Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

SEMANGAT KAUM MUDA DALAM KATA (Report by : Andre GB)

Menyambut terbitnya buku kumpulan puisi
Jangan Malu Pada Sepi, Karya Dean Joe Kalalo




Dean Joe Kalalo kembali meramaikan geliat sastra di Sulawesi Utara dengan meluncurkan Jangan Malu Pada Sepi. Sebuah buku kumpulan tunggal puisi–puisi yang mencatat jatuh bangun proses kreatifnya selama ini. Sebuah manifestasi dari permenungan–permenungan panjang dan melelahkan, yang berhasil di tintakan keatas sebuah kertas. Dean kembali hadir dan memberi nilai lebih dengan menyajikan kehadapan kita, kumpulan kata–kata yang romantis dalam bentuk puisi.

Jangan Malu Pada Sepi berisikan 42 puisi dengan tebal 77 halaman, merupakan bukti eksistensi seorang muda yang bergelut dengan keresahan – keresahannya, namun tidak tenggelam kontemplasi tanpa hasil. Namun lebih dari itu, Dean berani untuk membagi pengalaman – pengalaman hidupnya kepada publik. Berani untuk keluar dari persemediannya setelah ia menganggap bahwa pengalaman – pengalaman yang telah mengendap di dasar hati dan telah menjadi embrio kata, kemudian dengan kesadaran penuh memberikan kesempatan kepada publik/apresian sastra Sulawesi Utara untuk menilai, menanggapi, memberikan kritik ataupun pujian. Tapi akan lebih tepat jika kemudian, Jangan Malu Pada Sepi menjadi cermin bagi kita untuk memberi waktu melihat diri sendiri.

Anda akan menemukan kegetiran kata karena hitamnya masa lalu. Anda juga dapat bersua dengan pahitnya huruf yang terangkai. Juga ada kelam hati karena cinta yang gugur, tapi ada juga senandung harap yang tak kunjung layu., kemarahan yang menggelegar ataupun sendu karena asa yang terjatuh kebumi. Semuanya dapat ditemukan dalam keseluruhan buku ini.

Ada satu hal yang harus digaris bawahi oleh khalayak apresian sastra di Sulawesi Utara ketika memberi ucapan selamat datang kepada Jangan Malu Pada Sepi. Yaitu bagaimana upaya gigih dari seorang Dean Joe Kalalo untuk terus berkarya di tengah arus iklim kesenian yang boleh dibilang sangat meyedihkan. Sebuah kerja keras pantang menyerah yang kemudian menghasilkan ketulusan niat dalam berkarya dan berproduksi untuk memajukan dunia seni di Sulawesi Utara.

Sang penyair sendiri sempat berujar kepada saya, kalau kumpulan puisinya yang pertama adalah manifestasi semangat kemudaannya. Semangat yang dalam ketakutan sang penyair, tak akan mungkin singgah lagi ketika umur manusia bertambah dewasa. Dan karena ketakutan itulah, maka sang penyair memutuskan untuk membukukan karya-karya puisinya agar tak hanya berakhir sebagai goresan kata di atas kertas yang tak bermakna. Karena apalah guna menulis sebanyak mungkin, jika kemudian itu hanya akan tetap berakhir seperti kertas kosong.

Buku puisi ini diterbitkan oleh 9 SOCIETY ART & TECH bekerja sama dengan Theatre Club fakultas Sastra UNSRAT. Dengan bantuan Dr. Gretha Liwoso Carle (Dosen Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi, Guest Lecturer Departement Asian Africa Institute, University of Hamburg, Germany) memberikan kata pengantar dan Fredy Sreudeman Wowor, SS untuk epistelariumnya. Juga dibantu oleh Greenhill Weol untuk desain sampul.
Buku ini tidak dalam upaya untuk menerbitkannya, tidaklah lepas dari sebuah kesadaran bersama untuk saling menopang dan meringankan tangan untuk saling bantu. Meski sentralisme dan elitusme dunia penerbitan Indonesia bellum juga hilang, namun Dean menjawab itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa berhasil jika diupayakan. Menerbitkan buku dengan modal terbatas namun berkualitas adalah mungkin karena Jangan Malu Pada Sepi telah membuktikan itu.

Menyimak beberapa komentar awal dari para seniman lain di cover belakang buku mengenai Jangan Malu Pada Sepi membuat kami yakin untuk dengan berani menyarankan anda agar membeli buku ini. Terutama kepada semua yang mengaku sebagai orang yang romantis, buku ini adalah referensi wajib. Sebab, dari tepi pasifik di awal tahun 2008, telah hadir seorang penyair romantik kontemporer dalam karya sastra yang dengan lantang berteriak “torang disini ada trus !”

0 komentar: