tangga bahagia bersamanya? Allahku kalau cinta adalah anugerah, kenapa anugerah harus se-membingungkan ini? Apa yang harus kukatakan pada santri-santri di sini jika mereka mengetahui rahasia hatiku? Apakah aku harus jujur dengan perasaanku, ataukah harus kututupi demi sebuah kedamaian?
.

Di sebuah sekolah (Kisah Bu Lian)
8 tahun, choy..!!! Mereka beda 8 tahun…
Oh yah???
Iyah… Armen itu, mantan murid Bu Lian.
Oh… Armen yang anak 99 itu?
Iya.. Armen yang itu..
Mungkin Armen hanya mengejar duit Bu Lian…
Tidak mungkin!!!
Mungkin saja… Bu Lian sudah tua, lagian Armen bukan laki-laki jelek.
Kalau soal uang.. tidak mungkin… Armen kan tidak miskin…
Atau mungkin… Armen kena guna-guna Bu Lian..??
Guna-guna?? Hari gini???

Evaluasi para Cupido
Hari ini Evaluasi memanah.
Bunda Aphrodite akan memberikan hasil evaluasi memanah kami minggu ini. Jadwalku bertemu Bunda jam 10 pagi, sesudah Cupido kuning. Tapi aku sudah berada di depan ruangan Bunda Aphrodite jam 9.17 pagi. Aku tak sabar dan sangat tak sabar untuk mendengar hasil evaluasi Bunda. Aku sangat yakin bahwa aku akan lulus dengan pujian. Aku sudah bekerja keras sepanjang minggu. Pasti Bunda Aphrodite akan sangat bangga dengan hasil kerjaku. Pasangan hati yang aku persatukan tak akan mungkin meleset.

Kulihat Kuning keluar dari ruangan Bunda. Wajahnya menunjukan expresi sedih.
“Mengapa” tanyaku prihatin

Dia memperlihatkan hasil evaluasinya. Dia lulus dengan nilai lumayan; SCB (Sudah Cukup Baik).
“Dari 10 pasangan yang kupasangkan, ada 2 yang bukan pasangan hatinya.”

“Paling tidak, kamu lolos jadi Dewa Asmara..” ku coba menghiburnya dengan tanpa bisa menyembunyikan kegembiraanku. Kuning yang terpandai diantara kami hanya mendapat nilai SCB. Kuning berhasil lolos… tapi bukan yang terbaik…
Aku tersenyum… kasihan Kuning. Membuat 2 kesalahan fatal.. dan aku.. ho..ho.. aku si Abu-abu yang sangat teliti. Kesalahan seperti itu tak akan terjadi.

Aku masuk ke ruangan Bunda dengan kepercayaan diri penuh. Ruangan Bunda yang sangat melegenda. Karena dari ruangan inilah kami diputuskan untuk menjadi ‘the real Dewa Asmara’ atau hanya sebatas ‘Stupid Cupid’ yang pasti terlihat sangat stupid!!!
Bunda duduk di atas kursi yang terbuat dari kerang mutiara. Mejanya yang berwarna – warni terbuat dari potongan pelangi. Cahaya merah, kuning, birunya berpendar-pendar indah. Di depan meja Bunda ada sebuah kursi indah yang dudukannya dianyam dari rumput laut dan awan-awan putih ditumpuk-tumpuk menjadi batalan empuk.
Aku duduk di kursi itu.

Bunda Aphordite masih menundukan wajahnya, mempelajari hasil evaluasiku. Aku masih tersenyum sampai Bunda mengangkat wajahnya…

“Apa-apaan ini? Kekacauan apa yang kamu perbuat?”
Wajah Bunda yang cantik terlihat sangat masam, membuat senyumku langsung surut.
Kekacauan?? Aku tidak mengerti..
“Abu-abu, bukan hanya tidak ada satu pasanganpun yang sesuai, kamu bahkan telah membuat gempar negeri manusia..”

“Bunda, aku benar-benar tidak mengerti. Dengan sangat teliti aku memasangkan potongan-potongan hati manusia. Aku telah berusaha menggabungkan potongan hati yang paling tepat… tapi mengapa aku dikatakan pembuat onar yang menggemparkan negeri manusia?”

“Abu-abu, kita lihat kasus Arimbi dan Anita, keduanya adalah perempuan. Ajie dan Rodi, keduanya lelaki, kau tidak bisa memasangkan mereka. Pasangan itu harus laki-laki dan perempuan. Kasus Han juga, kenapa tak kau pasangkan Han dengan Mei- Lan. Mereka cocok dan dari etnik yang sama. Bu Lian, dia terlalu tua untuk Armen. Menurut peraturan yang tidak tertulis laki-laki harus lebih tua dari perempuan. Kau juga membuat ibu Meta pusing karena memasangkan Meta dengan Allan. Meta terlalu kaya untuk Allan. Dan kasus Ustadz Yus, apa kau mau membuat dia dibenci para santrinya? atau kamu mau perang? Kau membuat semuanya kacau, tak sesuai pakem… tak sesuai aturan umum yang berlaku.” Mata Bunda Aphrodite menatapku tajam..

“Tapi Bunda, aku sudah sangat berhati-hati mempelajari UUM dan AUPH. Tak kutemukan pasal yang mengatakan bahwa pasangan hati itu harus hetrogen, tak ada pasal yang menyebutkan soal suku dan strata sosial, tak ada pasal yang menyebutkan gradasi kecantikan, tak ada pasal yang menyebutkan usia, tak ada pasal yang menyebutkan soal agama, tak ada pasal yang menyebutkan soal kaya - miskin. Dan Aku sudah sangat hati-hati dan berkali-kali menguji kecocokan pasangan sebelum akhirnya memanahkan panah cinta, dan mereka benar-benar pasangan jiwanya.”

“Abu-abu, kamu benar soal isi UUM dan AUPH. Tapi seharusnya kamu lebih bayak melihat dan mendengar dari senior-seniormu. Benar, tak ada hukum atau pasal yang mengharuskan pasangan itu hetrogen, sama suku, ras atau agamanya. Tak ada juga pasal yang menulis soal penetapan usia tiap pasangan. Tapi itu terangkum dalam hukum-hukum kuno yang tidak tertulis. Hukum yang lebih kuat daripada hukum yang tertulis. Dan karena itu… kita bisa kompromi, bila pasangan hatinya sudah sedikit ‘pas’ walaupun tidak benar-benar pas…kita dapat mempersatukan mereka. Kita bisa memodifikasi sedikit. Bisa kita tutupi di sana-sini.”

“Tapi Bunda, bila pasangan hati saja bisa dimanipulasi, bagaimana kita mengajarkan kemurnian cinta pada manusia? Apakah menjadi Dewa Asmara harus pintar memanipulasi? Apakah kini, kita para Dewa, jadi seperti manusia. Ikut menyokong perbedaan strata, ras dan kelas, ikut membedakan warna-warna….?” Aku coba beradu argumentasi dengan Bunda.

“Kau akan mengerti… satu hari nanti kau akan mengerti, Abu-abu.” Kali ini tatapan Bunda melembut.

Aku keluar dari ruangan Bunda dengan HML di tanganku. Nilai yang paling menyedihkan (Harus Mencoba Lagi). Jangankan Dewa Zeus Award, luluspun aku tidak. Bukan itu saja. Dalam dua hari ini aku juga harus mengerjakan hal yang paling tidak disenangi dan yang paling dibenci oleh semua Cupido; mencabut panah asmara! Kasihan manusia…

Mencabut panah-panah dan hati-hati yang terluka
Abu-abu terpaksa mencabut semua anak panah cinta yang terlajur melesat dari busur asmaranya. Dibuka lagi buku UUM dan AUHP, mencari pembenaran lewat hukum-hukum yang tertulis rapi. Semua pasal membenarkan tindakannya. Tapi toh dia tetap saja salah. Percuma saja ada UUM dan AUHP, karena yang paling penting adalah peraturan umum yang berlaku… walaupun tak tertulis, tapi peraturan-peraturan ini yang dipakai.
Kini, Abu-abu pergi kesetiap pasangan yang telah dipersatukannya. Kali ini, dia harus mencabut setiap anak panah yang telah ditancapkannya… Tapi oh… dia tidak boleh mencabut kedua anak panah kembar sekaligus. Dia hanya boleh mencabut satu anak panah dari setiap pasangan, (Dia juga baru diberi tahu, saat dia mencabut 1 anak panah dari satu pasangan, ada luka tak berdarah yang tertinggal di dada, tapi yang merasakan sakit adalah orang yang panahnya tidak dicabut)
Dan dari setiap anak panah yang dicabutnya, abu-abu juga merasakan kepedihan. Kepedihan karena perasaan bersalah. Itu konsekwensinya.
Tapi dia hanya ingin lulus ‘ujian’ memanah dan menyatukan hati’
Kalau dia tidak lulus, apa yang harus dia kerjakan? Karena sebagai Cupido, tugas satu-satunya adalah memasangkan dan menyatukan hati.. Tak ada yang lain.

Maaf manusia….
Aku terpaksa harus memasangkan dan menyatukan hati kalian menurut peraturan ‘tak tertulis yang berlaku sejak dahulu kala’.. Kalau ada hati yang tersakiti, jangan salahkan cinta. Cinta tak pernah salah. Cupido yang salah…Tapi.. sekali lagi.. aku hanya ingin lulus ujian..
*****

(Tomohon, November 2007: malam setelah diskusi)

Esei Chandra Dengah Rooroh: "Bukit kasih, Bukit Miste"Religius"

Bagian kecil catatan dari ekspedisi Pinawetengan, Tonsewer, Kinali dan kanonang
28-29 September 2008

Masyarakat yang mengalami “masifikasi” adalah masyarakat yang sudah memasuki proses sejarah, tetapi kemudian dimanipulasi oleh golongan elit untuk dijadikan kelompok yang tidak berpikir dan mudah dikendalikan. Proses ini disebut “masifikasi”, lawannya adalah “konsientisasi”, yakni proses untuk mencapai kesadaran kritis. (look on Karl Popper, The Open Society and its Enemies)

Sekali lagi saya terhenyak ketika menginjakkan kaki di tempat ini Perasaan heran bercampur sakithati berbaur tak karuan dalam pikiranku. Apakah aku berada ditempat yang benar seperti kata teman- temanku ataukah aku sudah berada di tampat lain yang mirip dengan tempat ini?? Ternyata memang benar saya memang berada di tempat yang bernama bukit kasih. Sebuah lokasi wisata alam yang terletak desa Kanonang- kawangkoan, kurang lebih 60 km jarak dari kota manado dan ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit ini sudah berada dihadapanku kembali, yang di jaga kokoh oleh sebuah menara raksasa yang bernama menara kasih.. bersama- sama dengan teman- teman dari ekspedisi mawale movement (sastra_minahasa.blogspot.com) online, diantaranya Greenhill Weol, freddy Wowor, Bodewyn Talumewo, juga teman- teman dari Pinawetengan Muda Frisky Tandaju, Roy Najoan, Frits Singal dan Jolen Kawulur, sampailah kami di tempat ini setelah menempuh perjalanan dari desa Pinawetengan, Kinali dan Tonsewer.
Pijakan kaki kananku jatuh setelah turun dari motor Thunder kesayangan Green dan langsung membuat pikiran menerawang ini ke masa yang lalu, 16 juni 2003 adalah tanggal pertama kali saya datang ketempat ini dengan rombongan yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula. Decakan kagum terus keluar dari mulutku pada waktu itu. Bagaimana tidak berdiri dihadapan saya sebuah bukit yang sangat indah, dilengkapi dengan sekitar 12000an anak tangga yang memadai untuk mengadakan perjalanan religius (via do lorosa), patung- patung leluhur minahasa berdiri begitu gagah yang meninggalkan kesan betapa kentalnya adat dan budaya dan persatuan kita sebagai orang Minahasa, bangunan- bangunan ibadah dari berbagai golongan berdiri berjejeran di lereng bukit yang seakan- akan memperlihatkan hubungan kerjasama antar umat beragama di daerah ini sangat kuat plus sambutan yang ramah dari masyarakat sekitar menandakan bahwa orang daerah sini sudah siap menemui pengunjung dari mana saja, yang artinya akan menyukseskan program WOC (world ocean confrencce) 2009. belum lagi bangunan- bangunan rekreasi berdiri megah disepanjang pandangan bukit itu… begitu saya menginjakkan kaki di anak tangga yang ke 100an lebih terciumlah bau yang menyengat. Ya, itu tidak lain adalah bau belerang yang memang keluar dari tempat ini karena memang tempat ini salah satu lokasi gas alam yang tersebar di beberapa daerah di minahasa.
Yang lebih mengejutkan saya lagi ketika samar- samar saya mendengar suara nyanyian rohani, dengan tergesa- gesa saya langsung naik terus menuju asal suara itu dan benar juga, saya sudah terhenti di jarak 7 meter dari lokasi itu karena didepan saya jelas sekali ada sebuah bangunan besar pertama saya temui yang bernama Gereja Masehi Injili di Minahasa. Yang lebih menyentuh hati saya yaitu sebuah tulisan berbahasa daerah yang tertera dibawah tulisan tadi, (Wale ni Amang Kasuruan Wangko). Dalam hati perasaan senang dan takjub kembali mengelilingi tubuhku, betapa tidak sebagai orang yang dibaptis dari ajaran ini sangat bangga melihat tempat ibadahnya dibangun ditempat seperti ini. Sangatlah sulit untuk mengutarakan ini namun menurut pemikiran saya bahwa agama Kristen sangat lekat sekali dengan budaya serta tradisi orang minahasa. Apa pasal nya, mungkin karena cara penyembahan leluhur kita sama dengan pandangan beribadahnya orang Kristen yang selalu mmenyebut Tuhan Allah yang maha besar (Opo Wailan Kasuruan Wangko), itu saya belum tau pasti. lagi Perasaan yang sulit digambarkan juga adalah ketika saya sampai di patung yang berbentuk leluhur minahasa (Toar Lumimuut) dari gesturnya terlihat sepasang orang minahasa pertama itu seakan- akan sedang menunjuk seluruh tempat didaerah ini. Memang benar kalo kita coba menghadap kearah seperti yang di tunjukkan oleh patung itu maka kita akan melihat hampir seluruh daerah minahasa. Pantas saja kalo tempat itu bernama bukit Kekeretan (tempat meneriakkan sesuatu jika ingin menyampaikan berita kepada seluruh sub-etnis diminahasa dalam hal ini Tontemboan, tolour, tombulu, tonsea, tonsawang, pasan, ponosakan, bantik dan babontehu). secara harafiah juga dipercaya tempat ini seseorang tidak boleh sembarangan membuat keributan karena akan menimbulkan gejala alam seperti hujan dan lain- lain. Banyak masyarakat minahasa juga menyebut tempat ini dengan nama bukit Toar Lumimuut. Sebelum melanjutkan perjalanan melingkari bukit itu Tak sengaja saya menengok kearah kanan bawah dan melihat sebuah setapak kecil kearah hutan bukit seberang dan menghilang, kemudian saya bertanya kepada penduduk disekitar situ, katanya itu adalah jalan ke Watu Pinawetengan. Tapi kenapa tidak diperbaiki dalam hati saya berkata?? Apakah pembangun tempat ini tidak mau memperlihatkan tempat berkumpulnya orang- orang tua minahasa dulu yang merupakn tempat musyawarah, tempat yang notabene melahirkan pikiran- pikiran terbesar sepanjang masa? Apakah ada ketakutan tersendiri dari pembangun tempat ini supay tetap terjaga kesan religius dari objek wisata ini? Lalu kenapa ada patung- patun leluhur berdiri megah disini? kenapa tempat ini dipercaya sebagai tempat pengiriman pesan lisan jaman dahulu? Ataukah ada masalah- maslah daerah kepolisian sehingga menghambat pembangunan daerah wisata ini menjadi lebih besar?
Lamunan saya hancur ketika salah seorang teman saya menepuk pundak saya untuk melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sebagian teman- teman ekspedisi kami sudah meninggalkan kami jauh di atas. Dan kali ini setelah kurun waktu 5 tahun saya kembali kesini. persaan terkejut, decakan kagum, heran bercampur sakithati itu tetap sama diraut muka saya! Bukit kasih yang dulu tak seperti bukit kasih yang sekarang, sampah bertebaran dimana- mana, objek- objek situs- situs yang ada disitu sudah penuh dengan coret- coretan akibat perbuatan tangan jahil, bangunan- bangunan tempat ibadah yang sudah rusak ada dimana- mana, juga pendopo- pendopo tempat peristirahatan yang sudah tidak mempunyai pengaman lagi dan berbahaya bagi para pengunjung karena lokasi wisata ini terletak di lereng gunung ini. Seperti sudah tidak ada yang tidak memperdulikannya lagi. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah tampat ini milik seseorang ataukah milik orang Minahasa! Furious mind saya mulai berkecamuk dikepala ini, secara sosiolog apabila seseorang itu mempunyai sesuatu untuk dipelihara maka dia akan menjaganya sampai akhir hayatnya, tapi setelah dia meninggal, siapa yang akan menjaganya apabila anak cucunya tidak ingin menjaganya. Sebaliknya apabila suatu generasi itu mempunyai sesuatu untuk dijaga maka mereka akan menjaganya dan walaupun satu generasi itu hilang masih ada beberapa orang di antara generasi yang baru itu akan tetap menjaganya karena mungkin dari generasi yang lama sudah ada pengkaderisasi untuk sesuatu tersebut. Mungkin benar kata orang- orang bijaksana bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih mudah membuat daripada memelihara.
Kesan religius saya sontak berputar 180derajat ketika saya melihat kembali kedua patung leluhur itu masih berdiri tegak di atas sana dan masih dengan gaya yang sama namun ada perbedaan lain dari kedua wajah itu, dulu dengan bangganya menunjuk dan memperlihatkan seluruh daerah dan generasinya kepada setiap pengunjung yang datang ketempat itu, kini terlihat lusuh, lelah, rusak, kotor, kebanggan mereka berdua seakan- akan perlahan sirna, mulai tidak ada lagi semangat diwajah itu seperti yang dulu, tidak ada lagi jiwa persatuan yang melekat seperti orang minahasa di kedua tubuh itu,serasa ingin mengucapkan bahwa semangat orang minahasa mulai pudar, seperti mewakili tempat itu dan ingin meneriakkan sesuatu (kekeret) kepada kita semua bahwa mungkin ada hal- hal yang perlu di perbaiki, ada hal- hal yang harus kita jaga, ada hal- hal yang harus kita hindari, ada hal- hal yang harus kita korbankan, ada waktu kita bergerak, ada waktu kita melakukan sesuatu sebelum terlambat dan mungkin memang sudah waktunya. karena siapa lagi yang akan membangun sekaligus memelihara daerah minahasa kita kalau bukan kita orang minahasa sendiri. Mngkin saya akan menutup catatan saya ini dengan falsafah yang pernah dikatakan oleh seorang presiden amerika “jangan bertanya apa yang telah Negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan kepada negara".

I Jajat U Santi!!!

Esei Benni E. Matindas* : "Negara Gagal"

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.

Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”

Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.

Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.

Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.

Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.

Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.

Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.

Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.

Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.

Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.



*) Benni E.Matindas,
Filsuf Minahasa, penulis buku “Negara Sebenarnya”.

Cerpen Cyanthi Manoppo: "Cincin Kaweng..."

Alkisah hiduplah Lintje dan Antje di desa Tomohon[1]. Antje lahir di tahun 50-an. Tiga tahun sesudahnya Lintje dilahirkan. Pada waktu itu, para tetua desa dan para orang tua lagi kegandrungan menamai anaknya dengan akhiran..-tje (Baca : -Ce). Selain Antje ada adiknya Martje dan Vence. Lintje memiliki 3 orang kakak yakni Katotje, Dortje dan Suntje. Tambahan pula teman sepermainan mereka si Sartje, Yantje dan Mintje. Maka, setiap hari Ibu Guru memanggil daftar hadir siswanya : Katoce, Dorce, Marce, Ance, Sarce, Yance, Lince, Mince, Vince, Sunce… Ya, berhubung usia mereka berdekatan dan keterbatasan prasarana, semua generasi –ce –ce di desa itu belajar bersama-sama. Rukun dan damai.
Lintje dan Antje selalu bersama-sama.
Rumah mereka berdekatan, orang tua mereka berkawan dan mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak SD yang jaraknya hanya 15 menit jalan kaki dari rumah hingga masuk SMP yang jaraknya 1 jam lebih 15 menit jalan kaki dari rumah. Maka bisa di duga mereka akhirnya menikah juga. Hidup rukun dan damai.
Tapi, Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.

Tsunami I
Saat itu olahraga adu semangat yang paling ramai adalah mengadu Ayam milik siapa yang paling jago di seantero kampung. Mereka yang ketagihan seperti saling menghormati norma baru yakni yang memiliki ayam paling jago kira-kira bisa disamakan dengan yang paling jago di kampung. Walah…padahal andil empunya para ayam jago paling banyak meneriaki para ayam dan memberi mereka makanan lebih dari takaran biasa. Tak tanggung-tanggung taruhannya dari Jagung sekarung sampai uang ratusan ribu rupiah.

Sebenarnya niat awal Antje menyabung ayam malam minggu itu bukanlah niat jahat. Antje bermaksud memberikan hadiah istimewa pas hari Valentin 14 Februari yang tinggal seminggu lagi, pada juwita puspita hatinya Lintje : membelikan coklat berbentuk buah hati bertuliskan I Love You yang hanya dijual di pertokoan kota Manado. Berhubung masih termasuk barang langka di kampung, biaya transportasi ditambah harga beli coklat setara dengan tiga kali hasil jualan di pasar.
Apa pasal ? Yach… seperti sikap dasar manusia, kalau ada cara mudah menggapai sesuatu mengapa tidak ? Tapi Antje salah perhitungan ketika dalam menyambung ayam niat awalnya berubah di tengah jalan. Hari itu jualan para pedagang sayuran laris manis, harga taruhan pun naik setinggi langit. Antje tak mau kalah dan kecoplosan menawar cincin kawin emasnya.
“Astaganaga…Antje, nyanda salah ngana se gadai itu cincin kaweng ?” teriak Ventje adik kandung Antje.
“Hush..kita pe ayam paling jago. Tenang jo kwa, nanti kita kase bagian MAR jangan bilang pa maitua neh !” seru Antje tak kalah semangat.

Roda kehidupan tidak ada yang tahu,
kata pujangga.
Kegagalan adalah awal kesuksesan,
kata filsuf.
Bahtera rumah tangga pasti ada riak kecil,
tutur Ventje selaku saksi, ikut nyambung
Demi Langit dan Bumi, nyanda sengaja cintaku
ratap Antje
Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara,
tangis Lintje

Menjual cincin kawin untuk menebus kekalahan menyambung ayam bukanlah hanya riak kecil bagi seorang istri seperti Lintje. Hilang sudah cokelat valentine idaman malahan Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Lintje.
Masalah Cincin Kaweng di keluarga Antje dan Lintje diredakan oleh si kecil Celia. Hhmm…sejauh ingatku, akulah yang mendamaikan Mama Lintje dan Papa Antje. Tepat seminggu perang dingin, tepat hari kasih sayang sedunia, aku yang masih cadel dan baru belajar menulis memberikan surat bagi mama dan papa.
Isi suratkku :
===============================================================
14 Februari,
Mama LinCE + Papa AnCE = ade CELiA
Celia sayang pa mama deng papa. Baku bae jo neh ??
===============================================================
Sampai sekarang, suratku dibingkai dan dipajang di ruang tamu. Padahal tulisannya cakar ayam alias tidak karuan. Haha..Dewasa ini aku baru tahu ternyata Om Ventje yang cerdik sangat berjasa mendamaikan mama papa. Isi suratnya diajarai Om Ventje selama seminggu penuh maka, selama 7 hari berturut-turut setiap selesai latihan menulis surat, Celia kecil mendapatkan permen Hopjes [2]
Masalah penggadaian cincin kawin demi valentines day akhirnya reda di hari valentines. Kembali pada kewajaran, Antje dan Lintje hidup rukun dan damai.
Sekali lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Lintje dan Antje hampir tidak pernah memiliki riak kecil dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Sebagai gantinya mereka langsung menghadapi Tsunami dan kali ini Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Antje.

Tsunami II
Aku berumur 17 tahun kala itu. Celia, si keke yang berkulit putih menjadi bintang kelas di sekolahan bertekad melanjutkan belajar di kuliahan di ibukota. Sebagai anak semata wayang, mama Lintje dan papa Antje sangat besemangat untuk menyaksikan Celia bisa meraih gelar insinyur. Hanya saja tekad dan semangat harus bertempur dengan uang. Pertempuran yang sengit, dimana anak usia sekolah dengan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan kalau tidak mau disebut orang miskin, pastilah tidak menyanggupi biaya spp, buku cetak, transport pergi-pulang kampung-kota-kampung. Belum lagi biaya tak terduga lain-lain.
Berdasarkan musyawarah tertutup - Bapak, Ibu dan Anak. Mama memutuskan : menjual cincin kawin untuk biaya kuliahku. Papa yang tahu memainkan perannya membuat mama harus sukarela menjual barang kesayangannya. Toh, cincin itu sudah tidak ada pasangannya, bujuk papa. Toh, tanpa cincin itu kita saling mencintai sampai tua, rayu papa.
Akhirnya waktunya tiba. Om Ventje datang hendak membeli cincin kawin mama.
Sudah satu jam. Tapi, cincin itu tidak bisa terlepas dari jarimanis mama.
“Aduh..Vence, kita nyanda batowo kasiang. Pe setengah mati skali, nyanda tacabu ini cincin kaweng “ seraya berusaha memutar, menarik, me…, me…, menarik cincin kawinnya
“Lince dapa lia kwa..riki so merah do ngana pe jare manis. Santai jo”
Waktu terus berdetak dan tak pernah mau berhenti
Detik ke-60 menjadi menit
Menit ke-60 menjadi jam
Dan jam ke-3, dentang itu mengundang Tsunami
“Mama, so basangaja sto kang ? Papa nda abis pikir, masa cuma mo sekaluar itu barang spanggal so tiga jam ? “
“Aduh.. Papa jang asal-asal malontok. Tanya kwa pa Vence, so goso sabong, minyak goreng, minyak kalapa, minyak tawon, nyanda talapas ini cincin”
“Papa jang baku sedu..Mo apa itu peda ? Aaaahhhh…mama nimau !! “
Hari Jumat, kantor perguruan tinggi hanya buka setengah hari. Karena itu papa jadi tidak sabaran dengan usaha mama melepas cincin kawin dari jari manisnya. Papa sudah mengatur agenda bahwa hari itu juga, pembayaran awal kuliahku harus terjadi dan papa termasuk orang yang tidak mau mengubah apa yang sudah direncanakan.

17 tahun dibesarkan mama dan papa, aku tentu saja mengenal mereka lebih dalam. Peda [3] itu hendak digunakan papa untuk memotong cincin emas yang sangat lengket di jari manis mama. Tentu saja wanita separuh baya seperti mama sangat ketakutan membayangkan bahwa jari manisnya bisa ikut putus dalam sekali tebas. Mama menangis keras dan mengulang kalimat yang sama dengan 13 tahun lalu saat Tsunami pertama melanda, “Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara”
Itulah pertama kalinya aku terpikir, mungkin tanpa Cincin Kawin sebuah keluarga justru tidak akan pernah terpikir tentang perceraian.
Masalah cincin kawin kali itu diselesaikan si ABG Celia dan Om Ventje. Om Ventje membawaku mengikuti tes masuk gratis untuk siswa berprestasi. Aku masuk sebagai 5 besar dan memberi mama waktu 6 bulan atau sama dengan 1 semester untuk menurunkan berat badan hingga jari manisnya menjadi lebih ramping dan tanpa ditebas dengan parang, cincin kawin itu bisa dikeluarkan dan dijual oleh Om Ventje.
Siklus hidup manusia memainkan jemarinya.
Selesai kuliah, ditanya kapan kerja
Sementara kerja, ditanya kapan menikah
Sebagai Psikolog, Aku tentu menyadari kehendak mama dan papa untuk segera menimang cucu. Sebagai tameng agar tidak dipaksa untuk segera menikah, aku mengatakan pada mama dan papa bahwa aku benarlah serius hanya akan menikah dengan pria yang mencintai dan menerimaku apa adanya. Termasuk menerima kehendak anehku, menikah tanpa pernik Cincin Kawin.
Semuanya baik-baik saja. Aku hidup rukun dan damai dengan keluarga, teman, kolega, pasien… dan kekasih di belahan benua yang lain.
Lagi-lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak

Tsunami III
Tepat Valentines Day, 14 Februari. Tiba saatnya Aku harus menanggulangi Tsunami ku sendiri.
Anaknya tante Martjee dan om Vintje tiba-tiba datang di tempat praktek, bukan kenalan biasa.
Marvin, pacarku semenjak SMU muncul sambil membawa gelar Master ekonomi dan pilihan kado di kedua tangannya. Dia memang selalu lebih pintar dari aku, to the point, tanpa basa basi dan sama-sama aneh kata sebagian orang.
“Celia…pilih yang mana ? coklat valentine untuk pernikahan ATAU cincin untuk persahabatan”
Haha…Celia yang anti dengan aksesoris bernama cincin tidak mungkin memilih barang itu kan ? Kurasakan tsunami ini bukan gemuruh yang meluap marah, tapi debar jantung kegugupan dan luapan kebahagiaan, karena terjawab sudah salah satu permohonan doa: Semoga, akulah empunya tulang rusuknya yang konon hilang satu.
Begitu tanganku menyentuh coklat valentine, Marvin mendekapku erat sambil berbisik :
Honey…
In the long run we are all dead[4],
In the short run we will marry!!

Menyambut hari ke-empat belas, di bulan kedua, tahun 2005



________________________________________
[1] Kota Tomohon dicapai melalui transpotasi darat 45 menit dari kota Manado, ibukota Sulawesi Utara
[2] Permen yang paling terkenal di Tomohon pada tahun 1960-an
[3] Parang, semacam pisau besar
[4] kalimat salah satu ekonom dunia