Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Fredy Sr. Wowor: "MENGARTIKAN FESTIVAL-FESTIVAL SENI BUDAYA SULAWESI UTARA"

Salah satu fenomena budaya yang mulai muncul pada kisaran tahun 2006 lalu adalah diadakannya beberapa simposium budaya yang menekankan pada penggalian seni-seni tradisi di Sulawesi Utara

Seperti Maengket, Kabasaran,Kolintang,Tari Jajar, Mahamba, Tari kabela dan Musik bia. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan pengadaan festival-festival seni budaya yang diadakan di hampir seluruh wilayah Sulawesi Utara yang melibatkan peserta yang sangat banyak dan dicatat dalam museum rekor. Selain itu juga diadakan penerbitan buku sejarah dan bahasa.

Adapun organisasi yang menjadi fasilitator dari penyelenggaraan iven-iven budaya ini adalah Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Institut Seni Budaya ini dipimpin oleh seorang putra kawanua bernama Benny J. Mamoto.

Menjawab beberapa pertanyaan tentang keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan budaya ini, dia mengatakan dalam pidato refleksi akhir tahun 2007 di gedung Pingkan Matindas, Pertama,Selama seperempat abad ini, saya menekuni secara optimal profesi sebagai seorang polisi, aparat hukum dan kamtibmas, selama menjalani tugas profesional inilah saya menjadi orang yang sangat menyadari mutlak pentingnya faktor budaya. Betapa banyak problem sosial dan hambatan dalam penegakan hukum yang berpangkal dari masalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Kedua, karena sebagai anak keturunan Minahasa Sulawesi Utara yang tumbuh di rantau, saya ingin menikmati kehangatan akar budaya dan menerima kekayaan batin dari kebudayaan yang luhur ini. Apakah salah jika saya ingin lebih dekat dengan kebudayaan leluhur saya sendiri? Adakah sesuatu yang bisa mencabut hak azasi saya di bidang kebudayaan ? Ketiga, sebagai seorang anak yang menghargai amanat orang tua, saya berusaha memenuhi pesan orang tua untuk tidak lupa dengan tanah leluhur dan dengan sadar memberikan perhatian terhadap tanah leluhur saya di minahasa di sulawesi utara.

Apa sebenarnya arti dari semua kegiatan ini, bila dikaitkan dengan eksistensi perkembangan Seni Budaya di Sulawesi Utara?

Pendapatku, pertama,kehadiran seorang Benny J. Mamoto secara pribadi yang dengan sadar dan penuh inisiatif melibatkan diri dengan memberikan perhatian, waktu dan dana dalam kegiatan-kegiatan seni budaya di Sulawesi Utara, telah mengisi salah satu ruang paling mendasar dalam proses perkembangan kebudayaan yaitu posisi Maicenas atau pemerhati dan pemberi dana untuk menunjang kegiatan seni budaya. Pilihannya menjadi maicenas ini, membuktikan keseriusannya untuk terlibat dalam kegiatan budaya di Sulawesi Utara karena hanya orang yang benar-benar mengamati perkembangan seni-budaya di sulawesi utara ini yang akan melihat bahwa celah yang kosong dalam peta seni-budaya kita adalah tidak adanya maicenas yang secara konsisten menunjang aktivitas-aktivitas para pekerja seni dan budaya, padahal kalau kita mau mengamati perkembangan seni budaya di seluruh dunia maka kita akan melihat betapa berarti dan pentingnya peran maicenas dalam mendinamisir aktivitas-aktivitas seni dan budaya. Di Cina misalnya sejak masa negara-negara berperang, Raja-raja muda yang menguasai benteng atau wilayah tertentu dengan sadar menjadi pendukung aktivitas para seniman bahkan dengan penuh inisiatif mengundang mereka untuk tinggal dan berkarya di wilayah atau bentengnya. Situasi ini tidak beda jauh dengan kondisi di Jepang dan India (Baca: Kisah Musim Semi dan Musim Gugur karya Kong Fu Tsu, Kisah Tiga Negara karya Lo Koan Tjung, Taiko karya Eiji Yoshikawa, serta Mahabrata dan Ramayana). Di Minahasapun situasinya dahulu tidak jauh berbeda karena sampai kisaran tahun 1800-an, sebuah Tumpukan Kabasaran di Minahasa akan dibiayai aktivitasnya oleh Walak yang bersangkutan.

Kedua, Pembentukan sebuah Institut Seni-Budaya di Sulawesi Utara sebagai lembaga dinamisator sekaligus pusat pendidikan dan pengembangan seni budaya membuktikan bahwa usaha pembangunan seni budaya ini bisa berlangsung terus menerus dan terarah. Pentingnya sebuah institut atau lembaga dinamisator sejenis dalam menunjang aktivitas seni budaya dapat kita lihat misalnya di Jerman dengan Bauhausnya dan Sekolah Frankfurt, Rusia dengan Moskow art Theatrenya, Amerika dengan Federal Theatre Project dan Esalen Institut, Inggris dengan Centre of Cultural Studiesnya.

Ketiga,pilihan untuk menemukan kembali nilai-nilai berharga dari masa lalu melalui penggalian akan seni-seni tradisi baik melalui simposium, penerbitan buku sejarah dan bahasa maupun festival seni budaya yang dilakukan secara masal membuktikan bahwa upaya pengembangan seni budaya yang dilakukan berhulu dari kesadaran akan keberadaan diri sendiri dan bermuara pada usaha untuk menegakkan identitas.

Apa yang saya lakukan bersama teman-teman dengan mengedepankan segi kuantitas, seperti sejumlah rekor MURI untuk berbagai cabang seni tradisional secara massal, tak lain dari semacam upaya untuk membangun kesadaran dan ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya adalah satu faktor. Seni budaya kita ada. Seni budaya adalah bagian eksistensial diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja”, demikian Benny J. Mamoto mengatakan dalam sebuah dialog budaya di gedung Pingkan Matindas akhir tahun 2007 yang lalu.

Upaya menegakkan identitas dan melawan pelupaan memang merupakan pilihan yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi sebab bila kita lalai maka bola globalisasi akan melindas dan menghomogenisasikan kita. Pada saat itu kita tidak lebih nilainya dari bangkai-bangkai yang berjalan.

Pada akhirnya waktulah yang akan menentukan arti dari semua ini, karena paling tidak satu hal telah dimulai. Satu langkah pasti untuk menegakkan identitas.

* Sastrawan, Aktif di Teater Kronis Manado

Sekarang Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unsrat

0 komentar: