Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Matulandi PL Supit: "PANDANGAN SAM RATULANGI TENTANG KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA"

(Red: Tulisan ini sudah berumur hampir satu dekade, namun masih terasa kontekstual hari ini, bahkan mungkin sampai puluhan tahun mendatang. Nyanda rugi mo baca boz!)


Memperhatikan penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan UUD 1945 selama 39 tahun terhitung sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Mei 1998 didapati beberapa kelemahan internal yang mendasar. Kelemahan - kelemahan tersebut akibat konstitusi yang "singkat dan fleksibel", memberi peluang kepada setiap penguasa untuk menafsirkan sesuai dengan keinginannya. Disisi lain UUd 1945 menghendaki penguasa adalah seorang yang jujur, saleh, dan bertanggung jawab.
Untuk memahami kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945, sebaiknya diperhatikan proses terjadinya negara Republik Indonesia. Hematnya dibagi dalam 3 periode yaitu, persiapan kemerdekaan, membentuk negara dan pembangunan (terdiri dari "penguatan" dan "pengembangan"). Periode persiapan kemerdekaan diawali pada tahun 1928 ketika di Deklarasikan Sumpah Pemuda. Inti deklarasi tersebut adalah "persatuan" atas wilayah, natie dan bahasa yang kemudian dikristalisir dalam "Pancasila". "Persatuan" dijadikan isu strategis politis karena kondisi rakyat yang sebagian besar menderita dan terkekang oleh penjajahan Belanda. Melalui isu "persatuan" dikembangkan dengan janji perbaikan kondisi memotivasi seluruh komponen rakyat untuk menuntut kemerdekaan hingga pada akhirnya diproklamirkan kemerdekaan Indonesiap pada 17 Agustus 1945 dalam suasana memanfaatkan momentum kekalahan Jepang pada "Sekutu" di Pasifik. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 dideklarasikan konstitusi sebagai salah satu syarat adanya negara setelah Rapat Besar Panitia Persiapan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (Konstituante I). Adapun konstitusi yang dikenal dengan UUD 1945 menurut catatan sejarah yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah merupakan karya Badan Penyelidik Urusan Kemerdekaan Indonesia, terdiri dari "jurist - jurist", mulai bekerja sejak 28 Mei s/d 16 Juli 1945. Memperhatikan perumusan konstitusi oleh Sam Ratulangi dan beberapa anggota lainnya menegaskan bahwa konstitusi itu tidak menggambarkan keinginan rakyat secara keseluruhan. Pertama, perumusannya didasari atas kondisi nasionalisme, internasionalisme, perang, kemerdekaan dan filsafat hukum. Kedua, dalam suasana yang terburu - buru. Penegasan kelemahan konstitusi (UUD 45) tersebut jelas dalam pasal 3 yang berbunyi, "MPR menetapkan UUD dan GBHN" dan Aturan Tambahan pasal 37 (2) yang berbunyi "Dalam 6 bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD". Periode kedua yaitu perumusan bentuk negara yang sesuai dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia berlangsung sejak 1950 s/d 1959. Hasil pemilihan umum tahun 1955 menghasilkan Dewan Konstituante guna merumuskan Konstitusi yang sesuai dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia. Perdebatan sengit mengenai bentuk negara (Kesatuan dan Federasi) terjadi antara fraksi - fraksi di dewan. Unitaris yang terdiri dari Nasionalis, Komunis dan sebagian Islamis mendukung bentuk Negara Kesatuan berhadapan dengan Federalis yang didukung oleh golongan minoritas dan sebagian Islamis. Sementara di lapangan terjadi pemberontakan melawan pemerintah seperti PRRI, Permesta, DI-TII dan lain - lain. Debat yang tidak selesai dimanfaatkan oleh Soekarno sebagai sesepuh Unitaris untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 didasari atas alasan bahwa untuk menyelamatkan rakyat yang menderita akibat krisis ekonomi dan politik. Hal ini tergambar dalam Manifes Politik 17 Agustus 1959 sebagai berikut :
"Biar kaum imperialis di luar negeri geger ! Mereka menuduh kita, bahwa UUD 1945 adalah bikinan Jepang, Mereka menuduh pula, bahwa kekuasaan Presiden dalam rangka UUD 1945 sekarang ini, dilandaskan kepada kediktatoran militer. Sekali lagi biar mereka geger ! UUD 1945 bukan bikinan Jepang, UUD 1945 bukan Japanese - made. UUD 1945 adalah asli cerminan kepribadian (identity) bangsa Indonesia, sejak zaman purbakala - mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada masyarakat dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral ditangan seorang sesepuh, - seorang tertua -, yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin, mengayomi. Demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala - mula adalah demokrasi terpimpin, dan ini adalah karakteristik bagi semua demokrasi - demokrasi asli di benua Asia." (Prof. Mr. Muh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid III 1960 : 716)
Perjuangan memposisikan Unitaris melalui UUD 1945 dituntaskan pada Rekayasa Politik (resminya Suksesi Kepemimpinan) 1965 yang melahirkan "Orde Baru". Pemerintahan yang baru dibawah Orde Baru bertekad meletakkan dasar negara dan pemerintahannya melalui penegasan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Periode Pembangunan melalui Orde Baru diawali dengan tahap penguatan komponen - komponen pembangunan yang puncaknya pada pembulatan tekad melalui Konsensus Nasional tahun 1985 tentang Azas tunggal Pancasila dan UUD 1945. Tahap berikutnya adalah pengembangan, komponen - komponen vital yang telah dikuasai dikembangkan secara sistematis guna mencapai tujuan akhir Unitarisme yakni homogenitas sosial di segala aspek.
Tahap kedua dari periode ketiga mendapat hambatan ketika krisis ekonomi melanda republik ini. Kekacauan ekonomi memicu eksistensi politik yang telah dibangun selama 39 tahun. Perkembangan terakhir justru mengarah pada krisis kenegaraan ketika Otonomi Daerah Yang Seluas - luasnya diangkat kepermukaan oleh daerah - daerah. Perdebatan di tahun 50an menjadi hangat kembali di era 1998 (era reformasi) walaupun dengan atau tanpa kaitan dengan angkatan 50an.
Latar belakang obsesi unitarisme menciptakan negara kesatuan adalah kesuksesan dua imperium yang pernah ada di masa lalu yaitu, Sriwijaya (imperium pertama) dan Majapahit (imperium kedua) dengan gamblang tergambar dalam pidato - pidato provokatif Soekarno, "..... berpuluh - puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk memerdekakan tanah air kita. Bahkan telah beratus - ratus tahun !". (Manifes Politik 17 Agustus 1959) dan argumentasi ilmiah Mr. Muhammad Yamin (Lihat Persiapan Naskah UUD 1945 oleh Prof. Mr. Muh Yamin, 1960).
Kedua imperium pernah menguasai hampir semua pulau yang tersebar disekitarnya (sekarang ini disebut wilayah RI). Bentuk monarkhi absolut merupakan pola pemerintahan yang dijalankan guna menguasai daerah - daerah seberang. Jadi daerah - daerah seberang ditaklukkan untuk kemudian wajib memberi upeti kepada kaisar sebagai penguasa tunggal. Berdasarkan gambaran masa lalu disusun strategi unitarisme untuk membentuk imperium ketiga yaitu Republik Indonesia. Perwujudan obsesi tersebut tergambar pada kata Pancasila hingga bahasa Indonesia yang dominan mengkonversi kata dari bahasa Sansekerta serta penamaan ruangan - ruangan di Gedung MPR - RI. Penyelenggaraan negara yang nepotis merupakan konsekuensi logis daripada negara berkedaulatan raja (monarkhi) yang terselubung melalui UUD 1945 (rezim Soeharto) guna melestarikan bentuk negara sekaligus kekuasaan. Pembenaran atas tujuan adalah, "Program (politik) Nasional itu ialah perjuangan sejak runtuhnya Negara Indonesia yang kedua yaitu, Majapahit pada permulaan abad XVI, dengan tidak berorganisasi sampai penghabisan abad XIX dengan berorganisasi modern dengan menjalankan massa aksi teratur dalam abad XX". (Muh. Yamin 1960 : 51)
Secara umum disimpulkan bahwa Soekarno adalah inisiator dan fasilitator imperium ketiga dengan jargon Revolusioner dan Soeharto sebagai kaisar pertama yang memerintah dengan jargon Pembangunan. Mengamati kedua jargon beserta isinya maka jelas tahapan strategis yang telah dibuat oleh unitarisme selama kurun waktu 70 tahun (1928 s/d 1998).
Momentum 1998 adalah saat yang ditunggu - tunggu oleh semua pihak yang didustai dan tersingkir selama 39 tahun. Celah waktu yang diciptakan melalui gerakan reformasi Mei 1998 merupakan saat yang paling merdeka bagi seluruh rakyat untuk menentukan sikap bagi masa depan, apakah kembali pada komitmen 1959 atau menciptakan sesuatu yang baru. Proses tersebut sedang berlangsung diantara ketiga kelompok yaitu yang mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 dengan segala kelemahan dan keburukannya, yang menghendaki revisi UUD 1945 sesuai dengan nilai - nilai yang hidup dalam masyarakat dewasa ini (living law) melalui amandemen (revisionist sampai retooling); dan yang menghendaki membuat konstitusi baru.
Solusi yang tepat guna mengatasi krisis kenegaraan akibat krisis ekonomi adalah otonomi daerah yang seluas - luasnya (konfederasi) atau federasi. Melalui solusi seperti ini negara dapat dipertahankan eksistensinya dan ekonomi dapat dipulihkan dalam tempo yang singkat. Mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 jelas sudah bangkrut. Upaya - upaya menggunakan UUD 1945 sebagai alat guna mencapai kesejahteraan sosial tidak dipercaya lagi oleh banyak orang. Untuk itu kesempatan emas yang telah terbentang dihadapan kita merupakan jalan menuju pembaruan strategi kesejahteraan rakyat di masa depan.
KEBEBASAN
Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat mengkristal dalam hukum meliput seluruh aspek kehidupan. Hukum meliputi hak dan kewajiban perorangan dan pribadi hukum (subyek hukum).
Hak-hak tidak dapat berdiri sendiri karena tanpa dibatasi akan cenderung mengancam atau memangsa sesamanya (homo homini lupus), untuk itu perlu dibatasi oleh kewajiban-
kewajiban.Namun demikian Manusia Dilahirkan merdeka (bebas), dan dimana dia terbelenggu dengan rantai, J.J. Rousseau dalam bukunya Kontrak Sosial 1762.
Implementasi pandangan Rousseau tergambar dalam Piagam Virginia Amerika Serikat 12 Juni 1776 pasal 1 berbunyi, bahwa segala manusia adalah menurut alam sama-sama bebas dan merdeka, serta mempunyai beberapa hak yang tidak terpisah darinya, yaitu kesenangan hidup dan kemerdekaan. Sebulan kemudian dikuatkan oleh Thomas Jefferson dengan ucapan, bahwa semua manusia dijadikan sama dan merdeka, diberkati oleh yang menjadikan beberapa hak yang tidak terpisah-pisah dan diantaranya yaitu hidayat, kebebasan dan tuntutan kesenangan : bahwa untuk menjamin hak-hak itu, maka dibentuklan pemerintahan di antara manusia, yang mengalirkan kekuasaan mereka yang benar dari persetujuan yang diperintah.
Kesepakatan yang dicapai oleh masyarakat di benua Eropah pada tanggal 27 Agustus 1789 melahirkan Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia dalam pasal 1 berbunyi, bahwa manusia lahir dan tetap bebas, serta mempunyai hak yang sama. Dan pasal 2 berbunyi, tujuan segala susunan politik ialah melindungi hak manusia alamiah dan tidak terpisah-pisah. Hak-hak itu ialah kemerdekaan, hak milik, keamanan dan perlawanan terhadap penindasan.
Untuk itu hak - hak diartikan sebagai kebebasan / kemerdekaan diperinci sebagai berikut, Kebebasan rohani yaitu kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi; Kebebasan dari kekurangan; Kebebasan dari ketakutan; Kebebasan beragama dan menjalankan ibadat.
Kebebasan rohani meliputi menyatakan pendapat dan berorganisasi merupakan hak yang melekat pada kehidupan. Dalam konteks manusia sebagai mahluk yang berpikir / berakal maka penyampaian buah pikiran / gagasan tidak dapat dihalangi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai - nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Operasional kebebasan ini pada masyarakat dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, berbeda aplikasinya antara kondisi masyarakat liberal dan konservatif. Berdasarkan proposisi ini maka generalisasi aplikasi kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi pada keragaman suku bangsa di Indonesia adalah mustahil dengan begitu integralisme / unitarisme solusi yang tidak tepat.
Tentang kebebasan dari kekurangan menekankan pada penghargaan yang layak terhadap jasa - jasa. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendapat guna pemenuhan kehidupan yang layak meliputi pangan, sandang dan papan. Berbicara bebas dari kekurangan secara riil meliputi beberapa aspek pendukung seperti kapasitas SDM dan perekonomian suatu masyarakat. Kondisi SDM dari perekonomian tidak sama pada masing - masing komunitas yang ada di Indonesia, hal ini nyata berlangsung dalam perjalanan negara kesatuan RI. Keragaman bukan menjadi perhatian utama unitarisme karena diyakini melalui strategi pertumbuhan ekonomi dapat menjawab permasalahan. Untuk itu diterapkan otonomi terbatas bagi daerah guna memudahkan penyelenggaraan perekonomian secara menyeluruh. Pembatasan kewenangan daerah berdampak pada pengembangan potensi lokal sehingga ketergantungan merupakan kondisi yang diciptakan guna menjamin kelangsungan integralisme. Pemiskinan struktural terjadi didaerah - daerah melalui ketergantungan pada pusat dan ekonomi biaya tinggi (prosedur biaya tinggi) yang terjadi dalam rangkaian birokrasi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemurahan hati pemerintah pusat.
Tentang kebebasan dari ketakutan meliputi kepastian dan perlindungan hukum dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pelaksanaan hak dan kewajiban perorangan dan lembaga dalam praktek cenderung terjadi penyelewengan oleh penguasa karena diberikan peluang oleh aturan yang tidak jelas / pasti atau belum diatur oleh peraturan. Kedua kemungkinan tersebut terjadi dalam penyelenggaraan NKRI berdasarkan UUD 45. Konstitusi yang sangat singkat dan fleksibel seperti UUD 45 membutuhkan penyelenggara yang bermoral dan saleh sementara manusia adalah binatang berakal. Fleksibilitas tersebut memberikan peluang kepada setiap penyelenggara untuk menafsirkan sesuai dengan keinginannya sehingga bentuk - bentuk kekuasaan fascis dan diktator bukan sesuatu yang menyalahi konstitusi. Konsekuensinya terhadap kepastian dan perlindungan hukum bukan berdasarkan keinginan / kehendak terbanyak (voluntee generale) melainkan kehendak seseorang atau kelompok orang. Politik pendidikan yang mengacu pada unitarisme mengharapkan keseragaman kurikulum diseluruh wilayah negara, disamping itu rekayasa sejarah merupakan syarat mutlat guna menekan serta menghilangkan pemahaman tentang fakta - fakta. Indoktrinasi halus seperti pemberlakuan ketentuan pers dan penerbitan yang bertanggung jawab dan indoktrinasi kasar melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diwajibkan pada segala tingkatan usia sekolah. Kemutlakan ideologi merupakan prasyarat guna menopang nasionalisme. Nasionalisme mengandung egoisme, sektarianisme dan seterusnya sehingga upaya internal untuk mempertahankannya adalah devide et impera melalui isu SARA.
Tentang kebebasan beragama dan beribadat adalah hak setiap manusia untuk menjalankan agamanya dengan merdeka. Namun sejarah menunjukkan bahwa agama dipergunakan sebagai alat politik yang ampuh guna mempertahankan kekuasaan dan atau melebarkan kekuasaan. Contoh sederhana di bekas Yugoslavia antara Serbia dan Bosnia yang serupa dengan di Inggris. Demikian juga dengan internasionalisme Kristen pada permulaan tarikh masehi yang melahirkan negara - negara Kristen berdasarkan kedaulatan Tuhan (Theokrasi). Internasionalisme Islam pada abad 20 yang melahirkan negara - negara Islam yaitu perpaduan antara ketuhanan dan sosialisme. Contoh diatas menunjukkan keampuhan agama sebagai alat politik untuk menguasai manusia di bagian - bagian dunia. Perseteruan tersebut menjadi isu paling diminati oleh manusia karena keyakinan merupakan impuls manusia yang paling rapuh untuk dipermainkan dalam segala tingkatan kesadaran. Walaupun agama telah dimanfaatkan untuk kepentingan politis dari masa kemasa, bukan menjadi alasan guna membatasi kebebasan manusia untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadatnya.
Keempat kebebasan yang dibicarakan di atas banyak diselewengkan oleh kekuasaan di berbagai negara, baik secara sadar (sudah jelas dalam konstitusi) maupun tidak sadar (penafsiran konstitusi akibat ketidakjelasan aturan). Kaitannya dengan negara Indonesia yang berbentuk kesatuan (NKRI) terhitung sejak Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, menunjukkan penyelewengan yang nyata terhadap keempat kebebasan diatas. Untuk itu rakyat sebagai pemilik kebebasan harus bertindak mereposisi melalui konsensus berdasarkan mekanisme yang diatur oleh rakyat sendiri.
OTONOMI
Penyelenggaraan pemerintahan seperti diatur dalam pasal 18 UUD 1945 menjadi dasar Desentralisasi dan Dekosentrasi seperti tertuang dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan Di Daerah. Adapun definisi beberapa istilah yang digunakan dalam UU No. 5/1974 masing - masing Pemerintah Pusat adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu - pembantunya. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat - Pejabat di daerah; Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku; Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
UU No. 18/1965 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan di Daerah menganut prinsipil riil dan seluas - luasnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 5/1974 tentang hal yang sama dengan prinsip nyata dan bertanggung jawab. Perbedaan prinsip antara riil dan seluas - luasnya dengan nyata dan bertanggung jawab menurut penjelasan UU No. 5/1974 didasari atas kekhawatiran bahwa, pengertian riil dan seluas - luasnya ternyata dapat menimbulkan kecenderungan permikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip - prinsip yang digariskan didalam GBHN. Memperhatikan kekhawatiran tesebut maka jelas pemerintah pusat tidak rela untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dengan alasan klise membahayakan keutuhan NKRI. Hematnya bahwa prinsip riil dan seluas - luasnya bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut jelas terbaca dalam penjelasan UU No. 5/1974 angka I.1.e.i. Dengan begitu UU ini merupakan bagian dari periode ketiga (pembangunan) tahap pertama sepertu yang digambarkan pada bagian I diatas.
Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut maka Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat diarahkan ke daerah tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya), dengan kewenangan mengatur rumah tangga sendiri dalam batas - batas tertentu. Pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan terhadap sektor - sektor tradisional seperti, galian C, pajak bumi dan bangunan, retribusi pasar, pajak kendaraan bermotor dan lain - lain. Sementara sektor strategis diatur langsung oleh pemerintah pusat. Dikaitkan dengan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan suplai anggaran melalui APBN, jelas PAD jauh lebih kecil jumlahnya. Apabila dihitung menyeluruh maka pendapatan asli daerah akan jauh lebih besar dibanding suplai melalui APBN. Contoh sederhan di sektor pertambangan emas, produksi emas PT. Newmont Minahasa Raya sebesar 58.000 ons / kwartal (Manado Post Selasa, 9 Juni 1998). Jika dinilai dengan rupiah pada standar harga jual emas Rp 75.000 / gram maka penghasilan bruto kurang lebih 1.3 trilyun/tahun. Bisa dibayangkan kekayaan daerah secara keseluruhan yang disedot ke pusat. Kenyataan ini tidak dapat disangkal karena merupakan konsekuensi logis pelaksanaan UU No. 5/1974.
Di bidang politik berdasarkan UU No. 5/1974 penjelasan angka I.4.d. menunjukkan bahwa pemerintah daerah adalah Kepada Daerah dan DPRD dengan tujuan tercapainya kerjasama yang serasi antara KDH dan DPRD untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah. Keterangan ini menunjukkan pemerintah pusat berupaya menyatukan kekuasaan legislatif dan ekskutif guna menekan keinginan rakyat yang dapat merusak tatanan dalam konsep NKRI.
Dibidang Hukum, pengambilan keputusan baik dalam bentuk kebijakan Kepala Daerah maupun Peraturan Daerah harus sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan pemerintah atasannya. Hal ini merupakan konsekuensi NKRI dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden (sistem kabinet pressidentil).
Sesuai dengan petunjuk pasal 88 UU No. 5/1974 bahwa, pengaturan tentang pemerintahan desa ditetapkan dengan undang - undang, melalui UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan Desa diatur sistem pemerintahan di tingkat desa. Semangat yang dikandung undang - undang ini mengacu pada induknya yaitu UU No. 5/1974 antara lain tujuan penyeragaman pemerintahan di seluruh pelosok negara. Namun dalam redaksi judul Menimbang huruf b., terdapat kerancuan antara tujuan penyeragaman dan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku. Dua penegasan yang tidak dapat dipertemukan itu memberi kesan bahwa keterangan yang tertuang dalam judul menimbang huruf b., hanya sebagai slogan guna menutupi agenda utama yang (penyeragaman).
Undang - Undang ini sejiwa dengan induknya (UU No. 5/1974 jo. GBHN jo UUD 1945) dengan prinsip sesuai dengan kerangka NKRI bahwa, Negara Indonesia itu suatu eenheids staat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga (penjelasan pasal 18 UUD 1945).
Memperhatikan teori yang dikemukakan oleh Robert C. Fried, The Italian Prefects (dikutip dari Hukum dan Pembangunan 1978 hal. 441) bahwa, tipologi pemerintahan daerah dibagi dalam tiga jenis sistem yaitu, sistem fungsional, sistem prefektur tak terintegrasi, sistem prefektur terintegrasi.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut UU No. 5/1974 menganut sistem prefektur terintegrasi seperti tergambar dalam pasal 2, 74(1) & (2), 79(1) & (2), 80, 81, 85(1). Penganutan sistem ini dipengaruhi oleh proses sejarah dan ditopang oleh berbagai faktor ekologis lainnya. Sistem ini berasal dari zaman Merkantilisme dan kemudian dikembangkan di Perancis oleh Napoleoon Bonaparte. Untuk mendalami sistem ini lebih lanjut diperlukan pendekatan "behavioralism". Pola militer (vini, vidi, vici) jelas mempengaruhi sistem ini, bahkan menurut pengamatan Fried, sistem prefektur terintegrasi seringkali dipergunakan sebagai senjata untuk mengatasi ancaman bahaya yang datang dari suku - suku atau kekuatan sosial dan ekonomi yang berkonsentrasi di wilayah - wilayah tertentu. Dengan jalan menempatkan seorang gubernur di wilayah - wilayah itu dengan segala atribut yang dimilikinya, maka Gubernur dapat melakukan keseimbangan kepentingan, menetralisir keadaan dan menciptakan stabilitas politik diwilayahnya.
Kenyataan itu telah berlangsung sejak ditetapkannya UU No. 5/1974. Tidak dapat disangkal seperti ucapan Satjipto Rahardjo, ....... hal itu pada hemat saya disebabkan oleh karena saya mencoba untuk menegaskan penggunaan dari pada hukum itu sebagai sarana sosial engineering yang sekarang ini merupakan kemungkinan yang berkembang dikalangan hukum. Dan dengan demikian maka saya mencoba untuk menekankan betapa hukum itu dipakai sebagai suatu sarana yang sistematis, yang terencana, yang diucapkan dengan dasar untuk melakukan perobahan - perobahan dalam masyarakat atau untuk menuju pada suatu susunan masyarakat yang dicita - citakan. (Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun ke-IX Juli 1979).
Menengok kebelakang ketika perumusan UUD 1945, Sam Ratulangi mengingatkan bahwa, ..... supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau - pulau besar diberi hak seluas - luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah - daerah itu adalah daerah daripada Indonesia, dari satu negara. (Risalah Sidang BPUPKI 1992, 312). Menyimak pandangan Sam Ratulangi tentang bentuk negara maka jelas kearah federasi. Beliau mengerti dengan jelas bahwa eksistensi suku bangsa yang tersebar dalam wilayah Republik Indonesia adalah riil dan tidak bisa dinegasikan dalam kerangka negara yang baru dibentuk.
Jelas sudah penipuan - penipuan oleh utopist yang menghendaki negara ini seperti di zaman Majapahit. Berdasarkan kenyataan itu maka daerah - daerah harus mempersiapkan diri guna merebut kembali hak - hak yang telah dirampas itu. Untuk itu harus segera dilaksanakan penguatan rakyat melalui revitalisasi hak adat maupun hak - hak kepemilikan yang diakui masyarakat lokal guna mengisi dan mendukung perjuanga merebut hak tersebut daru tangan penipu - penipu.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KERAKYATAN
Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Kerakyatan (disingkat PSAK) dibangun atas alasan mendasar yaitu, penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan NKRI dan perekonomian berdasarkan pertumbuhan seluruhnya menegasikan hak - hak rakyat atas pemilikannya. Sebagai contoh pembangunan yang didukung oleh perundang - undangan berdasarkan alasan tersebut di sektor pertambangan, kehutanan, perdagangan, pertanian, perikanan, perindustrian dan masih banyak lagi.
Seluruh proses pembangunan di sektor ini mulai dari perencanaan hingga pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah hanya memiliki wewenang mengatur sektor - sektor tradisionil seperti galian C, pertanian rakyat, perikanan rakyat dan lain - lain. Yang paling menyedihkan adalah, setiap jengkal tanah dan laut maupun isinya di seluruh Indonesia telah diperjualbelikan antara pemerintah pusat dan pengusaha besar (konglomerat) di Jakarta. Sementara rakyat di daerah / desa sebagai pemilik sah atas sumberdaya alamnya merasa aman dibawah perlindungan aturan - aturan hukum yang dibuat bukan untuk melindunginya seperti, UU No. 5/1960 tentang Pokok - Pokok Agraria. UU ini merupakan cerminan konstitusi dalam hal penguasaan tanah oleh negara (Hak Menguasai Tanah oleh Negara disingkat HMN). Tujuan akhir UU ini adalah penyeragaman hak - hak tanah di seluruh Indonesia. Hal ini didukung oleh ungkapan Soekarno dalam Manifesto Politik 17 Agustus 1959, .... kita mewarisi dari zaman beberapa hal yang harus diberantas. Antara lain apa yang dinamakan hak eigendom di atas sesuatu bidang tanah. Mulai sekarang kita coret sama sekali hak egendom tanah dari hukum pertanahan Indonesia. Tak dapat kita benarkan, di Indonesia Merdeka ada sesuatu bidang tanah yang di eigendomi oleh orang asing, in casu orang Belanda ! Kita hanya kenal hak milik tanah bagi orang Indonesia, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. (Muh. Yamin 1960 : 712)
Dalam laporan Residen Manado E. J. Jellesma 1903 bahwa, menurut penerapan verklaring di Keresidenan Manado atas pertimbangan agar membatasi / menghalangi penguasaan tanah oleh para Hukum Besar secara semena - mena.
Keterangan ini dibenarkan oleh Agrarische Wet 1870 yang tercantum dalam pasal 51 Indische Staatsregeiing berisi sebagai berikut, Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai pemberian tanah - tanah itu melanggar hak - hak rakyat, Persewaan tanah oleh rakyat asli kepada orang - orang bukan rakyat asli berlaku menurut peraturan undang - undang.
Memperhatikan ketentuan di atas maka nampak bahwa orang asing tidak diperbolehkan memiliki tanah yang belum dikonversi menurut Agrarische Wet, dengan demikian hak asli didudukkan sebagai hak yang terkuat. Hak pemilikan tersebut tidak saja atas tanah tetapi juga terhadap apa yang terkandung didalamnya, sehingga kebebasan untuk menikmati pemilikan perorangan dijamin oleh pemerintah. Dikaitkan dengan PSA, jelas hak - hak pengelolaan yang dilakukan oleh rakyat. Kelihatannya kolonialisme Belanda tidak sampai menekan hak - hak pengelolaan yang dilakukan oleh rakyat. Kelihatannya kolonialisme Belanda tidak sampai menekan hak - hak rakyat atas tanah seperti pasal 33 : 3 UUD 1945 yang dianggap sebagai produk bangsa merdeka. Benar ungkapan salah seorang wakil fraksi dalam Majelis Konstituante bahwa, Lebih mudah merebut hak dari penjajah daripada merebut hak dari bangsa sendiri. Kondisi yang berlangsung setelah kemerdekaan Indonesia tidak lebih dari ungkapan, penjajah putih pergi digantikan dengan penjajah hitam (bangsa sendiri).
Menurut Van Vollenhoven bahwa, di wilayah Hindia Belanda tidak kurang dari 300 suku bangsa yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan. Kehidupan suku bangsa sebelum kolonialisme Belanda adalah merdeka / bebas dalam arti mengatur sendiri kepentingan komunitasnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan J.J. Rousseau bahwa, Manusia terlahir merdeka / bebas, namun dimana - mana dia terbelenggu. Berdasarkan kenyataan itu maka tidak seorangpun melalui kekuasaan yang dimilikinya mematikan kemerdekaan / kebebasan yang dimiliki oleh sesamanya. Untuk itu masyarakat lokal sebagai pemilik sah atas SDA nya berhak mengelola sesuai dengan prinsip - prinsip yang berlaku dalam komunitas itu.

Juni 1999

Esei Greenhill G. Weol: "Kembali ke Jalan yang Benar: MARI MENJADI ANARKIS!"


In the minds of the general public, anarchism stands for an endorsement of anarchy, which is thought by many to mean a state of chaotic lawlessness. It would therefore seem to be diametrically opposed to the affirmation of community. In fact, anarchism refers to two absolute, apparently contradictory but complementary virtues toward which a good life must strive: the integrity of the individual human conscience, resistant to the dictates of both institutional power and the mob; and the dedication of the individual to the general good”.

(Encyclopedia of Community: From the Village to the Virtual World)

Sebelum Anda Membaca…

Pembaca yang terhormat, jika anda terkejut dengan judul tulisan ini, saya tidak akan menyalahkan anda, malah mungkin justru anda yang buru-buru menyalahkan saya. Maka, tetaplah terus membaca, sebab mungkin anda akan mengkoreksi pemikiran anda itu, paling tidak sedikit demi sedikit. Tetapi, saya tidak menulis untuk mempengaruhi anda. Anda tidak perlu percaya kepada saya, sebab anda punya hak untuk tidak percaya kepada saya. Saya menulis tulisan ini agar anda mengerti apa yang sedang saya pikirkan. Mudah-mudahan di akhir tulisan ini saya sebagai penulis dan anda sebagai pembaca bisa saling baku mangarti.

Mengartikan Anarkisma

Penggunaan kata anarki yang tertua ditemukan pada naskah drama karya Aeschylus, Seven Againts Thebes, bertahun 467 SM. Dalam naskah ini, tokoh Antigone menolak menjalankan perintah dari penguasa dengan kalimat “ekhous apiston tênd anarkhian polei”. Mengartikan apa itu Anarkisma adalah sesuatu yang tidak gampang, mengingat kata ini telah terlalu lama dilekati oleh lebih banyak makna negatif. Media-masa kini yang menggunakan kata “anarkis” sebagai sebuah terma yang menggambarkan aksi-aksi destruktif, vandalis, dan khaotik, malah memperburuk pemaknaan. Bereferensi kepada “bahasa media”, yang seharusnya adalah bahasa “orang-orang terdidik” (baca Rudolf Rocker: Anarkisme & Anarko-Sindikalisme), ternyata tidak akan banyak membantu kita mengerti banyak, sebab bagaimanapun media bertendensi untuk menggunakan kata-kata yang “eye/ear catching” dan kedengaran bombastis agar lebih menarik perhatian publik. Lucunya, pelajar dan akademisi juga latah memahami kata ini hanya dari makna negatifnya. Pejabat Pemerintahan malah seolah “melegalkan” makna negatif ini lebih lanjut. Pemaknaan Anarkisma secara negatif sebenarnya bermula dari penggunaan kata ini dalam Perang Saudara Inggris (English Civil War) oleh para Royalist, pendukung monarki/imperialisma, untuk menghujat dalam orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Anarchism terderivasi dari bahasa Grika ν (tanpa) + ρχειν (pemerintah) yang secara lebih bebas berarti "tanpa penguasa". Sebagai pengimbang, mungkin akan lebih netral jika kita mencoba mengartikan kata ini secara “bahasa kamus”. Webster Dictionary mengartikan Anarki sebagai “non-existence or incapability of govermental rule”, ketiadaan atau ketidakmampuan kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Anarkisma didefinisikan dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Politics sebagai "the view that society can and should be organized without a coercive state." Pengartian selanjutnya dapat kita temukan dalam Dictionary of Politics and Government yang menulis: anarchism sebagaithe belief that there is no need for a system of government in a society” dengan tambahan komentar: “Anarchism flourished in the latter part of the 19th and early part of the 20th century. Anarchists believe that there should be no government, no army, no civil service, no courts, no laws, and that people should be free to live without anyone to rule them”.

Saya kemudian menemukan kesimpulan dalam The Concise Oxford Dictionary of Politics yang menggambarkan Anarkisma sebagai "a cluster of doctrines and attitudes centered on the belief that government is both harmful and unnecessary”, Anarkisma adalah sebuah faham yang menganggap pemerintahan/kekuasaan adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan pada ekstrimitasnya, berbahaya.

(Sampai pada titik ini, mungkin ada lebih baik anda coba menganalisa kembali makna Anarkisma yang selama ini telah ada di benak anda sebelumnya, dibandingkan dengan makna Anarkisma yang saya paparkan diatas. Jangan langsung terpengaruh oleh kata-kata saya, anda saya sarankan untuk membaca terus.)

Memahami Anarkisma

Walau masih diperdebatkan bukti-bukti antropologisnya, Harold Barclay dalam People Without Government: An Anthropology of Anarchism menuliskan bahwa umat manusia telah hidup ribuan tahun dengan damai dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Jared Diamond, penulis The Worst Mistake in the History of the Human Race, menggambarkan Masyarakat Adat sebagai sangat egaliter. Kemunculan masyarakat hirarkislah yang kemudian menciptakan politik dan melahirkan pemaksaan kekuasaan dalam bentuk kekerasan. Louis-Armand, Baron de Lahontan, dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1703, “Nouveaux voyages dans l'Amérique septentrionale” (New Voyages in Northern America), menggambarkan penduduk asli Amerika yang tak memiliki negara, hukum, dan penjara, sebagai sebuah masyarakat anarki.

Ide awal Anarkisma sebagai sebuah perspektif pemikiran lahir sebagai respons terhadap represi kekuasaan dan institusi politik. Filsuf Zeno dari Citium, pendiri mashab Stoik, berargumen dengan Plato bahwa akal harus menggantikan kekuasaan/pemerintahan dalam membina unsur-unsur kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa dalam walaupun dalam insting manusia telah terpatri “egoisme”, kita juga dikaruniakan “rasa sosial” sebagai penyeimbang. Filsuf Arristippus, seperti dikutip Sean Sheehan dalam bukunya Anarchism, berkata bahwa “yang bijak seharusnya tidak memberikan kekuasaan kepada negara

Dalam dunia filsafat timur, Lao Tze, seperti tergambar dalam Tao Te Ching, mengembangkan filosofi “tanpa kekuasaan” yang kemudian mengantar para penganut Taoisma hidup dalam pola Anarkisma. Para penganut Anarkisma Nasrani berpendapat bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari “kekuasaan Tuhan”, dan menentang segala bentuk kekuasaan lain yang “didirikan manusia”. Ajaran Kristus dinilai sangat mengandung nilai-nilai Anarkisma dan kehidupan jemaat mula-mula juga jelas-jelas mempraktekkan hal yang sama. Kelompok Kristen Anabaptis di Eropa pada abad 16 adalah para praktisi Anarkisma Nasrani. Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy menulis bahwa penganut Anabaptis "repudiated all law, since they held that the good man will be guided at every moment by the Holy Spirit...". Sepanjang sejarah umat manusia, banyak gerakan religius yang meletakkan landasannya di atas pemahaman Anarkisma.

The Oxford Companion to Philosophy, berkata bahwa "there is no single defining position that all anarchists hold, beyond their rejection of compulsory government, and those considered anarchists at best share a certain family resemblance". Pilar-pilar Anarkisma mendukung: otonomi, perdamaian, konsensus, kooperasi, partisipasi, kolektivitas, de-birokrasi, persamaan hak dan kewajiban, persamaan derajat, saling tolong menolong, kepemilikan pribadi, kesadaran dan kebebasan berkumpul dan asosiasi pekerja independen, penyelamatan alam, perlawanan budaya. Anarkisma sendiri menolak: autoritarisma, pensensoran, kekerasan, ekploitasi, hirarki sosial (pengkastaan), fasisma, imperialisma, paternalisma, politisasi/kekuasaan agama, statistika massa, sosialisma negara dan ekonomi terencana.

Adalah Pierre-Joseph Proudhon yang kemudian dianggap sebagai yang pertama mendeklarasikan diri sebagai seorang anarkis, melalui bukunya yang menghebohkan, What is Properti?, terbit tahun 1840. Kalimat yang paling terkenal dari karyanya ini adalah "Liberty is the mother, not the daughter, of order”. Oleh karena pemikirannya ini, Ia disebut-sebut sebagai penggagas dari Anarkisma Modern. Proudhon mengoposisi dua paham, Kapitalisma dan Komunisma sekaligus. Dan, oleh karena pilihan ideologinya inilah Anarkisma akhirnya harus mengalami rongrongan dari “dua kubu besar” ini. Jadi, agaknya kurang tepat jika ada yang mengatakan jika Anarkisma adalah “sempalan” dari Komunisma. Tokoh Anarkisma, Mikhail Bakunin, pada konferensi “The First International” tahun 1864 menolak keras Autoritarianisme yang menjadi sendi dasar dari Komunisma.

Alexander Bergman, David D. Friedman, Emma Goldman, Shusui Kotoko, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Nestor Makhno, Buenaventura Durruti, Voltairine de Cleyre, Hakim Bey, Saul Newman dan setumpuk nama lainnya adalah tokoh-tokoh Anarkisma selanjutnya. Banyak juga tokoh-tokoh dalam sejarah secara tidak langsung mengaku bahwa ia Anarkis, namun dalam secara ideal dan praktis mereka menganut Anarkisma. Beberapa diantaranya adalah: Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, Gustave de Molinari, Guy Debord, William Godwin, Howard Zinn, Noam Chomsky, Jack Kerouac, dan, jangan kaget, Thomas Jefferson, Mohandas Gandhi, dan Karl Marx!

Thomas Jefferson, seorang pendiri Amerika Serikat, seorang penjunjung Demokrasi, mendukung Anarkisma dan mengkritik kekorupan sistem governansi Eropa dengan berucap: "The basis of our governments being the opinion of the people, the very first object should be to keep that right; and were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter. But I should mean that every man should receive those papers and be capable of reading them. I am convinced that those societies (as the Indians) which live without government enjoy in their general mass an infinitely greater degree of happiness than those who live under the European governments. Among the former, public opinion is in the place of law and restrains morals as powerfully as laws ever did anywhere. Among the latter, under pretense of governing, they have divided their nations into two classes, wolves and sheep. I do not exaggerate. This is a true picture of Europe”.

(Sekali lagi, saya tidak sedang mempengaruhi anda. Saya yakin, anda cukup bisa menemukan makna yang paripurna. Tinggal sebuah bagian singkat lagi dalam tulisan saya ini. Tidak ada ruginya untuk terus membaca, bukan?)

Menjadi Anarkis!

Anarkisma memang bukan sebuah falsafah yang sangat sempurna, sebagaimana juga falsafah manapun di dunia ini. Saya tidak akan menyembunyikan fakta bahwa memang ada segelintir anarkis, mereka yang terpengaruh dengan “Nihilist Movement” di akhir abad ke-19 lalu, yang tiba pada sebuah pemahaman bahwa sesekali waktu perlu pelaksanaan “Propaganda of the Deeds”, yang salah satu metode taktisnya melibatkan “pernyataan publik” yang menggunakan tindakan-tindakan yang kemudian diterjemahkan sebagai kekerasan. Metode ini dalam kalangan anarkis sendiri sangat ditolak dan dicerca. Namun, secara umum pada prakteknya, Anarkisma adalah sebuah paham politik yang dalam menuju cita-citanya, masyarakat anarki/utopia, menentang kekerasan dalam bentuk apapun.

Memang, label Individualisma, sosialisma, kolektivisma, mutualisma, serta label-label lainnya terus-menerus tertempel pada Anarkisma. Tetapi, sebagaimana rekaman sejarahwan George Richard Esenwein dalam bukunya "Anarchist Ideology and the Working Class Movement in Spain, 1868–1898" yang mencatat seruan “Anarkisma Tanpa Kata Sifat” dari Fernando Tarrida del Mármol sebagai ajakan untuk bertoleransi, ditambah dengan sifat-sifat dasarnya yang egalitarian, indigenous, feminist, ecological dan cultural-concious, saya menganggap bahwa Anarkisma adalah sesuatu yang layak kita pandang sebagai sebuah solusi untuk menghadapi kompleksitas permasalahan Umat Manusia hari ini. Saya tertarik kepada statement David Graeber and Andrej Grubacic, dalam buku "Anarchism, Or The Revolutionary Movement Of The Twenty-first Century" yang memberikan argumen bahwa oleh karena Anarkisma bukan sebuah paham yang “diciptakan” oleh seseorang saja, maka ia berkencerungan untuk terus berkembang berdasarkan prinsip-prinsip praktis yang lebih subjektif namun tidak melupakan objektifisma, dan secara alami men-disable fanatisme. Nature dari Anarkisma adalah “open doctrine” yang membuka ruang seluas-luasnya untuk kreativitas, kontekstualitas, serta identitas.

Pada akhir tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa maksud tulisan ini adalah pertama: meluruskan pengertian Anarkisma, dan kedua: untuk menyampaikan bahwa, setelah saya sebelumnya pernah berkata “Panggil Saya Orang Minahasa”, sekarang, jika anda perlu label lain, maka Panggil Saya Seorang Anarkis.

Anda?...


Puisi Michael "Bool" Sarungu Pelealu: "Komuni-Kasi (For Cupez de Man)"

+Cewe gaga anak teater!
-Ha!? Oh bagus, bagus itu!
+Mo pangge kenalan?
_...Nanti jo sto!

Puisi Kalfein "Kale" Wuisan: "Minahasan Tetengkoren I"

MINAHASAN TETENGKOREN
I
Sekarang bukan ley zaman
Torang mo tutu mata
Tutu mulu rapat-rapat
Duduk badiang
Babahaga
Matikutu
Sekarang bukan ley zaman
Torang maruku pa dorang pe kaki
kong jilat-jilat cepatu
mengemis keadilan
Sekarang bukan ley zaman
tong rupa sapi cucu idong
ta iko-iko
apa yang dong bilang
Sekarang badiri sama tinggi
pigi kase bobale
dorang di atas kursi
biar dong tau
arti REVOLUSI
I YAYAT U SANTI

Puisi Alfrits "Ken" Oroh: "Suara Touna'as (For Minahasan Poets)"

Tenga malang
Qta blum dapa tatidor
Ta inga samua torang pe cirita
Bagimana dulu torang penjaja Belanda
Sampe sampe bekas pemerintah orba beking bodok
Dorang seputar torang sejarah
Sampe skarang bekas tentara so berkuasa
Cuma segelintir orang tu mo batulis
For mo beking butul torang pe asal usul
Membangun Minahasa yang bermartabat
Sastrawan harus angkat bicara
Harus batulis
HARUS…
Jadilah TOU’NAAS

Esei Denni Pinontoan: "Mencoba Memaknai Globalisasi".

Utu yang tinggal di salah satu wanua terpencil di wilayah Minahasa tak lagi harus bersusah-susah untuk menonton final siaran langsung Euro 2008. Dia bisa langsung tahu, Spanyol adalah juara Euro 2008. Cuma kopi pahit manis satu gelas, tv 21 inch, duduk di kursi empuk dan ditemani beberapa teman sekampung yang gila bola, Utu sudah bisa pergi ke dunia lain. Ini berkat Parabola yang kemudian yang menjadi bisnis TV Kabel menguntungkan bagi Om Benni sejak tahun 90-an. Film-film aksi dan kasih produksi hollywood dan bollywood juga sudah akrab dengannya setiap hari. Padahal, di lemarinya ada kartu Rumah Tangga Miskin. Besok dia akan antri di Kantor Pos Kecamatan untuk menerima BLT.

Utu, juga tak lagi pusing jika ingin bercakap-cakap langsung dengan adiknya di Jakarta. Dia punya seluler second, yang dibelinya dengan murah dari Alo yang sekarang mengganti hp-nya dengan fasilitas 3G. Cuma menekan beberapa angka di hp itu, dia langsung bisa bicara, tanya kabar juga kadang bercanda minta dikirimkan uang melalui rekening banknya kepada adiknya. Kadang canda itu membuahkan hasil. Tak dia kira, ketika mengambil waktu ke kota, cek di ATM, eh ternyata saldonya sudah bertambah.

Keke, adik Utu yang lain, yang sementara kuliah di kota, sehari-hari ke warnet. Chatting dan kirim surat elektronik (e-mail) kepada teman sekolahnya waktu SMA yang sekarang bekerja di Amerika. Mereka saling menanyakan kabar, atau bercanda. Foto-foto yang dipotret pakai kamera digital temannya di Amerika bisa Keke lihat langsung di salah satu fasilitas emailnya. Temannya banyak bercerita tentang Amerika. Keke pun membagi ceritanya tentang suasana kampung kalau Natal, Tahun Baru atau Pengucapan Syukur yang baru dialaminya sejak temannya itu ke Amerika. Keke pun jadi tahu banyak seperti apa kehidupan di Amerika. Temannya pun tak jadi lupa kampung halamannya. Mereka jauh, tapi tetap sebagai teman dekat. Ketika di warnet, Keke seolah-olah sedang berada dekat dengan temannya itu. Keke juga menjadikan Google, Yahoo dan web mesin pencari lainnya untuk mendapatkan informasi yang dia butuhkan.

Utu, Keke, Om Benny dan Alo, adalah kita di sini dan kini, yang sementara menikmati berkat tapi juga sementara terancam dengan globalisasi. Dunia telah menjadi datar, demikian Thomas L Friedman. Dunia seolah-olah tak ada lagi batas. Antara Utu, Alo, Keke, dengan George, Chelse, Jurgen, atau Suprapto, Inem, dan lain sebagainya adalah manusia-manusia di sebuah dusun kecil bernama bumi. Kemajuan teknologi dan informasi serta perdagangan antara negara, telah membuat dunia ini menjadi datar.

Ini membawa konsekuensi pada perubahan cara pandang, paradigma berpikir, sistem dan paradigma politik dan ekonomi. Kita memang akhirnya telah dibuat takut dengan globalisasi, tapi karenanya kita juga terhibur dan senang menonton pertandingan sepak bola di ESPN dan film-film Box Office di HBO. Itulah globalisasi yang adalah realitas sejarah, yang bukan nanti sekarang terjadi. Di Indonesia, sejak bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda datang, globalisasi pun telah dimulai. Meski memang yang dominan waktu itu tampilannya adalah imprealisme, namun, di satu pihak, pendidikan modern oleh para zending yang diperkenalkan di Minahasa misalnya, harus disebut sebagai berkat. Di dunia ini, sejak Colombus melakukan perjalanannya dan merambah dunia-dunia baru, globalisasi pun dimulai. Begitu juga perjumpaan antara pedagang Arab, India, Persia dan Cina, dengan di Nusantara, yang dimulai pada abad ke-7, juga adalah usaha-usaha awal mendatarkan dunia. Jangan lupa juga ketika peradaban Islam menancapkan pengaruhnya dari Indus sampai Andalus.

Friedman pengarang buku “The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad ke-21,” (Terj. Dian Rakyat, Jakarta, Oktober 2006) meyakini dunia mulai menjadi datar ketika perang dingin berakhir. Di saat itulah dunia bersepakat untuk tunduk pada satu sistem yaitu kapitalisme. Dunia modern, kemudian melahirkan evolusi teknologi informasi. Karena itu muncullah penemuan PC (personal computer), internet pun mendunia.

Tapi, kita bisa juga melihat sejarah kelahiran globalisasi ini dari kemerdekaan rasio (rasionalisme), yang kemudian antara lain memunculkan kapitalisme dan imprealisme. Rasionalisme adalah hasil pemberontakan terhadap dominasi agama (gereja) dengan kemutlakan doktrin dan tradisinya. Abad pertengahan, ketika Luther memberontak terhadap kemutlakan gereja, dan kemudian membuka ruang kritik terhadap doktrin, tradisi dan otoritas gereja yang kalau tidak diinterupsi bisa menjadi tahayul, maka manusia pun akhirnya merasa diri telah bebas merdeka.

Tapi prosesnya panjang sampai bayi globalisasi itu menemukan wujudnya yang menyeramkan, yaitu kapitalisme dan imprealisme. Ada revolusi Industri, ada Kemerdekaan Amerika, ada revolusi Perancis yang mengiringi proses perubahan wujud rasionalisme menjadi monster globalisasi. Kolonialisme Bangsa Barat atas Bangsa Timur, harus kita baca dalam upaya kapitalisme dan imprealisme menundukkan dunia. Ini berawal ketika rasionalisme kemudian lepas kontrol, dan akhirnya peradaban Barat merasa diri sebagai pusat dari segala-galanya. Kalau dulu gereja yang menganggap diri sebagai pusat kebenaran dan keselamatan maka di era rasionalisme yang tak terkontrol itu, peradaban Barat kemudian menjadi poros dunia untuk menilai berdosa (kafir) - tidak berdosa (suci), berbudaya-tidak berbudaya dan beradab-tidak beradab.

Perang Dunia Pertama dan Kedua, adalah jejak sejarah hitam dunia, yang harus kita sebut sebagai ekses dari usaha pendataran dunia. Tapi, pengalaman penjajahan, dan penderitaan karena dua perang dunia itu, akhirnya menjadi pemicu bagi bangsa-bangsa di Asia, termasuk bangsa-bangsa di Nusantara yang kemudian bersepakat secara darurat untuk mendirikan negara Indonesia. Prof. A.B. Lapian, sejarawan, mantan guru besar UI dan peneliti LIPI, dalam sebuah forum diskusi publik mengatakan, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah awal berdirinya sebuah bangsa dan 17 Agustus 1945 adalah kelahiran sebuah negara yang bernama Indonesia. Dua tahap sejarah kita itu, adalah antara lain reaksi politik bangsa-bangsa di nusantara ini ketika globalisasi telah menjadi jahat dengan kapitalisme dan imprealismenya.

Kembali pada kita di sini dan kini. Suka atau tidak, senang atau tidak, kita sebenarnya sedang menjadi bagian dari globalisasi. Tapi yang menjadi persoalan memang, bahwa kebanyakan kita masih bersikap pasif dalam proses yang sebenarnya mengandung banyak peluang itu. Globalisasi dalam wujudnya yang terakhir, misalnya apa yang disebut dengan neoliberalismenya, pada banyak hal memang cuma sampai membuat kita menjadi korban di dalamnya. Kita cuma sampai mampu membeli asesoris buatan Cina, daripada memproduksi dan mengekspornya sehingga kita mendapat untung dari globalisasi itu. Kita akhirnya menjadi korban pencemaran dan mendapat dampak negatif dalam kehidupan sosial dan tata politik dari kehadiran perusahaan-perusahaan tambang misalnya. Negara kita akhirnya harus tunduk pada pasar dunia soal kenaikan harga BBM, ketika hasil-hasil bumi kita kebanyakan sudah dijual kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Cap tikus yang diproduksi oleh ribuan petani di Minahasa misalnya, hingga sekarang ini hanya dijadikan sebagai kambing hitam tindakan kriminal. Kita, rakyat dan pemerintah daerah, tidak kemudian berpikir serius untuk mengolah cap tikus menjadi bahan ekspor sampai ke rumah-rumah sakit di London atau bar-bar di Texas.

Tapi, globalisasi, dalam tampilannya terkini itu, akhirnya bukan lagi sesuatu yang harus kita lawan, dan berusaha menghilangkannya. Sejarah seolah-olah memang telah mengkodratkan kita, di sini dan kini untuk berada dalam proses pendataran bumi itu. Kita perlu berkawan dengannya. Karena bagaimanapun, globalisasi telah memaksa kita untuk berproses di dalamnya.

Memang sampai kini kita belum menemukan resep mujarab untuk menjinakan globalisasi itu sehingga bisa memberi untung bagi kita pada soal berekonomi. Tapi, poros dunia belum berhenti, sehingga, kita masih punya waktu untuk menjinakannyanya, asalkan kita belum kehabisan energi. Proses belajar dan berpengetahuan, beradab dan berbudaya, jangan pernah berhenti.

Dalam proses itu, berbudaya, bukanlah pertama-tama soal bahwa kita harus terlalu bernostalgia lagi dengan kelampauan sejarah Tanah kita. Berbudaya adalah proses berpengetahuan untuk memperbarui peradaban. Keke yang secara cerdas memaknai internet untuk belajar demi ilmu pengetahuan, adalah juga sedang berbudaya. Utu yang menikmati Indovision dengan segala tayangannya kemudian menemukan banyak hal baru tentang dunia luar, dan kemudian melakukan refleksi atau perenungan terhadap yang apa sedang terjadi di tanah adatnya sekarang, adalah juga sedang berbudaya. Begitu juga, dalam soal kebijakan politik pemerintah daerah kita, WOC, TFF di Tomohon misalnya, kalau paradigma dan spiritnya adalah untuk memperkuat ekonomi rakyat, yang caranya adalah promosi massal ke dunia internasional tentang segala potensi sumber daya alam daerah ini, menurut saya ini adalah juga sedang berbudaya.

Sehingga untuk memaknai secara cerdas globaliasasi itu, maka institusi politik, birokrasi, agama dan lain sebagainya harus dalam kesadaran sebagai bagian dari proses berbudaya. Politik yang berbudaya adalah kekuasaan untuk mengatur atau mengolah institusi pemerintahan dalam usaha mengarahkan rakyat atau publik pada tujuan hidupnya, yaitu sejahtera. Institusi birokrasi, atau pemerintah yang berbudaya, adalah institusi yang melayani dengan tulus dan jujur publik dalam usahanya memenuhi segala kebutuhan hidupnya untuk berpolitik, bersosial dan berekonomi. Pemerintah Pusat di Jakarta, akhirnya harus secara terbuka untuk kemudian memberlakukan otonomi daerah yang benar-benar menjadikan daerahnya kuat. Kalau daerah kuat, maka negara akan kuat pula menghadapi kapitalisme yang banyak ditakuti orang dalam globalisasi. Sementara agama yang berbudaya, adalah institusi religius yang terus menerus memperbaharui diri untuk menjadi gerakan moral dan spiritual rakyat dalam usahanya menuju ke keselamatan lahir maupun batin, bukan terutama di sana, tapi di sini dan kini. Dan semua itu terkandung pada apa yang sering kita sebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal pada Tanah kita harus digali, diinterpretasi dan direvitalisasi. Itu kira-kira usulan saya untuk memaknai globalisasi.

Tomohon, sehari setelah ToF 2008 di Tomohon.