Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Denni Pinontoan: "Mesias Lahir Di Pinabetengan"

Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer

Oleh Denni Pinontoan


Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks.

Di bagian depan bangunan yang menutup Watu Pinabetengan yang monumental itu, sekelompok anak muda Minahasa ini duduk melingkar. Ada yang bersila sambil menyandarkan badan di dinding beton bangunan itu, dan yang lainnya bersila di atas lantai yang terbuat dari semen. Malam itu memang tidak tampak ada sekelompok orang yang sedang merayakan Natal Yesus Kristus, sebagaimana lazimnya umat Kristen merayakan Pohon Terang. Tapi bagaimanapun, bagi mereka itu adalah perayaan Natal. Tapi, apapun bentuknya acara malam itu, yang jelas, bagi mereka inilah cara praktis tapi bermakna dalam usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.

Sekelompok anak muda Minahasa ini terdiri dari berbagai elemen, antaranya dari Komunitas Pinabetengan Muda (anggotanya kebanyakan dari pemuda Desa Pinabetengan), Mawale Movement dan perwakilan Teater Unggu UNIMA. Mereka memang berada dalam komunitasnya masing-masing, tapi semua berada dalam spirit yang sama, yaitu sedang dalam usaha melakukan pergerakkan Keminahasaan.

Tema perayaan Natal Yesus Kristus oleh anak muda Minahasa di malam itu adalah: ”Mesiah Lahir di Pinabetengan”. Sebuah tema yang provokatif tapi sebenarnya relevan dan penuh makna dalam usaha memaknai Injil Yesus Kritus dalam konteks penggerakan Minahasa. Barangkali bagi banyak orang ini kontroversi, sebab sejak sekolah Minggu umat Kristen telah diajarkan bahwa Yesus lahir di Betlehem bukan di tempat lain, apalagi di Pinabetengan. Tapi tema ini sebenarnya sedang usaha memaknai makna dalam dalam kekinian dan kedisinian Minahasa.

Watu Pinabetengan sengaja dijadikan sebagai tempat untuk melakukan ritual intelektual itu mengingat dalam pemaknaan sekarang bagi Tou Minahasa Watu ini memiliki nilai historis dan kultural yang tidak bisa dilepaskan dalam merefleksikan keminahasaan. Menurut Freddy Wowor dan Greenhill Weol (penggiat Mawale Movement) dan Fryski Tandaju (dari Pinabetengan Muda), ini adalah cara yang tepat dalam memaknai nilai Watu itu. Sebab menurut mereka, Watu Pinabetengan sejatinya adalah tempat berdiskusi dan bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh para dotu Minahasa tempo dulu.

Diskusi malam itu berlangsung alot dan penuh makna dalam usaha memikirkan keminahasaan kontemporer. Pembicaraan yang serius mengarah ke dua pertanyaan, yaitu, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” dan ”Siapa Tou Minahasa itu?” Dua pertanyaan ini akhirnya menjadi pemicu dalam usaha menginterpretasi ulang makna kelahiran Yesus, dan usaha menjawab tentang jati diri Tou Minahasa yang terus berdialektika dalam sejarah.

Ketika mendiskusikan pertanyaan, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” saya kemudian teringat pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya yang ditulis oleh para penulis Injil. Lukas 9:20-21 (dapat juga dibaca dalam Mat. 16:15-6 dan Mrk. 8:29) menulis: ”Yesus bertanya kepada mereka: ’Menurut kamu, siapakah Aku ini?’ Jawab Petrus: ’Mesias dari Allah.’” Matius menulis jawaban Petrus itu dengan: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Sementara Markus menulis: ”Engkau adalah Mesias!”

Inilah pertanyaan yang mestinya dijawab oleh gereja (sebagai sistem nilai maupun sebagai lembaga) sepanjang abad. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya ingin menegaskan pengakuan iman dan kepercayaan atas kemesiasan Yesus, Raja yang diurapi, pembebas dari segala bentuk kuasa yang mencengkeram dan menindas. Injil Yesus Kristus mestinya berkisar pada spirit atau semangat pembebasan, pemerdekaan, keadilan dan damai sejahtera bagi yang tertindas, kaum yang lemah karena diskriminasi dan marginalisasi oleh kuasa apapun termasuk kekuasaan negara yang represif.

Pertanyaan siapakah Yesus menurut kita, sekarang ini menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi-diskusi gereja-gereja Asia. Dalam usaha menemukan siapa Yesus dalam konteks Asia itu akhirnya mengarahkan kita pada apa makna Injil Yesus dalam konteks yang plural (SARA), totaliterianisme kekuasaan negara, kemiskinan, kuasa neoliberalisme dan berbagai persoalan lainnya. Ini sebenarnya sama juga dengan bertanya: ”Siapa Yesus dalam konteks kebudayaan kita?” Akhirnya, mau tidak mau, jawaban atas pertanyaan ini akan menyentuh persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya kita. Dengan demikian, Injil Yesus Kristus dan makna pengosongan diri Allah melalui kelahiran Yesus tidak hanya akan menjadi kata-kata indah untuk disyairkan yang hanya membuat umat atau rakyat tertidur secara terpaksa dalam keadaan lapar akibat pemiskinan oleh kuasa neoliberalisme, menderita karena konflik/peperangan, dan tertindas di tanah sendiri akibat kamuflase politik negara.

Natal dan Injil Yesus Kristus akhirnya harus bermakna pembebasan, pemerdekaan, penerimaan, keadilan dan damai sejahtera. Dalam konteks kebudayaan kita Minahasa, Natal dan Injil Yesus tentu bukan lagi bermakna mendikte dan menvonis salah nilai dan bentuk budaya yang dipahami dan dipraktekkan Tou Minahasa, melainkan lebih sebagai spirit dan semangat dalam usaha penggerakkan keminahasaan yang berhadapan dengan ancaman neoliberalisme, kekuasaan negara yang mutlak, dan perilaku pragmatis dalam Pilkada, Pilcaleg, serta kerja politik elit kita di lembaga eksekutif dan legislatif. Dengan penuh keyakinan kita mestinya merumuskan pengakuan iman kita orang Minahasa dengan memaknai Natal dan Injil Yesus sebagai spirit perlawanan terhadap segala kuasa yang menyesatkan itu. Itulah jawaban kita Tou Minahasa atas pertanyaan Yesus: ”Menurut Kamu, Siapakah Aku ini?” Dengan demikian, sebuah pengakuan iman khas kebudayaan Minahasa telah kita rumuskan.

Terkait dengan itu, kita juga harus menjawab pertanyaan: ”Sei sia se tou Minahasa?”, ”Siapa Orang Minahasa?” Dalam diskusi di Watu Pinabetengan itu berhasil disimpulkan bahwa orang Minahasa bisa berdasarkan geneologis, berdarah Minahasa dan juga bisa siapapun dia, dari manapun asalnya, tapi tinggal di Tanah Minahasa dan mampu membuktikkan komitmennya atas perjuangan Minahasa untuk mencapai cita-citanya. Minahasa memang bermakna pluralisme. Minahasa berarti bersatu dalam perbedaan, atau keberagaman yang berkomitmen berjuang bersama-sama untuk mencapai cita-cita yang sama. Itulah bangsa Minahasa secara kultural. Sehingga Minahasa tidaklah harus diidentikkan dengan agama Kristen. Bahwa nilai kekristenan telah mempengaruhi atau memberi isi bagi kebudayaan Minahasa sampai hari ini, ya, tapi agama Kristen identik dengan Minahasa secara teritorial dan politik barangkali tidak, dan keliru kalau kita menyamakannya.

Pertanyaan Yesus, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, memberi ruang bagi manusia dalam ruang dan waktunya untuk mengekspresikan imannya kepada Yesus sebagai Mesias Anak Allah, yang membawa kabar damai sejahtera, kebebasan dan keadilan. Jawaban yang diberikan tentu akan bermacam-macam. Tapi bentuk jawaban itu akan selalu berdasar pada dua hal, yaitu siapa yang memberi jawab dan dalam kebudayaan (ruang dan waktu) apa si pemberi jawab itu hidup. Injil Yesus Kristus sebagai spirit melampaui ruang dan waktu manusia, tapi cara mengekspresikannya mestinya berbentuk hasil dialog antara makna Injil yang tetap itu dengan ruang dan waktu manusia yang selalu berubah.

Makna Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bukan hanya soal ”surga” yang akan datang dan konon itu, tapi terutama adalah soal sekarang, hari ini. Minahasa hari ini, adalah Minahasa yang sedang bergolak hebat dengan persoalan sentralisme kekuasaan negara, serbuan kuasa kapitalisme dan neoliberalisme yang memakai perangkat globalisasi, serta pragmatisme elitnya – yang kebanyakan adalah Tou Minahasa – dalam jabatan-jabatan politik serta ekonomi yang dengannya terbentuk kelas-kelas sosial yang saling menindas. Spirit Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bermakna perlawanan terhadap segala kuasa yang sesat itu. Sebab keselamatan mestinya juga bermakna hari ini, yaitu keselamatan atau pembebasan atas segala kuasa dunia yang menindas dan memiskinkan (Luk. 4:18-19).

0 komentar: