Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Puisi-Puisi Fredy Sr. Wowor: :SUMONDER FUCKING BLUES, PANTE MANADO BLUES"


Tahuk soresore di kantin sastra

Dengar Rolling Stone,

“I got the blues”

Dari Ebit pe radio

Qta minung kopi tumbu

Om Manus ada beking

“bukang maen ini kopi !”

Qta bilang pa Coy

“Pantas kopi dari Manado

Jadi kopi paling mahal

Di pasar Eropa

Nyanda heran kote

Pamerenta blanda dulu

Paksa orang Minahasa

Batanang kopi

Ada 80 sampe 120 hari pertaong

Torang pe oma deng opa dulu

Musti kase waktu

Urus kopi di kobong

Depe laste

Kopi yang dorang tanang susasusa itu

Dorang musti jual pa pamerenta blanda deng harga murah

Kopi yang dorang tanang susasusa itu

Dorang nimbole minung sandiri

Dorang tu nimau jual tu kopi

Dapa hongi deng anjing

Dapa pukul deng cambok

Tahuk soresore di kantin sastra

Gudang garam surya di bibir

Tinggal saujung kuku

Abu roko yang tatarbang

Angin paka kagekage

Kase inga abu pohong cingke

Orang Sonder ada potong

Di kobong Lengkoan, tetebesi,tundak,mapaso,

Lopa in tana, kokoken, pulutan, talun, mawale,

Lalek deng lopa in kopi

Orang Sonder ada potong

For beking kayu api

Pohongpohong cingke

Dorang beking kayu api

Lantaran pamerenta Repoblik Indonesia

Mulai dari Soeharto sampe SBY

Beking cingke nyanda ada harga sama skali

“Cuma jaman Gusdur katu”, dorang bilang

“Harga cingke bole tanae

Riki bole tiki saratus ribu lebe perkilo”

Co ngoni bayangkan

Orang gunung turung Manado

Bawa satu datsun cingke kring

Babale kamari so deng doi satu karong

Kong tu datsun fol deng barang blanjaan

Dari kulkas sampe handpon

Tahuk soresore di kantin sastra

Kopi tinggal tasisa ampas

Roko di jare tinggal tasisa puntung

Dari Ebit pe radio

Mick Jagger manyanyi

Bob Dylan pe puisi

“how does it feel

How does it feel

To be on your own

With no direction home

Like a complete unknown

Like a rolling stone?”

Qta buang tu puntung

Dari sela jarejare

Kong ambe tas abis bayar kopi

“Pulang Fred”, Ie’ tanya

“Qta mo ka puncak Temboan Rurukan

Qta, Weol, Sondey, Oroh deng Kalalo

Qta mo lia sanrais sambil babaca puisi !”






PANTE MANADO BLUES

Qta so nda dapa lia pante

Pas dudu di sini

Di bangku panjang kantin Manus

Qta so nda dapa lia pante

Pas dudu di sini

Gedunggedung batingkattingkat

Tareterete jadi pampele

Qta so nda dapa lia pante

Pas dudu di sini

Qta cuma lia

Manado baroba jadi pusat parblanjaan

So itu kote pamerenta tambung tu bibir pante


Naskah Teater Greenhill G. Weol: "Pahit"

Sebuah kisah cinta tanpa kata-kata...

Karakter-Karakter:

- Dalam Satu:

1. Pria

- Dalam Dua:

1. Pria

2. Wanita

3. Penari Pria Pertama

4. Penari Pria Kedua

5. Penari Wanita Pertama

6. Penari Wanita Kedua

- Dalam Tiga:

1. Pria

2. Wanita

3. Sosok-Sosok Hitam

- Dalam Empat:

1. Sosok Pantomime

2. Sosok-Sosok Statis

- Dalam Lima:

1. Pria

2. Wanita

3. Sosok-Sosok Hitam

- Dalam Enam:

1. Pria

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

- Dalam Tujuh:

1. Wanita

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

- Dalam Delapan:

1. Pria

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

4. Sosok-Sosok Hitam

Satu

Panggung gelap lengang. Sebuah soft spotlight menyorot dari belakang ke depan panggung dengan cahaya redup, hanya cukup untuk memunculkan siluet-siluet dan sedikit lantai sekitar. Di sana ada sepasang meja kursi kayu dengan setumpuk kertas yang tak beraturan. Ada sebuah pena di atasnya. Di samping kertas itu ada secangkir kopi yang telah dingin. Sebuah lampu meja menerangi meja itu sekaligus mencipta bayang-bayang di sekeliling. Ada beberapa gumpalan kertas bertaburan di sekeliling. Seseorang sedang duduk bersandar. Bayangan lampu tadi menyamarkan wajahnya dalam kegelapan. Dalam keremangan tergambar pakaiannya: kemeja tua dengan kancing terbuka, lengan panjang dilipat sesiku. Tangan kanannya diletakkan di meja sambil menjepit sebatang rokok yang abunya telah lama tak dijentikkan. Asap menggantung tipis. Kemudian ia beringsut maju perlahan. Wajahnya yang tadi tersamar bayangan mulai nampak perlahan. Sayang, sebelah tangannya dipergunakan untuk menyangga wajah sehingga menutup mata dan sebagian wajahnya. Tangannya bergerak lambat mengusap muka hingga jatuh perlahan di dagunya. Ia menengadah dengan mengejam mata sambil menarik napas. Perlahan ia mengembus napas dan kembali menunduk. Pandangannya mengarah pada tumpukan kertas. Tangan kirinya bergeser dari dagu dan menopang kening. Ia menjentikkan abu rokoknya ke lantai samping. Sekarang, wajahnya disinari lampu meja. Wajahnya sedih, lusuh dan berminyak. Rambutnya hampir tak tersisir. Pandangannya nanar. Keningnya berkerut samar. Perlahan, tangan kanan yang menjepit rokok disorongkan kedepan menggapai asbak. Rokok dimatikan dengan sebuah gerakan saja. Tiba-tiba ia meraih cangkir kopi itu dengan dua tangan dan menghirupnya dengan penuh rindu, seolah sedang bercengkrama dengan kekasih yang lama tak berjumpa. Kedua tangannya kemudian bergerak perlahan meraih pensil dan mulai menggores perlahan kertas yang memapar dihadapannya. Setelah itu, pensil itu diletakkan dengan perlahan. Dipegangnya kertas itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya kembali menyangga kepalanya sehingga menutupi mata kirinya. Mata kanannya menatapi kertas seolah membaca. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya seraya wajahnya menunduk. Sejenak kemudian, perlahan ia kembali mengangkat wajah menatap nanar kedepan. Pandangannya tanpa fokus. Keningnya berkerut. Ia mulai memuisi dengan suara berat, penuh kekecewaan:

Jika ada yang bertanya

Tentang makna cinta

Saat ini aku tak lagi punya jawabnya

Karena bagaimana mungkin mengukur

sesuatu yang tak lagi terasa

bagaimana mungkin menaksir

bentuk yang kini tak kasat mata

bagaimana lagi menilai harga benda

yang sudah tanpa makna

tidak...

aku memang bukan Sang Suci

Cuma lahir dan nanti mati

Sering rindu udara pagi

Menangis dalam hati

Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi

Bahkan memendam rindu

Buat kekasih yang tlah lama lari

Tahun-tahunku sarat bayangan

Kau tak tau pahit yang kurasakan

Melarung anak sulung korban perbedaan

Lalu apa arti kehidupan?

Hilang sudah dari ingatan

Tetapi mari duduk di sisiku

Atau jika kau malu

Biar aku yang menghampirimu

Kita bisa membunuhi waktu

Dan mungkin dapat kuajarkan

Bagaimana menelan masalalu

Atau membuat cake coklat-

Kalau kau mau

Akupun bukan pemuja kata

Sebab tak punya nyawa ia

Tanpa tarian bermakna

Sebentuk pena

Pun aku tak percaya cinta

Yang lahir tiba-tiba

Tanpa kenal apa dan siapa

Mulut-mulut yang mengeja

Jadi jikapun cinta tlah mengata

Dalam kalimat menyala-nyala

Ketika malam-malam buta

Itu hampa

Tanpa kita sadar menerima

Tawa dan tangis bersama

Alur hidup gila maya

Yang pernah datang menyapa

Lalu kau… Aku…

Akan menangis dan tertawa bersama

Dan belajar tentang cinta…

Setelah itu ia kembali menunduk. Kertas yang dipeganginya ia remas perlahan-lahan dengan kedua belah tangan di depan wajahnya. Kemudian ia beringsut mundur kembali kedalam gelap. Hanya kedua tangannya yang masih tampak. Remasan tangannya dibuka perlahan. Gumpalan kertas itu ada di telapak tangan kirinya. Ia mengangkat sedikit tangan itu. Jari-jarinya gemetaran. Gumpalan kertas itu kemudian dibiarkan jatuh menggelinding ke lantai... Lampu berangsur redup.

*

Dua

Bagian depan panggung berangsur terang. Ada dua orang disana. Seorang wanita sedang duduk di atas sebuah kadera menghadap ke samping. Wajahnya tertunduk. Rambutnya tergerai menutupi sebagian mukanya. Tangannya terlipat dengan anggun di atas pahanya. Ia mengenakkan gaun selutut berwarna merah. Di bagian lain depan panggung, tak jauh dari wanita itu, seorang pria sedang berdiri tenang. Pandangannya lurus ke depan, namun agak ke atas, tangannya menyisip kantong celananya. Wajahnya bersih, matanya cemerlang. Ia mengenakkan kemeja putih dan celana hitam. Sejenak ia mengalihkan pandangan kearah belakang, kearah wanita itu. Pandangannya kemudian kembali ke depan, tetapi kali ini kearah bawah. Dia menarik napas dan tersenyum. Dia kemudian membalik badan dan mulai melangkah perlahan-lahan menuju kepada wanita itu kemudian berhenti tepat di depannya. Ia berlutut dan seolah mencopa menangkap pandang mata wanita itu tapi ia menunduk terlalu dalam. Pria itu menyentuh dagu wanita itu dengan tangan dan mengangkatnya sedikit, cukup untuk saling pandang mata. Pria itu beringsut berdiri dengan lambat, sedang tangannya tetap menyentuh dagu. Wanita itu pun perlahan menengadah. Pandangan mereka tak lepas selama beberapa saat. Selanjutnya wanita itu mengangkat tangan kanan yang disambut oleh pria itu. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya. Sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan, mata mereka berpautan dan sejenak mereka diam dengan tangan yang saling berpegangan setinggi perut. Lelaki itu menarik tangan wanita itu dan di ciumnya lembut. Wanita itu tersenyum dan mendekatkan tubuhnya kepada pria itu kemudian ia meletakkan kepalanya di dada pria itu. Wajahnya menghadap ke depan. Matanya terbuka dan bersinar damai. Mereka mulai bergerak perlahan, sebuah dansa yang lembut. Di bagian belakang, dari kedua sisi panggung masuk dua orang pria yang kemudian mengundang pasangannya untuk masuk. Kedua pasangan ini kemudian bergerak berdansa bersama-sama dengan pria dan wanita tadi. Sejenak kemudian lampu memudar.

