Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Denni Pinontoan: "Mesias Lahir Di Pinabetengan"

Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer

Oleh Denni Pinontoan


Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks.

Di bagian depan bangunan yang menutup Watu Pinabetengan yang monumental itu, sekelompok anak muda Minahasa ini duduk melingkar. Ada yang bersila sambil menyandarkan badan di dinding beton bangunan itu, dan yang lainnya bersila di atas lantai yang terbuat dari semen. Malam itu memang tidak tampak ada sekelompok orang yang sedang merayakan Natal Yesus Kristus, sebagaimana lazimnya umat Kristen merayakan Pohon Terang. Tapi bagaimanapun, bagi mereka itu adalah perayaan Natal. Tapi, apapun bentuknya acara malam itu, yang jelas, bagi mereka inilah cara praktis tapi bermakna dalam usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.

Sekelompok anak muda Minahasa ini terdiri dari berbagai elemen, antaranya dari Komunitas Pinabetengan Muda (anggotanya kebanyakan dari pemuda Desa Pinabetengan), Mawale Movement dan perwakilan Teater Unggu UNIMA. Mereka memang berada dalam komunitasnya masing-masing, tapi semua berada dalam spirit yang sama, yaitu sedang dalam usaha melakukan pergerakkan Keminahasaan.

Tema perayaan Natal Yesus Kristus oleh anak muda Minahasa di malam itu adalah: ”Mesiah Lahir di Pinabetengan”. Sebuah tema yang provokatif tapi sebenarnya relevan dan penuh makna dalam usaha memaknai Injil Yesus Kritus dalam konteks penggerakan Minahasa. Barangkali bagi banyak orang ini kontroversi, sebab sejak sekolah Minggu umat Kristen telah diajarkan bahwa Yesus lahir di Betlehem bukan di tempat lain, apalagi di Pinabetengan. Tapi tema ini sebenarnya sedang usaha memaknai makna dalam dalam kekinian dan kedisinian Minahasa.

Watu Pinabetengan sengaja dijadikan sebagai tempat untuk melakukan ritual intelektual itu mengingat dalam pemaknaan sekarang bagi Tou Minahasa Watu ini memiliki nilai historis dan kultural yang tidak bisa dilepaskan dalam merefleksikan keminahasaan. Menurut Freddy Wowor dan Greenhill Weol (penggiat Mawale Movement) dan Fryski Tandaju (dari Pinabetengan Muda), ini adalah cara yang tepat dalam memaknai nilai Watu itu. Sebab menurut mereka, Watu Pinabetengan sejatinya adalah tempat berdiskusi dan bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh para dotu Minahasa tempo dulu.

Diskusi malam itu berlangsung alot dan penuh makna dalam usaha memikirkan keminahasaan kontemporer. Pembicaraan yang serius mengarah ke dua pertanyaan, yaitu, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” dan ”Siapa Tou Minahasa itu?” Dua pertanyaan ini akhirnya menjadi pemicu dalam usaha menginterpretasi ulang makna kelahiran Yesus, dan usaha menjawab tentang jati diri Tou Minahasa yang terus berdialektika dalam sejarah.

Ketika mendiskusikan pertanyaan, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” saya kemudian teringat pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya yang ditulis oleh para penulis Injil. Lukas 9:20-21 (dapat juga dibaca dalam Mat. 16:15-6 dan Mrk. 8:29) menulis: ”Yesus bertanya kepada mereka: ’Menurut kamu, siapakah Aku ini?’ Jawab Petrus: ’Mesias dari Allah.’” Matius menulis jawaban Petrus itu dengan: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Sementara Markus menulis: ”Engkau adalah Mesias!”

Inilah pertanyaan yang mestinya dijawab oleh gereja (sebagai sistem nilai maupun sebagai lembaga) sepanjang abad. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya ingin menegaskan pengakuan iman dan kepercayaan atas kemesiasan Yesus, Raja yang diurapi, pembebas dari segala bentuk kuasa yang mencengkeram dan menindas. Injil Yesus Kristus mestinya berkisar pada spirit atau semangat pembebasan, pemerdekaan, keadilan dan damai sejahtera bagi yang tertindas, kaum yang lemah karena diskriminasi dan marginalisasi oleh kuasa apapun termasuk kekuasaan negara yang represif.

Pertanyaan siapakah Yesus menurut kita, sekarang ini menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi-diskusi gereja-gereja Asia. Dalam usaha menemukan siapa Yesus dalam konteks Asia itu akhirnya mengarahkan kita pada apa makna Injil Yesus dalam konteks yang plural (SARA), totaliterianisme kekuasaan negara, kemiskinan, kuasa neoliberalisme dan berbagai persoalan lainnya. Ini sebenarnya sama juga dengan bertanya: ”Siapa Yesus dalam konteks kebudayaan kita?” Akhirnya, mau tidak mau, jawaban atas pertanyaan ini akan menyentuh persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya kita. Dengan demikian, Injil Yesus Kristus dan makna pengosongan diri Allah melalui kelahiran Yesus tidak hanya akan menjadi kata-kata indah untuk disyairkan yang hanya membuat umat atau rakyat tertidur secara terpaksa dalam keadaan lapar akibat pemiskinan oleh kuasa neoliberalisme, menderita karena konflik/peperangan, dan tertindas di tanah sendiri akibat kamuflase politik negara.

Natal dan Injil Yesus Kristus akhirnya harus bermakna pembebasan, pemerdekaan, penerimaan, keadilan dan damai sejahtera. Dalam konteks kebudayaan kita Minahasa, Natal dan Injil Yesus tentu bukan lagi bermakna mendikte dan menvonis salah nilai dan bentuk budaya yang dipahami dan dipraktekkan Tou Minahasa, melainkan lebih sebagai spirit dan semangat dalam usaha penggerakkan keminahasaan yang berhadapan dengan ancaman neoliberalisme, kekuasaan negara yang mutlak, dan perilaku pragmatis dalam Pilkada, Pilcaleg, serta kerja politik elit kita di lembaga eksekutif dan legislatif. Dengan penuh keyakinan kita mestinya merumuskan pengakuan iman kita orang Minahasa dengan memaknai Natal dan Injil Yesus sebagai spirit perlawanan terhadap segala kuasa yang menyesatkan itu. Itulah jawaban kita Tou Minahasa atas pertanyaan Yesus: ”Menurut Kamu, Siapakah Aku ini?” Dengan demikian, sebuah pengakuan iman khas kebudayaan Minahasa telah kita rumuskan.

Terkait dengan itu, kita juga harus menjawab pertanyaan: ”Sei sia se tou Minahasa?”, ”Siapa Orang Minahasa?” Dalam diskusi di Watu Pinabetengan itu berhasil disimpulkan bahwa orang Minahasa bisa berdasarkan geneologis, berdarah Minahasa dan juga bisa siapapun dia, dari manapun asalnya, tapi tinggal di Tanah Minahasa dan mampu membuktikkan komitmennya atas perjuangan Minahasa untuk mencapai cita-citanya. Minahasa memang bermakna pluralisme. Minahasa berarti bersatu dalam perbedaan, atau keberagaman yang berkomitmen berjuang bersama-sama untuk mencapai cita-cita yang sama. Itulah bangsa Minahasa secara kultural. Sehingga Minahasa tidaklah harus diidentikkan dengan agama Kristen. Bahwa nilai kekristenan telah mempengaruhi atau memberi isi bagi kebudayaan Minahasa sampai hari ini, ya, tapi agama Kristen identik dengan Minahasa secara teritorial dan politik barangkali tidak, dan keliru kalau kita menyamakannya.

Pertanyaan Yesus, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, memberi ruang bagi manusia dalam ruang dan waktunya untuk mengekspresikan imannya kepada Yesus sebagai Mesias Anak Allah, yang membawa kabar damai sejahtera, kebebasan dan keadilan. Jawaban yang diberikan tentu akan bermacam-macam. Tapi bentuk jawaban itu akan selalu berdasar pada dua hal, yaitu siapa yang memberi jawab dan dalam kebudayaan (ruang dan waktu) apa si pemberi jawab itu hidup. Injil Yesus Kristus sebagai spirit melampaui ruang dan waktu manusia, tapi cara mengekspresikannya mestinya berbentuk hasil dialog antara makna Injil yang tetap itu dengan ruang dan waktu manusia yang selalu berubah.

Makna Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bukan hanya soal ”surga” yang akan datang dan konon itu, tapi terutama adalah soal sekarang, hari ini. Minahasa hari ini, adalah Minahasa yang sedang bergolak hebat dengan persoalan sentralisme kekuasaan negara, serbuan kuasa kapitalisme dan neoliberalisme yang memakai perangkat globalisasi, serta pragmatisme elitnya – yang kebanyakan adalah Tou Minahasa – dalam jabatan-jabatan politik serta ekonomi yang dengannya terbentuk kelas-kelas sosial yang saling menindas. Spirit Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bermakna perlawanan terhadap segala kuasa yang sesat itu. Sebab keselamatan mestinya juga bermakna hari ini, yaitu keselamatan atau pembebasan atas segala kuasa dunia yang menindas dan memiskinkan (Luk. 4:18-19).

Cerpen Denni Pinontoan: "Pohon Besar Itu".

Perkenalkan, aku Pinkan. Aku anak perempuan berusia 11 tahun. Aku tinggal di sebuah rumah kayu di sebuah wanua1 di bagian Selatan Minahasa. Tahun ini aku akan tamat sekolah dasar. Doakan, ya agar aku bisa lulus dalam ujian akhir yang dua bulan lagi itu. Aku memang butuh doa. Karena kata guruku, ujian kali ini sangat ketat. Soal-soalnya dikirim dari pusat dan nanti dibuka amplopnya ketika ujian akan dimulai. Aku harus memang butuh dukungan doa, agar aku dijauhkan dari cobaan untuk menyontek atau menerima bantuan dari guru. Sebab, guru juga kadang suka membocorkan soal-soal ujian. Sebenarnya bukan untuk pertama-tama melakukan perbuatan yang melanggar aturan, melainkan untuk membantu kami murid mereka yang tersayang.
Tapi, lupakan dulu ya, soal ujian itu. Toh, aku sudah belajar keras dan juga sudah meminta doa dari mama, papa, kakak dan kalian semua. Tuhan mana yang mau membiarkan anak-anak-Nya jatuh dalam ketidalulusan?
Ada persoalan penting yang ingin aku ceritakan pada kalian. Minggu lalu wanua kami heboh dengan kejadian tanah longsor di ujung wanua kami. Untung kejadian itu tidak sampai memakan korban jiwa manusia, kecuali beberapa pohon cengkih sansibar milik om Alo. Tapi ada juga yang perlu disayangkan. Sapi milik Om Yantje yang bernama Bongko itu, tewas tertimbun tanah. Sampai sekarang cuma ekornya yang tampak keluar dari timbunan tanah bercampur batu. Tubuh si Bongko yang malang perlahan tapi pasti sementara membusuk dalam tanah. Kasihan memang. Padahal, menurut cerita Om Yantje, si Bongko sedang mengandung anaknya. Om Yante dan istrinya, tante Neli aku lihat sangat sedih. Aku apa lagi, si anak perempuan kecil ini.
Warga di wanua kami memang belum melakukan apa-apa membereskan longsoran tanah itu. Sebab hujan baru berhenti kemarin. Hukum Tua2 bilang sudah menelepon ke pemerintah kabupaten untuk mendatangkan alat berat mengangkat timbunan tanah itu. Tapi, aku tak tahu mengapa hingga sekarang belum muncul juga alat berat itu. Warga pun hanya ramai membicarakan perihal tanah longsornya, yang merobohkan pohon cengkih dan membunuh si Bongko yang sedang bunting.
Sore ini kakek, ayah dari ibu datang ke rumah. Kedatangan kakek ke rumah selain sekedar untuk melihat keberadaan kami yang rutin dilakukannya, tapi juga untuk menanyakan kabarku. Bukan kabar soal apakah aman dari tanah longsor atau tidak, melainkan persiapanku untuk ujian akhir yang lagi dua minggu itu. Kakek memang selalu mengikuti perkembangan sekolahku, ini barangkali karena dia mantan guru di wanua kami. Kakek dulu kata ibu, adalah guru matematika di sekolah tempat aku bersekolah sekarang. Setelah memastikan bahwa aku sudah siap mengikuti ujian akhir, aku lihat kakek dan ayah bercerita di teras rumah.
Aku berada di dalam rumah sibuk mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Antara aku dengan ayah dan kakek di teras rumah itu hanya dipisahkan oleh dinding rumah sehingga aku masih bisa menguping pembicaraan mereka.
"Makanya, apa kata para orang tua mestinya kita dengar. Jangan sekali-kali menebang pohon beringin itu. Kamu tahu, usia pohon itu sudah setua wanua kita. Masakan tidak dihormati lagi. Kami dulu, menebang cabangnya saja harus minta permisi." kata Kakek pada ayah yang duduk di kursi sebelahnya. "Pohon beringin itu ditanam oleh leluhur kita untuk menjaga wanua ini."
"Yah, ini barangkali karena musim hujannya sudah sangat sering sehingga tidak bisa tertahan lagi oleh tanah. Alam memang sudah berkehendak begitu untuk menegur kelakuan kita manusia di wanua ini yang telah sangat jauh dari Tuhan. Kalau soal bahwa pohon beringin itu adalah penjaga kampung ini, aku pikir itu tinggal cerita lama, yang sekarang telah menjadi takhyul. Masakan kita orang yang sudah Kristen masih percaya takhyul. Karena itulah sehingga Tuhan marah," ujar ayah.
Kakek tak langsung menanggapi pemikiran ayah. Segelas kopi hitam yang dihidangkan ibu, diraih kakek dari meja. Seteguk cairan berkafein itu masuk ke kerongkongannya. Sebatang rokok kretek menyusul kemudian di bibirnya. Segera setelah itu kakek pun melepaskan kepulan asapnya. Sedangkan segelas berisi teh panas untuk ayah masih diam mematung di meja, hanya uapnya yang menari-nari.
Setelah dua kali mengeluarkan kepulan asap rokok, kakek pun berkata, "Ini bukan takhyul, Rob. Untung bukan Yantje atau kita yang menjadi korban. Bongko itu mati tertimbun longsor karena memang penjaga pohon beringin itu meminta tumbal. Ini karena kita tidak menghargainya lagi," kakek berkata menjelaskan. Tangannya ikut bergerak. Sebatang rokok kretek itu masih terjepit pasrah di antara jari-jarinya yang berurat.
"Sudahlah, yah. Ini bukan soal tumbal atau penjaga pohon itu sedang marah. Ini karena wanua kita ini harus sadar diri. Lihat, perjudian, percabulan dan pencurian semakin hari semakin marak terjadi di wanua kita ini. Itu semua dosa, yah. Untung Tuhan menegur kita masih lewat tanah longsor yang korbannya hanya Bongko dan pohon cengkih sansibar. Coba kalau gempa yang membela tanah dan sakit menular, seperti flu burung atau Aids. Sudah saatnya orang-orang di wanua ini melakukan pertobatan massal," Ayah agaknya mulai terpancing mengkhotbai kakek. Ini memang besar kemungkinan terjadi, karena ayah selain sebagai PNS di kantor kecamatan, juga sebagai penatua3 di gereja kami, yang kerjanya adalah juga mengkhotbai orang.
Aku berhenti sejenak dari kesibukanku mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Aku tiba-tiba terkejut bahkan bulu romahku sampai merinding mendengar percakapan yang sudah sangat serius itu. Aku pun keluar ingin ikut memberikan pendapat di tengah percakapan antara kakek dan ayah. Aku melangkah ke teras rumah dan berkata, "Begini pak, kek,..."
Belum selesai aku berbicara, ayah langsung memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar aku tidak usah ikut berbicara seraya berkata, "Pinkan, ayah sudah berkali-kali bilang, kalau orang tua lagi berbicara, kamu tidak boleh mengganggu. Kamu masih kecil tidak boleh mengganggu percakapan orang dewasa."
Larangan seperti itu memang selalu aku dengar. Alasanya selalu sama, kata ayah, karena aku masih kecil. Ini tidak adil. Padahal, Yesuspun sangat menghargai anak kecil. Tidak demokratis dan egaliter kalau begitu. Padahal, aku pernah baca buku, katanya orang Minahasa dulu sangat demokratis dan egaliter. Semua punya hak bicara asalkan sudah tahu bicara dan tentu sopan. Tapi bagaimanapun aku harus bicara, percuma aku sekolah kalau tidak boleh mengemukakan pendapat. Aku harus bicara sekarang.
"Ayah..."
Sekali lagi ayah melarangku. Tapi kakek membela.
"Rob, biarkan Pinkan bicara," kata kakek membela. "Apa yang ingin kau katakan, Pinkan?"
Ayah rupanya tak bersikeras melarangku berbicara. Ayah pun tiba-tiba hanya diam tak memandangku. Kakek malah menatapku dan siap mendengar apa yang akan aku katakan.
"Begini, kek, tanah longsor itu, kata guru Pinkan di sekolah antara lain di sebabkan oleh erosi. Air hujan tak lagi meresap ke dalam tanah. Ini karena tak ada lagi akar pohon-pohon yang menahannya. Tanah di ujung kampung itu 'kan tak ada lagi pohon besar. Jadi kalau hujan datang, airnya langsung mengikis tanahnya," kataku mengutip kata guru IPA-ku di sekolah.
"Itu sebabnya, kata kakek kepada ayahmu ini, bahwa tanah itu longsor karena kita tak lagi menghormati kehidupan tumbuhan di sana. Kita seenaknya menebang pohon, tanpa minta permisi kepada penjaganya," ujar kakek membalas apa yang aku bilang.
"Tapi, bagaimana dengan kata alkitab bahwa manusia harus menguasai dan menaklukan alam ini?" kata ayah menyela.
"Tapi, yah, tidak harus rakus. Harus ada keseimbangan antara pemanfaatan alam dan pemeliharaannya," ujarku. Lagi-lagi aku mengutip kata guruku di sekolah.
"Benar, Pinkan. Dulu kakek masih melihat orang menebang pohon dengan memakai semacam gergaji besar yang digerakkan oleh tenaga dua orang. Waktu itu memang orang juga menebang pohon, tapi tidak terlalu merusak, karena yang diambil adalah kayu di hutan yang usianya sudah sangat tua dan cara penebangannya pun masih tradisional dengan mengikuti petunjuk para tua-tua. Selain itu karena memang orang masih percaya bahwa alam adalah sahabat karibnya. Antara manusia dan hutan misalnya masih dianggap memiliki kesatuan. Dan, meski memang agama menyebut penghormatan kepada pohon yang para leluhur kita lakukan sebagai berhala, tapi seingat kakek kampung ini tidak pernah terjadi longsor. Sekarang manusia sudah semakin rakus dan tidak menghormati alam. Di belakang rumah pun kita sudah bisa mendengar raungan gergaji mesin. Sementara hampir setiap hari lewat truk-truk besar yang mengangkut kayu yang di tebang di hutan kita," kakek memberi penjelasan panjang lebar.
Ayah aku lihat sedikit terkesima dengan penjelasan kakek sehingga tidak berbicara lagi. Aku pun ketika mendengar itu bergegas masuk ke dalam rumah mengambil kliping koran yang aku gunting dari sebuah koran harian lokal. Aku ambil kliping itu dan membacakannnya untuk kakek dan ayah. Begini isi berita itu,
"Kerusakan hutan di Sulawei Utara yang telah mencapai 60 persen, diduga kuat sebagai pemicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mem-porak-porandakan sejumlah wilayah Sulut, selang tahun 2007. Kerusakan hutan di daerah ini telah mencapai 60 persen dari 788.691 hektar luas kawasan hutan yang ada. Kenyataan ini berimbas pada munculnya lahan kritis yang luasnya sudah mencapai sekitar 473.214 hektar. Sementara data lain menyebutkan bahwa laju keruskan hutan di seluruh Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun."
"Nah, itu dia. Ini karena manusia telah memusuhi alam. Ini antara lain ya, itu tadi karena manusia tidak lagi menghargai kearifan budaya yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Manusia sekarang menjadi liar karena berburu kaya. Hutan yang adalah kehidupan kita mereka rusak. Jadi jangan heran kalau alam juga marah. Ini sudah hukum alam," tandas kakek.
"Setuju, kek!" aku berkata semangat.
Ayah hanya diam tapi kentara sedang berpikir. Dia seolah-olah sedang menganalisa data dari kliping koran yang aku bacakan dan pemikiran kakek. Bahkan teh yang di meja itu aku lihat baru seteguk yang ayah minum. Tidak ada lagi tarian uap dari gelas itu. Sementara gelas kopi milik kakek tinggal dasarnya yang hitam. Mudah-mudahan diam ayah berarti perenungan untuk menjadi orang Kristen yang bertanggung jawab terhadap alam. Kalau kakek biarlah dia menjadi orang tua yang Kristen tapi tetap Minahasa. Sementara aku hanya berharap mudah-mudahan alam tidak cepat-cepat rusak. Aku masih harus menjalani kehidupan yang panjang.
Dan perlu kalian tahu, kalau nanti aku tak bisa lagi merasakan nikmatnya hidup di alam yang hijau dan lestari, yang aku tuntut adalah kamu semua, manusia-manusia dewasa, yang kata kakekku semakin rakus karena nafsu kaya dan berkuasa. Ingat itu!!

Pojok Suara Minahasa, 93,3 FM
Jumat, 25 April 2008 17:36 pm

Puisi Ran: "BUNGA TENGA JALAN".

Tataru diatas beton yang babla jalan jadi dua
Dalam pot ta ukir
Ada juga yang tataru di trotoar
Jadi panghias kota

Estetika yang so nda ada etika
Asik ba kase gaga kota deng warna bunga
Mar yang di atas sana
Itu dang yang jadi tampa ba simpang aer
Ta biar kong so jadi bota’

Pas datang bencana
Rame – rame bacirita hutan so gundul
Gundul ngana pe nene moyang
Cuma tenga kota yang ngoni kase gaga
Kong itu disana ngoni kase biar

Abis itu le bicara macam – macam
Supaya kata, salah nyanda dapa kantara
Danau so kurang stenga tiang
Hutan so jadi lahan proyek
Bencana datang
Yang ada cuma baku kase sala

Puisi Mya: "Kita Hebat".

Kita Hebat

Satu persatu derap langkah terdengar semakin mendekat
Sebagian besar dari mereka begitu asing bagiku
Hanya satu aroma keringat yang cukup bisa akur dengan udara disini
Di tempatku berakar

Sekelilingku riuh, mulai gusar
Benda-benda angkuh yang mengkilap terselip diantaranya
Diantara pemilik langkah-langkah itu
Si tipis-tajam pembunuh sadis, musuh besar bangsaku

Memang dia tak bersuara cempreng seperti saudara sesukunya
Yang panjang, bergigi dan sangat jelek
Namun kali ini sepertinya dia kan putuskan lagi mata-mata yang ingin nikmati musim berjalan
Ku tak bisa biarkan ini

Tak dinyana sahabat sejati datang sebagai pahlawan
Walau terbang kesana kemari dengan wujudnya yang hancur penuh darah
Namun dia tau apa yang harus dia lakukan
Dengan harus melawan mantra dan kemenyan

Entah itu sebuah wujud balas budi karena aku tlah berikan dia tempat berdiam
Dan kurasa hubungan seperti ini hanya ada di duniaku
Yang tak tercemar picik dan licik, sisi hitam fungsi sebuah akal
Dan tak tersentuh peraturan yang kata si punya akal, ada untuk dilanggar

Dan….. hore sahabat, mereka mundur
Mereka berbalik arah sambil menenteng si tipis-tajam pembunuh sadis
Kembalilah disejuknya hembus nafas rimbun daunku
Semua pantas kau terima karena kita selamat

Maka air dalam bumi masih akan membujuk untuk kuhisap
Hingga bugarlah aku
Maka udara yang bersih akan mempersembahkan tarian khasnya
Hingga damailah kita

11 Agustus 2007
Untuk : Suatu tempat di Tabongo Timur

Puisi Angga: "TaPeTo"

Dong bilang maitua Tondano gaga-gaga
Bodi montok, feis fasung
Beking paitua pe mata tabuka lebar

So dari tadi paitua bagara
Maitua sok jual mahal
Pura-pura acuh
Ato pura-pura nda dengar?
Padahal depe hati
So bagetar sama deng tambor

Nda apa-apa katu
Paitua denga maitua malo-malo kucing
Asal satu kita bilang
Jang sampa paitua Cuma mo beking
Depe maitua jadi “TAPETO”
Apa so tu TAPETO?!?
(Tampa PEgang Toto, bogO!!!)

Puisi Angga: "TaPeTo"

Dong bilang maitua Tondano gaga-gaga
Bodi montok, feis fasung
Beking paitua pe mata tabuka lebar

So dari tadi paitua bagara
Maitua sok jual mahal
Pura-pura acuh
Ato pura-pura nda dengar?
Padahal depe hati
So bagetar sama deng tambor

Nda apa-apa katu
Paitua denga maitua malo-malo kucing
Asal satu kita bilang
Jang sampa paitua Cuma mo beking
Depe maitua jadi “TAPETO”
Apa so tu TAPETO?!?
(Tampa PEgang Toto, bogO!!!)

Cerpen Kevin Mikael Eman: "Kematian Tuhan".

Langit mendung kala itu.
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.

Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.

Cerpen Grace O'Nelwan: "Peri Kenangan yang Tinggal di Akar Pohon di Taman Keabadian".

.
(Grace O’Nelwan)

Kisah ini berawal dari sebuah taman. Taman indah yang bernama “Taman Keabadian”, tempat para penyair berkumpul dan menghabiskan waktu mereka untuk bertemu dan berdiskusi dengan sesama penyair yang lain. Tapi “Taman Keabadian” hanyalah awal kisah saja, karena bukankah segala sesuatu harus mempunyai awal. Dan seperti hal - hal lain yang juga memiliki awal dan awal adalah hal yang penting dalam suatu peristiwa, maka awal kisah ini juga penting untuk dibaca. Jadi, dianjurkan untuk membaca kisah ini dari awal.


Sebuah Taman yang Dipenuhi Pohon Buku
Ada sebuah taman kecil yang dipenuhi pohon-pohon buku, (yah benar, yang aku maksudkan adalah pohon-pohon yang berbuah buku-buku). Pohon-pohon itu hanya tumbuh di taman milik seorang penyair yang baik hati, yang selama hidupnya tak pernah kaya dan selalu sendiri. Bukan karena tidak bisa menjadi kaya, tapi karena memang tidak berniat untuk menjadi kaya. Pernah dalam hidupnya dia mendapatkan 1 kesempatan besar untuk menjadi kaya raya, lebih kaya dari raja Midas. Menurut cerita yang dapat dibaca dari salah satu buku yang tumbuh di dahan pohon dalam tamannya, dulu sekali Dewi Juno, sang Ratu Angkasa pernah datang mengunjunginya. Dewi Juno sangat terkesan dengan sebuah syair yang ditulis penyair tadi. Sebuah syair sederhana yang menceritakan tentang bagaimana damainya hidup di Negeri Awan Biru, sebuah negeri yang megah indah di angkasa yang berdiri diatas gumpalan-gumpalan awan dan di pimpin oleh seorang Ratu cantik yang arif bijaksana. Tentu saja, Dewi Juno sangat tersanjung.
Di suatu sore setelah hujan turun Dewi Juno yang cantik berkenan mengunjungi sang Penyair. Berkendara kereta kencana yang ditarik Pegasus, dibalut pakaian indah yang bergelombang warna-warni dengan kepala dihiasi sebuah mahkota emas bertaburan mutiara dan sebuah tongkat emas berukir burung elang berada ditangannya. Dewi Juno memasuki rumah tua sang penyair, didampingi peri-peri pelangi yang bertugas membukakan jalan untuknya. Tentu saja sang penyair terkaget-kaget, mendapati dirinya dikunjungi Dewi Angkasa. 1 permintaan dihadiahkan sang Dewi untuk sang penyair.

“Katakanlah keinginanmu, apa saja, dan aku akan mengabulkannya.”

Sang penyair, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk syair-syairnya, tak mempunyai keinginan apa-apa selain mengabadikan pemikiran dan pengalamannya. Karena itu dia hanya meminta dibuatkan sebuah taman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon. Tapi bukan pohon buah-buahan (karena dia tidak takut kelaparan) ataupun pohon yang dapat berbuah emas (seperti yang kukatakan tadi, dia tidak berniat untuk menjadi kaya). Dia hanya menginginkan pohon-pohon yang dapat berbuah buku yang lahir dari pemikirannya, lahir dari pengalamannya. Pohon-pohon yang dapat membantu dia dan memudahkan dia untuk menyimpan kenangan dalam bentuk tulisan. Walaupun terkejut dan merasa aneh, Dewi Juno mengabulkan keinginan sang Penyair yang baik hati ini. Dalam sekejap mata, sebuah taman dengan pohon-pohon yang berbuah buku, terbentang indah didepan mata sang penyair. Pohon-pohon dengan akar kuat yang menancap ketanah, dengan dahan-dahan kuat yang menampung beragam buku-buku. Walaupun daun yang menutupi pohon-pohon di taman itu sudah bereinkarnasi ratusan kali, tetap saja, tak ada sebuah bukupun yang jatuh dan lepas dari tangkainya.
Seiring dengan bertambahnya waktu, buku-buku di pohon itu makin bertambah. Yah, karena setiap kali sang Penyair mengalami sesuatu hal, sebuah buku baru akan muncul dari pohon di tamannya, bila sebuah ide melintas di otaknya, sebuah buku yang lain akan keluar dari ujung-ujung cabang yang di lindungi daun-daun berwarna kuning dan coklat. Setelah sang Penyair meninggal dalam kesendirian 179 tahun yang lalu, pohon-pohon di tamannya berhenti mengeluarkan buku. Tapi buku-buku yang ada di taman itu tetap ada disana. Tidak membusuk seperti lazimnya buah-buah yang lain. Tetap abadi bersama pikiran dan kenangan penyair yang baik hati tadi. Bertahun-tahun lewat, banyak sekali penyair dari seluruh dunia yang datang ke taman berpohon buku tersebut, untuk menemukan kearifan dan rahasia kehidupan di dunia lampau lewat pemikiran penyair tadi. Untuk mengenang sang Penyair, mereka menamakan taman itu “Taman Keabadian”


Dua Penyair Muda dan Segelas Kopi
Ada dua orang penyair muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon buku, di Taman Keabadian.”
Diatas meja kecil, yang dengan sengaja diletakan di bawah pohon, ada gelas besar berisi kopi panas. Dinginnya udara di taman dan panasnya kopi, membuat uap putih yang melingkar-lingkar keluar dari mulut gelas tadi.
“Ah, dari kumpulan cairan hitam, keluar asap putih. Ajaib!” gumam salah seorang dari kedua penyair tadi. Tangannya langsung mencoret-coret kertas putih dipangkuannya. Dalam hitungan detik, sebuah puisi yang terinspirasi dari kopi hitam dan asap putih yang melingkar keluar dari kopi telah selesai dia tulis. Tanpa diminta dia membacakan puisinya:

Dalam kumparan kegelapan
Menembus kabut putih yang pekat
Kureguk nikmatnya kelam
Di tengah manisnya malam

Selesai membacakan puisinya, dia menatap penyair kedua dan bertanya,”Apa pendapatmu?”
Hanya sebuah hembusan nafas keras yang diterimanya sebagai jawaban. Penyair kedua, yang kelihatannya lebih pendiam, sedang berkutat dengan sebuah usaha yang sia-sia. Kedua tangannya sibuk menangkap uap-uap putih yang mengepul. Sunyi sesaat dan penyair kedua membuka mulutnya,” Uap putih ini ibarat kenangan. Membuat gambar dan bentuk dalam sekejap, detik berikutnya akan berbaur dengan udara dan waktu, untuk kemudian hilang, lenyap, dan yang tinggal hanyalah kehampaan!”

“Apa yang kau tahu tentang kenangan?.” Penyair pertama kini meniup-niup mulut gelas berisi kopi, membuat uap putih dengan bentuk-bentuk abstrak berliak liuk dengan genitnya. “Kita berada di “Taman Keabadian” yang termasyur, semua kenangan tertulis dengan rincinya pada setiap buku yang bergelantungan di pohon-pohon ini. Bagaimana bisa kau samakan kenangan dengan kehampaan?”

Penyair kedua yang tadi sibuk menangkapi uap-uap putih, kini meluruskan badannya. Kedua tangannya dia letakan menyilang di atas kepala, dan berkata seolah-olah pada dirinya sendiri,” Benarkah semua kenangan telah terkungkung abadi dalam buku-buku sang Penyair? Tak adakah kenangan yang terlewati dari keabadian tulisan dan menguap menjadi sebuah kehampaan? Atau tak adakah kenangan yang dengan sengaja dilupakan dan dibiarkan lalu bersama angin?”

Penyair pertama memandang temannya dengan pandangan jengkel,” Tak baik bila kita terus berdebat.” Katanya lagi. “Lebih baik kita membaca bersama kisah yang diperuntukan untuk kita hari ini.”

Dengan tangan kirinya, dia menyentuh satu dahan pohon, meraih sebuah buku. Saat tangan sang penyair menyentuhnya, dengan lembut dahan kokoh itu merendahkan tubuhnya dan membiarkan buku yang diraih penyair pertama tadi mencapai meja. Angin membantu kedua penyair membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Dan matahari yang tadinya malu-malu mengintip lewat celah daun-daun membacakan sebuah kisah yang ditulis dalam lembaran-lembaran tersebut. Kisah tentang sebuah permintaan.


Sebuah Kisah Dari Sebuah Buku di “Taman Keabadian”
Ini adalah kisah yang dibacakan matahari kepada dua penyair dari sebuah buku di “Taman Keabadian”
Di Rumah Kaca
Prolog:
Kutuliskan pada selembar daun
“Disini terbaring hati yang telah mati”
Daun ditiup angin..
Terbang tinggi… menghilang….(entah ke mana..)
****
Bagian I
Kemarin, di rumah kaca,
Dia datang, membawa kopi hangat dan selusin donat
Duduk didepanku, dan berkata
“kau adalah cermin diriku..”

Kemarin, di rumah kaca,
Berteman kopi pahit dan donat manis
Aku duduk diam mendengarnya bercerita,
Tentang pahit, tanpa manisnya cinta..

Tak akan ku bertanya “Mengapa”
Tapi ku tahu engkau terluka
Akupun pernah merasakannya
Terluka dalam yang tak berdarah,
Perihnya merobek jiwa, sakitnya tak terhingga.
Tak akan ku bertanya “Siapa”
Tapi ku tahu ‘dia’ orang tercinta
Akupun pernah mengalaminya
Ketika memberikan seluruh hatiku,
Kemudian menemukannya, membeku teraniaya.

Kemarin, di rumah kaca
Setelah kopi dan donat habis
Kubiarkan dia melanjutkan kisah,
Tentang keberanian hati yang pernah terluka

Aku tak tahu apa yang kau rasakan
Tapi aku tahu rasanya “ingin mati”
Jangankan bertemu penderitaan
Kebahagiaanpun terasa menyakitkan
Aku tak tahu apa yang kau inginkan
Tapi aku ingin memberimu cinta
Cinta yang juga dulu pernah terluka
Saat mencintai dengan buta
Aku tak tahu apa yang kau harapkan
Tapi aku harap kau menerima hati ini
Hati yang penuh tambal sulam
Dari kisah yang selalu tak indah


Bagian II
Hari ini, di rumah kaca
Dia datang tanpa kopi hangat dan donat
Duduk di depanku dan berkata
“aku membawakanmu cinta”

Hari ini, di rumah kaca
Tanpa kopi pahit dan donat manis
Dia duduk diam didepanku
Mendengar kisah hati yang telah mati.

Hatiku telah menemui ajalnya
Ketika dia terluka dan terluka lagi
Luka tak berdarah yang ternyata parah
T’lah kukuburkan hatiku
Pada sebuah daun
Dan kuluruhkan bersama angin
Tak kusesalkan matinya hati
Karena hati selalu rapuh.
Semuanya lebih mudah, tanpa hati.

Hari ini, di rumah kaca
Dia merogoh kantongnya
Daun yang diterbangkan angin,
Kini dalam genggamnya.

Kau mengira hatimu benar-benar mati
Sehingga luka cinta tak terasa sakit lagi
Tapi percayalah
Hatimu hanya membeku, bukan mati
Dan cinta dapat mencairkan kebekuannya

Hari ini, di rumah kaca
Tanganku dalam genggamnya
Dalam hening kudengar dia berkata…
“aku bisa membuktikannya”
****
Epilog
Kutuliskan pada selembar daun
“Maukah kau menungguku?”
Daun ditiup angin,
Terbang tinggi… (kini ku tahu kemana.)
Dan tiba-tiba hening… Kedua Penyair menanti matahari untuk melanjutkan kisah.

“ Ayolah matahari, ceritakan pada kami, bagaimana akhir kisah ini?” pinta kedua penyair tadi.

Tapi matahari tak lagi melanjutkan kisah, karena kisah ini memang hanya berakhir di sini saja. Mataharipun meminta diri untuk membacakan kisah yang lain bagi penyair yang lain. Kedua penyair yang tak merasa puas dengan kisah yang menurut mereka belum tuntas, ingin melanjutkan kisah itu sendiri.

“Menurutmu, apakah dia akan menunggunya?” Tanya penyair pertama kepada temannya.

“Sanggupkah orang menunggu tanpa batas waktu?” Jawab penyair kedua.

“Jadi menurutmu, dia tidak akan menunggunya?” Desak penyair pertama

“Adakah kemungkinan, dia yang meminta untuk ditunggu, malahan tak pernah datang?”

Penyair pertama menjadi kesal kepada temannya yang selalu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. Dia memilih untuk tidak bertanya lagi. Kesunyian kemudian hadir diatara mereka, dan makin melingkupi mereka. Mata kedua penyair itu semakin berat, dan akhirnya mereka tertidur dibelai angin senja.



Kisah Kenangan Yang Tahu Segala Sesuatu
Namaku kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Dan aku tahu akhir kisah cerita Di Rumah Kaca yang dibaca oleh kedua orang penyair tadi. Kisah itu adalah potongan awal dari sebuah penantian panjang sang penyair pemilik taman ini.

Aku ingat, saat penyair pemilik ‘Taman Keabadian’ masih muda, pernah dia mencintai seorang gadis malang, yang selalu saja kehilangan. Penyair yang baik hati ini menemukan sang gadis ketika sang gadis sedang sekarat. Hati gadis malang itu telah membeku, penuh luka dan bekas luka yang masih terlihat dengan sangat jelas. Bukti nyata atas kepedihan dan kehilangan yang selalu dialaminya. Dengan sepenuh jiwa dibalutnya luka-luka hati sang gadis dengan hatinya sendiri, dan dibuatkan puisi-puisi pengobat duka. Melihat kebaikan hati sang penyair, gadis inipun mengumbar sebuah janji; ”Tunggulah aku, sampai luka cinta ini sembuh, dan aku akan mencintaimu.” Tapi setelah luka hati sang gadis sembuh, saat perihnya duka hilang, sang gadispun menghilang… Bertahun lewat sampai saat Dewi Juno datang memberikan hadiah 1 permintaan pada penyair, tapi gadis yang dia sembuhkan luka hatinya tak pernah kembali.


Saat Dewi Juno mengunjungi sang penyair, aku berada didekatnya, berbaur dengan udara yang dihirupnya, masuk kedalam hatinya dan memaksa penyair ini untuk meminta Dewi Juno menghadirkan gadis punyaanya. Tapi dia tidak mau mendengarkan kata hatinya. Aku tak menyerah. Akupun berenang bersama darah dan menembus otaknya, dan memaksa sang penyair untuk meminta kekayaan dunia, tapi sang penyairpun tak mendengar otaknya. Dia hanya mengikuti keinginannya. Karena itulah Sang penyair lebih memilih dibuatkan Taman Keabadian. Taman tempat dia mengabadikan sebagian kenangan dalam kehidupannya. Yah.., bukan semua kenangan yang dia abadikan, seperti yang dipikirkan orang-orang. Penyair kedua itu benar. Ada bagian peristiwa dalam hidup sang penyair pemilik taman ini yang tak dia abadikan dalam buku-bukunya.


Kalian tentu merasa heran, dari mana aku mengetahui semua hal ini. Tidak… aku tidak bermaksud sok tahu. Ingat, aku adalah kenangan itu sendiri, yang selalu hadir dalam setiap kejadian dalam perjalanan hidup manusia. Aku hadir dalam setiap helaan nafas dan selalu meninggalkan jejak dalam setiap peristiwa. Aku adalah ingatan tentang kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ingatan akan kebersamaan dan juga kesendirian. Manusia sering mengira bahwa aku berwajah dua; Kenangan Indah dan Kenangan Buruk. Tapi sebenarnya tidak. Aku tak memiliki dua wajah dan aku tak pandai merubah wajah. Manusialah yang merubah wajahku dan kemudian menamaiku sesuai dengan keinginannya; yang ingin diingat dikatakan Kenangan Indah, dan yang ingin dilupakan dinamakan Kenangan buruk.
Sang penyairpun pernah menamakan aku Kenangan Buruk. Dan dengan sengaja dia coba menghilangkan ingatan akan sang gadis malang dengan luka hati yang berhasil dia sembuhkan. Gadis yang menghilang dengan meninggalkan sebuah janji “tunggulah aku, … aku akan mencintaimu.” Sang Penyair berusaha keras mengusirku dari ingatannya. Menekanku kepojok-pojok gelap ruang ingatan. Tapi seperti biasanya, aku tidak mudah menyerah. Aku berupaya sedemikan kerasnya untuk tetap berada dalam ingatanya. Kulingkarkan erat tanganku dalam ingatanya. Aku menjadi gurita kenangan. Makin keras dia mengusirku, makin ketat aku menggengam ingatannya.
Sang penyair akhirnya mengaku kalah, dan membiarkan aku tetap dalam ingatanya, hanya saja dia tidak bersedia mengabadikanku dalam tulisan-tulisannya. Tapi aku selalu abadi, dan terus tinggal bersama dengan sang penyair dalam tidur abadinya.


Sekali lagi aku adalah Kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Aku juga tahu kisah kedua penyair yang kini sedang tidur lelap di Taman Keabadian. Dan, oh yah, bukan itu saja, aku juga tahu tentang kisahmu….



(Tomohon, Desember 07 – Januari 08)
Menghapus kenanganan adalah sebuah kesia-siaan