*

Tiga

Ditengah pangung seorang pria berdiri diam disorot tajam lampu. Pandangannya lurus kedepan. Bibirnya terkatup rapat, dahinya agak berkerut. Wajahnya gelisah dan kecewa. Tangan kanannya berjuntai lemas, memegang sebuah top, sedang tangan kirinya menggantung pada bahu kanannya. Ia mengenakkan jaket hitam panjang yang basah menetes-netes. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya pun basah dan menetesi wajahnya. Dari kedua sisi panggung, sosok-sosok dengan payung yang membuka dan berbaju hitam lalu lalang dengan lambat dari kanan kekiri dan sebaliknya. Beberapa kali mereka lewat sangat dekat dihadapnnya, namun seolah tak ada orang yang berdiri, mereka tak memandangi pria itu. Beberapa kali pula ia mencoba menatap wajah sosok-sosok tadi, namun mereka lewat dengan menundukan kepala. Beberapa kali ia membuka mulut seolah hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorakannya. Beberapa saat kemudian ia seperti putus asa dan menundukkan kepala. Dia mengenakkan topinya. Pria itu mulai melangkah perlahan menuju ke samping kiri panggung dan keluar. Sosok-sosok berpayung tetap berselewiran. Selang beberapa saat, seorang wanita masuk dari sisi yang berbeda. Pakaiannya gaun hitam yang basah pula. Rambutnya kusut basah. Ia menengok ke kanan dan kiri. Tangannya di depan dada. Ia mencari-cari seseorang. Ia mulai bergerak mendekati sosok-sosok tadi secara acak seakan hendak bertanya sesuatu, namun mereka tetap berjalan. Ia bergerak adari satu sosok ke sosok lain dengan gelisah, dengan putus asa. Akhirnya ia berhenti di bawah sorotan lampu tengah panggung dan jatuh tersimpuh dengan wajah menunduk. Lampu memudar perlahan.

*

Empat

Panggung berangsur terang. Pada bagian belakang panggung empat sosok berpasang-pasangan dengan baju hitam. Mereka seolah berada dalam dunia sendiri-sendiri. Mereka tak bergerak dan tanpa suara, hanya mimik dan gestur, yang menggambarkan pertengkaran dan amarah. Kemudian masuk sesosok dengan rias dan cat hitam dan putih yang membelah tubuhnya secara vertikal ke panggung bagian depan. Dia memerankan sebuah pertengkaran antara dua orang dengan berganti-ganti karakter. Pada saat dia berada dalam satu karakter dia akan menghadap pada sisi yang satu, dan ketika berpindah karakter ia akan menghadap pada sisi yang lainnya. Pertengkaran ini semakin lama semakin memuncak dan memuncak menjadi lebih beremosi dan cepat berganti-ganti karakter. Akhirnya, ia histeris, menjambak rambut dan berlarian kesana-kemari lalu membanting-banting tubuh dan terkapar dengan terengah-engah. Lampu memudar.

*

Lima

Lampu menyala. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berpakaian hitam mereka bergerak lambat sambil melihat-lihat sekeliling dengan pandangan kekiri-kanan seolah sedang melihat-lihat sesuatu. Mereka bergerak kekiri-kekanan, zig-zag tak beraturan. Yang masuk dari sisi kiri akan kemudian keluar dari sisi kanan, begitu sebaliknya, begitu terus-menerus. Setelah beberapa saat, dari kiri masuk seorang pria berbaju putih lusuh. Kemejanya setengah terbuka, setengah dimasukkan kedalan celana, setengah keluar. Tampangnya lusuh pula dan menundukkan kepala. Tangannya menggantung lemah. Ia berjalan lambat-lambat disela-sela sosok-sosok tadi, tanpa memperhatikan arah berjalannya. ia seolah hanyut dalam aliran gerak sosok-sosok itu. Ia kemudian tertatih-tatih menuju sisi kanan dan keluar. Kemudian dari sisi kanan seorang wanita berganti masuk. Ia tampak lusuh pula. Rambutnya terburai tak teratur menutupi wajahnya. Gaun yang di kenakannya pun kusut dan kotor. Jalannya lambat dan tak bertenaga, juga hanyut di tengah gerak sosok-sosok itu. Akhirnya ia keluar ke sisi kiri panggung. Selang beberapa saat, mereka masuk bersamaan dari sisi-sisi yang berbeda. Mereka bergerak perlahan dengan emosi dan gestur yang sama dengan pada saat masuk pertama. Tepat ditengah panggung mereka berpapasan, tetapi tak saling memperhatikan dan terus bergerak menuju sisi sebelah dan kembali keluar. Kemudian mereka kembali masuk dengan gaya yang sama, kali ini di tengah panggung mereka bertemu dan berhenti bersamaan. Ada jarak sekitar semeter diantara mereka. Kepala mereka masih tertunduk. Seolah sedang memandang dari ujung kaki menuju ujung kepala orang dihadapannya, perlahan-lahan kepala mereka diangkat. Mereka berhadap-hadapan, berpandang-pandangan. Sorok mata keduanya dingin, tanpa emosi. Ekspresi wajahnya pun dingin. Kemudian kening mereka mulai berkerut. Air muka mereka mulai menampakkan entah kekecewaan entah amarah. Mereka saling tatap mata beberapa saat. Akhirnya mereka kembali menunduk perlahan, dan mulai bergerak tertatih menuju sisi panggung yang berlawanan dan keluar.

*

Enam

Lampu perlahan menyala. Ditengah panggung seorang pria duduk sendirian di sebuah kursi kayu yang dibalikkan, depan menghadap belakang. Wajahnya lusuh, lelah dan kecewa, kancing-kancing bajunya terbuka. Sesekali ia menengadah dan mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya. Matanya kadang melotot, kadang tertutup rapat. Sering kali desahan napasnya naik turun. Dibagian belakang panggung masuk sepasang pria-wanita yang sedang kemudian becengkrama, tangan mereka saling menggenggam. Mereka tersenyum satu sama lain dan saling pandang dengan cinta. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Pria di kursi tadi menunduk dalam. Tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, ia mengangkat muka ke depan. Pandangannya tajam, keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Kemudian tangan kirinya bergerak perlahan, namun kaku, menuju ke pinggang belakangnya. Dari sana tangannya mengeluarkan sebuah benda, sepucuk pistol. Ia menatap pistol itu lekat-lekat, wajahnya tegang, matanya membelalak, alisnya berkerut, bibirnya gemetar, tangannya gemetar. Pistol itu ditaruhnya di atas kedua telapak tangannya. Beberapa saat, ia tampak ragu, matanya mengerling ke kanan-kiri. Kemudian, dengan gerakan seketika tangan kanannya menggenggam pistol itu dan langsung menempelkannya di dahi kanannya. Pandangannya lurus kedepan, matanya membelalak tajam, bibirnya mengatup rapat, seluruh tubuhnya bagai kejang, napasnya memburu. Tiba-tiba, ia berteriak histeris dengan suaranya yang terkuat. Lampu mendadak padam.

*

Tujuh

Lampu menyala. Di tengah panggung seorang wanita bergaun hitam berdiri dengan wajah tertunduk dalam, rambutnya terurai menutupi wajahnya. Tangannya menutupi wajahnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tangannya dibiarkan jatuh menggelantung. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca, pipinya basah oleh air mata. Di sampingnya ada sebuah meja dengan vas bunga berisikan bunga layu. Wanita itu mulai bergerak kedepan, mendekati sisi depan panggung, dengan pandang kedepan seraya terisak perlahan. Makin lama isaknya lebih keras dan semakin menjadi-jadi. Tubuhnya lemah, pijakan kakinya goyah. Tangisnya meledak, tubuhnya berguncang, nafasnya tak beraturan. Ia jatuh berlutut, mukanya tertelungkup mencium lantai. Sekali lagi di bagian belakang panggung masuk seorang pria dan seorang wanita. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Wanita yang sedang menangis tadi tiba-tiba mengangkat kepala dengan sebuah tarikan napas yang menggema di tenggorokannya. Pandangannya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Ia mulai berjalan perlahan ke arah meja. Gerak tubuhnya kaku. Di belakang meja ia berhenti dan kembali memandang ke depan dengan pandangan kosong. Tangan kanannya meraih sesuatu dari atas meja, sebuah belati yang berkilat-kilat. Diangkatnya belati itu dan dipandanginya beberapa saat. Wajahnya tak berubah, malah semakin dingin. Ia kembali mengarahkan mata kedepan. Sejenak ia tersenyum, senyum indah, senyum penuh damai. Sorot matanya melembut. Tiba-tiba ia memegang belati itu dengan kedua belah tangannya dan mengarahkannya ke dadanya. Matanya menutup. Ia berteriak nyaring. Lampu mendadak padam.

*

Delapan

Lampu panggung berangsur menyala. Ditengah panggung tertancap dua buah salib kecil dari kayu berwarna putih, tanda kuburan. Keduanya menghadap ke depan dan diletakkan sejajar bersandingan, berdekatan. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berbaju hitam satu persatu bergerak mendekati kuburan. Mereka mengelilingi kedua kubur dengan menundukkan kepala. Tangan mereka terlipat di depan. Mereka berdiri mematung tanpa suara. Kemudian, dari depan, dari arah belakang penonton, masuk sepasang pria-wanita berjalan bersama bersisian. Tangan mereka bergandengan, mereka saling berpandangan dengan tatapan yang mesra. Pakaian mereka indah dan putih. Mereka terus berjalan bergandeng tangan menuju panggung. Mereka kemudian naik bersama-sama ke atas panggung. Di panggung bagian depan mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan mesra, saling menggenggam tangan. Mereka kemudian saling mendekap erat, seolah tak pernah bersua lama. Mereka kembali berpandangan. Pria itu menatap wanita di depannya dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, seolah minta persetujuan, dan dibalas oleh anggukan serupa dari wanita itu. Dari kantongnya pria itu mengeluarkan sebuah gumpalan kertas. Ia kemudian menguraikan kertas itu sehingga menjadi selembar kertas dan mulai metapnya. Pria itu kemudian memberikan kertas itu kepada wanita di depannya dan wanita itu menatap kertas itu juga. Keduanya kemudian tersenyum. Kertas itu kemudian digumpalkan kembali oleh pria itu ia meletakkan itu dengan perlahan di lantai. Keduanya kembali berpegangan tangan. Mereka berdua kemudian melangkah menuju sisi kanan untuk keluar panggung. Sosok-sosok hitam yang sedari tadi mematung mulai bergerak pula. Mereka mulai bergerak menuju sisi sisi panggung yang berbeda untuk kemudian keluar. Panggung sepi. Sesaat kemudian, dari sisi kiri panggung, masuk seorang pria dengan langkah lambat. Ia berjalan menuju ke kedua kubur itu. Di samping kuburan ia berhenti dan berdiri. Ia menatap kuburan itu dalam-dalam. Ia menarik nafas panjang dan tertunduk. Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya menuju ke gumpalan kertas tadi. Perlahan ia mulai berjalan menuju kertas itu dan memungutnya. Sejenak ia mengamat-amati gumpalan itu sebelum menguraikannya. Setelah kertasi itu telah membuka, ia menatapnya sejenak dan kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah depan, pandangan itu tajam dan seolah hendak memandangi setiap mata di hadapannya. Wajahnya tegang, bibirnya mengatup, matanya memicing. Sejenak lagi ia menatap kertas di tangannya. Kemudian ia kembali menatap tajam ke depan. Bibirnya bergetar dan berpuisi:

Jangan cucurkan airmatamu kelak

Kala ragaku tak lagi hangat dengan candatawa

Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hati

Kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepi

Jangan cucurkan airmatamu kelak

Kala citaku tlah lalu dihembus angin waktu

Kala buah penaku tinggal nyala kusam di ingatan

Kala kisah hidupku hanya dengung di malam buta

Kala cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu

Karena tak bisa lagi kudongengkan

Kisah cinta dan kehidupan ke telingamu

Tak mampu lagi kutatap kagum

Sempurna karya indah dirimu

Tak mungkin lagi kurengkuh takjub

Lembut tubuh harummu

Tak sanggup lagi kunyatakan

Deru cinta didasar hati untukmu

Tangisi aku sekarang!

Saat hatiku haru biru karena cinta lekang dariku

Saat mentari harap pupus hampa dari anganku

Saat jari-jari sunyi mencekik kaku nafas jiwaku

Saat hitam kelam pandang mata khayalku

Menangislah bersamaku!

Balut lebam luka jiwaku dengan tangismu

Banjiri kosong lompong hati keringku dengan airmatamu

Puaskan dahaga rasa tubuhku dengan isakmu

Suburkan gersang taman cintaku dengan ratapmu

Karena airmata suci

Adalah bukti bijak dan tulus hati

Bukan sesal dan gundah dihari nanti

Jika jatuh menggerimis kala raga masih bersekutu nafas

Bukan saat nyawa tlah diregang pergi

Setelah membaca pandangannya melunak, wajahnya berubah sedih, pandangannya menerawang kedepan. Ia kemudian menundukkan kepala. Kertas tadi kembali diremasnya. Perlahan ia memasukkan gumpalan kertas itu ke kantong celananya dan mulai melangkah lambat ke sisi kiri panggung dan keluar. Lampu memudar.

SELESAI

Naskah Teater Greenhill G. Weol: "Pahit"

PAHIT

Sebuah performance cinta

Karakter-Karakter:

- Dalam Satu:

1. Pria

- Dalam Dua:

1. Pria

2. Wanita

3. Penari Pria Pertama

4. Penari Pria Kedua

5. Penari Wanita Pertama

6. Penari Wanita Kedua

- Dalam Tiga:

1. Pria

2. Wanita

3. Sosok-Sosok Hitam

- Dalam Empat:

1. Sosok Pantomime

2. Sosok-Sosok Statis

- Dalam Lima:

1. Pria

2. Wanita

3. Sosok-Sosok Hitam

- Dalam Enam:

1. Pria

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

- Dalam Tujuh:

1. Wanita

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

- Dalam Delapan:

1. Pria

2. Kekasih Pria

3. Kekasih Wanita

4. Sosok-Sosok Hitam

Satu

Panggung gelap lengang. Sebuah soft spotlight menyorot dari belakang ke depan panggung dengan cahaya redup, hanya cukup untuk memunculkan siluet-siluet dan sedikit lantai sekitar. Di sana ada sepasang meja kursi kayu dengan setumpuk kertas yang tak beraturan. Ada sebuah pena di atasnya. Di samping kertas itu ada secangkir kopi yang telah dingin. Sebuah lampu meja menerangi meja itu sekaligus mencipta bayang-bayang di sekeliling. Ada beberapa gumpalan kertas bertaburan di sekeliling. Seseorang sedang duduk bersandar. Bayangan lampu tadi menyamarkan wajahnya dalam kegelapan. Dalam keremangan tergambar pakaiannya: kemeja tua dengan kancing terbuka, lengan panjang dilipat sesiku. Tangan kanannya diletakkan di meja sambil menjepit sebatang rokok yang abunya telah lama tak dijentikkan. Asap menggantung tipis. Kemudian ia beringsut maju perlahan. Wajahnya yang tadi tersamar bayangan mulai nampak perlahan. Sayang, sebelah tangannya dipergunakan untuk menyangga wajah sehingga menutup mata dan sebagian wajahnya. Tangannya bergerak lambat mengusap muka hingga jatuh perlahan di dagunya. Ia menengadah dengan mengejam mata sambil menarik napas. Perlahan ia mengembus napas dan kembali menunduk. Pandangannya mengarah pada tumpukan kertas. Tangan kirinya bergeser dari dagu dan menopang kening. Ia menjentikkan abu rokoknya ke lantai samping. Sekarang, wajahnya disinari lampu meja. Wajahnya sedih, lusuh dan berminyak. Rambutnya hampir tak tersisir. Pandangannya nanar. Keningnya berkerut samar. Perlahan, tangan kanan yang menjepit rokok disorongkan kedepan menggapai asbak. Rokok dimatikan dengan sebuah gerakan saja. Tiba-tiba ia meraih cangkir kopi itu dengan dua tangan dan menghirupnya dengan penuh rindu, seolah sedang bercengkrama dengan kekasih yang lama tak berjumpa. Kedua tangannya kemudian bergerak perlahan meraih pensil dan mulai menggores perlahan kertas yang memapar dihadapannya. Setelah itu, pensil itu diletakkan dengan perlahan. Dipegangnya kertas itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya kembali menyangga kepalanya sehingga menutupi mata kirinya. Mata kanannya menatapi kertas seolah membaca. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya seraya wajahnya menunduk. Sejenak kemudian, perlahan ia kembali mengangkat wajah menatap nanar kedepan. Pandangannya tanpa fokus. Keningnya berkerut. Ia mulai memuisi dengan suara berat, penuh kekecewaan:

Jika ada yang bertanya

Tentang makna cinta

Saat ini aku tak lagi punya jawabnya

Karena bagaimana mungkin mengukur

sesuatu yang tak lagi terasa

bagaimana mungkin menaksir

bentuk yang kini tak kasat mata

bagaimana lagi menilai harga benda

yang sudah tanpa makna

tidak...

aku memang bukan Sang Suci

Cuma lahir dan nanti mati

Sering rindu udara pagi

Menangis dalam hati

Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi

Bahkan memendam rindu

Buat kekasih yang tlah lama lari

Tahun-tahunku sarat bayangan

Kau tak tau pahit yang kurasakan

Melarung anak sulung korban perbedaan

Lalu apa arti kehidupan?

Hilang sudah dari ingatan

Tetapi mari duduk di sisiku

Atau jika kau malu

Biar aku yang menghampirimu

Kita bisa membunuhi waktu

Dan mungkin dapat kuajarkan

Bagaimana menelan masalalu

Atau membuat cake coklat-

Kalau kau mau

Akupun bukan pemuja kata

Sebab tak punya nyawa ia

Tanpa tarian bermakna

Sebentuk pena

Pun aku tak percaya cinta

Yang lahir tiba-tiba

Tanpa kenal apa dan siapa

Mulut-mulut yang mengeja

Jadi jikapun cinta tlah mengata

Dalam kalimat menyala-nyala

Ketika malam-malam buta

Itu hampa

Tanpa kita sadar menerima

Tawa dan tangis bersama

Alur hidup gila maya

Yang pernah datang menyapa

Lalu kau… Aku…

Akan menangis dan tertawa bersama

Dan belajar tentang cinta…

Setelah itu ia kembali menunduk. Kertas yang dipeganginya ia remas perlahan-lahan dengan kedua belah tangan di depan wajahnya. Kemudian ia beringsut mundur kembali kedalam gelap. Hanya kedua tangannya yang masih tampak. Remasan tangannya dibuka perlahan. Gumpalan kertas itu ada di telapak tangan kirinya. Ia mengangkat sedikit tangan itu. Jari-jarinya gemetaran. Gumpalan kertas itu kemudian dibiarkan jatuh menggelinding ke lantai... Lampu berangsur redup.

*

Dua

Bagian depan panggung berangsur terang. Ada dua orang disana. Seorang wanita sedang duduk di atas sebuah kadera menghadap ke samping. Wajahnya tertunduk. Rambutnya tergerai menutupi sebagian mukanya. Tangannya terlipat dengan anggun di atas pahanya. Ia mengenakkan gaun selutut berwarna merah. Di bagian lain depan panggung, tak jauh dari wanita itu, seorang pria sedang berdiri tenang. Pandangannya lurus ke depan, namun agak ke atas, tangannya menyisip kantong celananya. Wajahnya bersih, matanya cemerlang. Ia mengenakkan kemeja putih dan celana hitam. Sejenak ia mengalihkan pandangan kearah belakang, kearah wanita itu. Pandangannya kemudian kembali ke depan, tetapi kali ini kearah bawah. Dia menarik napas dan tersenyum. Dia kemudian membalik badan dan mulai melangkah perlahan-lahan menuju kepada wanita itu kemudian berhenti tepat di depannya. Ia berlutut dan seolah mencopa menangkap pandang mata wanita itu tapi ia menunduk terlalu dalam. Pria itu menyentuh dagu wanita itu dengan tangan dan mengangkatnya sedikit, cukup untuk saling pandang mata. Pria itu beringsut berdiri dengan lambat, sedang tangannya tetap menyentuh dagu. Wanita itu pun perlahan menengadah. Pandangan mereka tak lepas selama beberapa saat. Selanjutnya wanita itu mengangkat tangan kanan yang disambut oleh pria itu. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya. Sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan, mata mereka berpautan dan sejenak mereka diam dengan tangan yang saling berpegangan setinggi perut. Lelaki itu menarik tangan wanita itu dan di ciumnya lembut. Wanita itu tersenyum dan mendekatkan tubuhnya kepada pria itu kemudian ia meletakkan kepalanya di dada pria itu. Wajahnya menghadap ke depan. Matanya terbuka dan bersinar damai. Mereka mulai bergerak perlahan, sebuah dansa yang lembut. Di bagian belakang, dari kedua sisi panggung masuk dua orang pria yang kemudian mengundang pasangannya untuk masuk. Kedua pasangan ini kemudian bergerak berdansa bersama-sama dengan pria dan wanita tadi. Sejenak kemudian lampu memudar.

*

Tiga

Ditengah pangung seorang pria berdiri diam disorot tajam lampu. Pandangannya lurus kedepan. Bibirnya terkatup rapat, dahinya agak berkerut. Wajahnya gelisah dan kecewa. Tangan kanannya berjuntai lemas, memegang sebuah top, sedang tangan kirinya menggantung pada bahu kanannya. Ia mengenakkan jaket hitam panjang yang basah menetes-netes. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya pun basah dan menetesi wajahnya. Dari kedua sisi panggung, sosok-sosok dengan payung yang membuka dan berbaju hitam lalu lalang dengan lambat dari kanan kekiri dan sebaliknya. Beberapa kali mereka lewat sangat dekat dihadapnnya, namun seolah tak ada orang yang berdiri, mereka tak memandangi pria itu. Beberapa kali pula ia mencoba menatap wajah sosok-sosok tadi, namun mereka lewat dengan menundukan kepala. Beberapa kali ia membuka mulut seolah hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorakannya. Beberapa saat kemudian ia seperti putus asa dan menundukkan kepala. Dia mengenakkan topinya. Pria itu mulai melangkah perlahan menuju ke samping kiri panggung dan keluar. Sosok-sosok berpayung tetap berselewiran. Selang beberapa saat, seorang wanita masuk dari sisi yang berbeda. Pakaiannya gaun hitam yang basah pula. Rambutnya kusut basah. Ia menengok ke kanan dan kiri. Tangannya di depan dada. Ia mencari-cari seseorang. Ia mulai bergerak mendekati sosok-sosok tadi secara acak seakan hendak bertanya sesuatu, namun mereka tetap berjalan. Ia bergerak adari satu sosok ke sosok lain dengan gelisah, dengan putus asa. Akhirnya ia berhenti di bawah sorotan lampu tengah panggung dan jatuh tersimpuh dengan wajah menunduk. Lampu memudar perlahan.

*

Empat

Panggung berangsur terang. Pada bagian belakang panggung empat sosok berpasang-pasangan dengan baju hitam. Mereka seolah berada dalam dunia sendiri-sendiri. Mereka tak bergerak dan tanpa suara, hanya mimik dan gestur, yang menggambarkan pertengkaran dan amarah. Kemudian masuk sesosok dengan rias dan cat hitam dan putih yang membelah tubuhnya secara vertikal ke panggung bagian depan. Dia memerankan sebuah pertengkaran antara dua orang dengan berganti-ganti karakter. Pada saat dia berada dalam satu karakter dia akan menghadap pada sisi yang satu, dan ketika berpindah karakter ia akan menghadap pada sisi yang lainnya. Pertengkaran ini semakin lama semakin memuncak dan memuncak menjadi lebih beremosi dan cepat berganti-ganti karakter. Akhirnya, ia histeris, menjambak rambut dan berlarian kesana-kemari lalu membanting-banting tubuh dan terkapar dengan terengah-engah. Lampu memudar.

*

Lima

Lampu menyala. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berpakaian hitam mereka bergerak lambat sambil melihat-lihat sekeliling dengan pandangan kekiri-kanan seolah sedang melihat-lihat sesuatu. Mereka bergerak kekiri-kekanan, zig-zag tak beraturan. Yang masuk dari sisi kiri akan kemudian keluar dari sisi kanan, begitu sebaliknya, begitu terus-menerus. Setelah beberapa saat, dari kiri masuk seorang pria berbaju putih lusuh. Kemejanya setengah terbuka, setengah dimasukkan kedalan celana, setengah keluar. Tampangnya lusuh pula dan menundukkan kepala. Tangannya menggantung lemah. Ia berjalan lambat-lambat disela-sela sosok-sosok tadi, tanpa memperhatikan arah berjalannya. ia seolah hanyut dalam aliran gerak sosok-sosok itu. Ia kemudian tertatih-tatih menuju sisi kanan dan keluar. Kemudian dari sisi kanan seorang wanita berganti masuk. Ia tampak lusuh pula. Rambutnya terburai tak teratur menutupi wajahnya. Gaun yang di kenakannya pun kusut dan kotor. Jalannya lambat dan tak bertenaga, juga hanyut di tengah gerak sosok-sosok itu. Akhirnya ia keluar ke sisi kiri panggung. Selang beberapa saat, mereka masuk bersamaan dari sisi-sisi yang berbeda. Mereka bergerak perlahan dengan emosi dan gestur yang sama dengan pada saat masuk pertama. Tepat ditengah panggung mereka berpapasan, tetapi tak saling memperhatikan dan terus bergerak menuju sisi sebelah dan kembali keluar. Kemudian mereka kembali masuk dengan gaya yang sama, kali ini di tengah panggung mereka bertemu dan berhenti bersamaan. Ada jarak sekitar semeter diantara mereka. Kepala mereka masih tertunduk. Seolah sedang memandang dari ujung kaki menuju ujung kepala orang dihadapannya, perlahan-lahan kepala mereka diangkat. Mereka berhadap-hadapan, berpandang-pandangan. Sorok mata keduanya dingin, tanpa emosi. Ekspresi wajahnya pun dingin. Kemudian kening mereka mulai berkerut. Air muka mereka mulai menampakkan entah kekecewaan entah amarah. Mereka saling tatap mata beberapa saat. Akhirnya mereka kembali menunduk perlahan, dan mulai bergerak tertatih menuju sisi panggung yang berlawanan dan keluar.

*

Enam

Lampu perlahan menyala. Ditengah panggung seorang pria duduk sendirian di sebuah kursi kayu yang dibalikkan, depan menghadap belakang. Wajahnya lusuh, lelah dan kecewa, kancing-kancing bajunya terbuka. Sesekali ia menengadah dan mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya. Matanya kadang melotot, kadang tertutup rapat. Sering kali desahan napasnya naik turun. Dibagian belakang panggung masuk sepasang pria-wanita yang sedang kemudian becengkrama, tangan mereka saling menggenggam. Mereka tersenyum satu sama lain dan saling pandang dengan cinta. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Pria di kursi tadi menunduk dalam. Tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, ia mengangkat muka ke depan. Pandangannya tajam, keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Kemudian tangan kirinya bergerak perlahan, namun kaku, menuju ke pinggang belakangnya. Dari sana tangannya mengeluarkan sebuah benda, sepucuk pistol. Ia menatap pistol itu lekat-lekat, wajahnya tegang, matanya membelalak, alisnya berkerut, bibirnya gemetar, tangannya gemetar. Pistol itu ditaruhnya di atas kedua telapak tangannya. Beberapa saat, ia tampak ragu, matanya mengerling ke kanan-kiri. Kemudian, dengan gerakan seketika tangan kanannya menggenggam pistol itu dan langsung menempelkannya di dahi kanannya. Pandangannya lurus kedepan, matanya membelalak tajam, bibirnya mengatup rapat, seluruh tubuhnya bagai kejang, napasnya memburu. Tiba-tiba, ia berteriak histeris dengan suaranya yang terkuat. Lampu mendadak padam.

*

Tujuh

Lampu menyala. Di tengah panggung seorang wanita bergaun hitam berdiri dengan wajah tertunduk dalam, rambutnya terurai menutupi wajahnya. Tangannya menutupi wajahnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tangannya dibiarkan jatuh menggelantung. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca, pipinya basah oleh air mata. Di sampingnya ada sebuah meja dengan vas bunga berisikan bunga layu. Wanita itu mulai bergerak kedepan, mendekati sisi depan panggung, dengan pandang kedepan seraya terisak perlahan. Makin lama isaknya lebih keras dan semakin menjadi-jadi. Tubuhnya lemah, pijakan kakinya goyah. Tangisnya meledak, tubuhnya berguncang, nafasnya tak beraturan. Ia jatuh berlutut, mukanya tertelungkup mencium lantai. Sekali lagi di bagian belakang panggung masuk seorang pria dan seorang wanita. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Wanita yang sedang menangis tadi tiba-tiba mengangkat kepala dengan sebuah tarikan napas yang menggema di tenggorokannya. Pandangannya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Ia mulai berjalan perlahan ke arah meja. Gerak tubuhnya kaku. Di belakang meja ia berhenti dan kembali memandang ke depan dengan pandangan kosong. Tangan kanannya meraih sesuatu dari atas meja, sebuah belati yang berkilat-kilat. Diangkatnya belati itu dan dipandanginya beberapa saat. Wajahnya tak berubah, malah semakin dingin. Ia kembali mengarahkan mata kedepan. Sejenak ia tersenyum, senyum indah, senyum penuh damai. Sorot matanya melembut. Tiba-tiba ia memegang belati itu dengan kedua belah tangannya dan mengarahkannya ke dadanya. Matanya menutup. Ia berteriak nyaring. Lampu mendadak padam.

*

Delapan

Lampu panggung berangsur menyala. Ditengah panggung tertancap dua buah salib kecil dari kayu berwarna putih, tanda kuburan. Keduanya menghadap ke depan dan diletakkan sejajar bersandingan, berdekatan. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berbaju hitam satu persatu bergerak mendekati kuburan. Mereka mengelilingi kedua kubur dengan menundukkan kepala. Tangan mereka terlipat di depan. Mereka berdiri mematung tanpa suara. Kemudian, dari depan, dari arah belakang penonton, masuk sepasang pria-wanita berjalan bersama bersisian. Tangan mereka bergandengan, mereka saling berpandangan dengan tatapan yang mesra. Pakaian mereka indah dan putih. Mereka terus berjalan bergandeng tangan menuju panggung. Mereka kemudian naik bersama-sama ke atas panggung. Di panggung bagian depan mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan mesra, saling menggenggam tangan. Mereka kemudian saling mendekap erat, seolah tak pernah bersua lama. Mereka kembali berpandangan. Pria itu menatap wanita di depannya dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, seolah minta persetujuan, dan dibalas oleh anggukan serupa dari wanita itu. Dari kantongnya pria itu mengeluarkan sebuah gumpalan kertas. Ia kemudian menguraikan kertas itu sehingga menjadi selembar kertas dan mulai metapnya. Pria itu kemudian memberikan kertas itu kepada wanita di depannya dan wanita itu menatap kertas itu juga. Keduanya kemudian tersenyum. Kertas itu kemudian digumpalkan kembali oleh pria itu ia meletakkan itu dengan perlahan di lantai. Keduanya kembali berpegangan tangan. Mereka berdua kemudian melangkah menuju sisi kanan untuk keluar panggung. Sosok-sosok hitam yang sedari tadi mematung mulai bergerak pula. Mereka mulai bergerak menuju sisi sisi panggung yang berbeda untuk kemudian keluar. Panggung sepi. Sesaat kemudian, dari sisi kiri panggung, masuk seorang pria dengan langkah lambat. Ia berjalan menuju ke kedua kubur itu. Di samping kuburan ia berhenti dan berdiri. Ia menatap kuburan itu dalam-dalam. Ia menarik nafas panjang dan tertunduk. Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya menuju ke gumpalan kertas tadi. Perlahan ia mulai berjalan menuju kertas itu dan memungutnya. Sejenak ia mengamat-amati gumpalan itu sebelum menguraikannya. Setelah kertasi itu telah membuka, ia menatapnya sejenak dan kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah depan, pandangan itu tajam dan seolah hendak memandangi setiap mata di hadapannya. Wajahnya tegang, bibirnya mengatup, matanya memicing. Sejenak lagi ia menatap kertas di tangannya. Kemudian ia kembali menatap tajam ke depan. Bibirnya bergetar dan berpuisi:

Jangan cucurkan airmatamu kelak

Kala ragaku tak lagi hangat dengan candatawa

Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hati

Kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepi

Jangan cucurkan airmatamu kelak

Kala citaku tlah lalu dihembus angin waktu

Kala buah penaku tinggal nyala kusam di ingatan

Kala kisah hidupku hanya dengung di malam buta

Kala cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu

Karena tak bisa lagi kudongengkan

Kisah cinta dan kehidupan ke telingamu

Tak mampu lagi kutatap kagum

Sempurna karya indah dirimu

Tak mungkin lagi kurengkuh takjub

Lembut tubuh harummu

Tak sanggup lagi kunyatakan

Deru cinta didasar hati untukmu

Tangisi aku sekarang!

Saat hatiku haru biru karena cinta lekang dariku

Saat mentari harap pupus hampa dari anganku

Saat jari-jari sunyi mencekik kaku nafas jiwaku

Saat hitam kelam pandang mata khayalku

Menangislah bersamaku!

Balut lebam luka jiwaku dengan tangismu

Banjiri kosong lompong hati keringku dengan airmatamu

Puaskan dahaga rasa tubuhku dengan isakmu

Suburkan gersang taman cintaku dengan ratapmu

Karena airmata suci

Adalah bukti bijak dan tulus hati

Bukan sesal dan gundah dihari nanti

Jika jatuh menggerimis kala raga masih bersekutu nafas

Bukan saat nyawa tlah diregang pergi

Setelah membaca pandangannya melunak, wajahnya berubah sedih, pandangannya menerawang kedepan. Ia kemudian menundukkan kepala. Kertas tadi kembali diremasnya. Perlahan ia memasukkan gumpalan kertas itu ke kantong celananya dan mulai melangkah lambat ke sisi kiri panggung dan keluar. Lampu memudar.

SELESAI