Menyambut terbitnya buku kumpulan puisi
Jangan Malu Pada Sepi, Karya Dean Joe Kalalo
Dean Joe Kalalo kembali meramaikan geliat sastra di Sulawesi Utara dengan meluncurkan Jangan Malu Pada Sepi. Sebuah buku kumpulan tunggal puisi–puisi yang mencatat jatuh bangun proses kreatifnya selama ini. Sebuah manifestasi dari permenungan–permenungan panjang dan melelahkan, yang berhasil di tintakan keatas sebuah kertas. Dean kembali hadir dan memberi nilai lebih dengan menyajikan kehadapan kita, kumpulan kata–kata yang romantis dalam bentuk puisi.
Jangan Malu Pada Sepi berisikan 42 puisi dengan tebal 77 halaman, merupakan bukti eksistensi seorang muda yang bergelut dengan keresahan – keresahannya, namun tidak tenggelam kontemplasi tanpa hasil. Namun lebih dari itu, Dean berani untuk membagi pengalaman – pengalaman hidupnya kepada publik. Berani untuk keluar dari persemediannya setelah ia menganggap bahwa pengalaman – pengalaman yang telah mengendap di dasar hati dan telah menjadi embrio kata, kemudian dengan kesadaran penuh memberikan kesempatan kepada publik/apresian sastra Sulawesi Utara untuk menilai, menanggapi, memberikan kritik ataupun pujian. Tapi akan lebih tepat jika kemudian, Jangan Malu Pada Sepi menjadi cermin bagi kita untuk memberi waktu melihat diri sendiri.
Anda akan menemukan kegetiran kata karena hitamnya masa lalu. Anda juga dapat bersua dengan pahitnya huruf yang terangkai. Juga ada kelam hati karena cinta yang gugur, tapi ada juga senandung harap yang tak kunjung layu., kemarahan yang menggelegar ataupun sendu karena asa yang terjatuh kebumi. Semuanya dapat ditemukan dalam keseluruhan buku ini.
Ada satu hal yang harus digaris bawahi oleh khalayak apresian sastra di Sulawesi Utara ketika memberi ucapan selamat datang kepada Jangan Malu Pada Sepi. Yaitu bagaimana upaya gigih dari seorang Dean Joe Kalalo untuk terus berkarya di tengah arus iklim kesenian yang boleh dibilang sangat meyedihkan. Sebuah kerja keras pantang menyerah yang kemudian menghasilkan ketulusan niat dalam berkarya dan berproduksi untuk memajukan dunia seni di Sulawesi Utara.
Sang penyair sendiri sempat berujar kepada saya, kalau kumpulan puisinya yang pertama adalah manifestasi semangat kemudaannya. Semangat yang dalam ketakutan sang penyair, tak akan mungkin singgah lagi ketika umur manusia bertambah dewasa. Dan karena ketakutan itulah, maka sang penyair memutuskan untuk membukukan karya-karya puisinya agar tak hanya berakhir sebagai goresan kata di atas kertas yang tak bermakna. Karena apalah guna menulis sebanyak mungkin, jika kemudian itu hanya akan tetap berakhir seperti kertas kosong.
Buku puisi ini diterbitkan oleh 9 SOCIETY ART & TECH bekerja sama dengan Theatre Club fakultas Sastra UNSRAT. Dengan bantuan Dr. Gretha Liwoso Carle (Dosen Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi, Guest Lecturer Departement Asian Africa Institute, University of Hamburg, Germany) memberikan kata pengantar dan Fredy Sreudeman Wowor, SS untuk epistelariumnya. Juga dibantu oleh Greenhill Weol untuk desain sampul.
Buku ini tidak dalam upaya untuk menerbitkannya, tidaklah lepas dari sebuah kesadaran bersama untuk saling menopang dan meringankan tangan untuk saling bantu. Meski sentralisme dan elitusme dunia penerbitan Indonesia bellum juga hilang, namun Dean menjawab itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa berhasil jika diupayakan. Menerbitkan buku dengan modal terbatas namun berkualitas adalah mungkin karena Jangan Malu Pada Sepi telah membuktikan itu.
Menyimak beberapa komentar awal dari para seniman lain di cover belakang buku mengenai Jangan Malu Pada Sepi membuat kami yakin untuk dengan berani menyarankan anda agar membeli buku ini. Terutama kepada semua yang mengaku sebagai orang yang romantis, buku ini adalah referensi wajib. Sebab, dari tepi pasifik di awal tahun 2008, telah hadir seorang penyair romantik kontemporer dalam karya sastra yang dengan lantang berteriak “torang disini ada trus !”
Tabea Waya e Karapi!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
SEMANGAT KAUM MUDA DALAM KATA (Report by : Andre GB)
CERPEN KARYA HESTY "OP'S" ELIAS dengan judul "AKU DAN ZALOME"
Kami bercinta pada detik ini. Bertelanjang dan membiarkan tubuh kami hanya dibungkus dengan udara sembari kamipun berkoitus dengannya. Dan telah beberapa juta detik kami telah bertelanjang hari, Aku dan perempuan ini, bertemu dalam detik yang kami lupa. Yang kuingat kami bertemu di suatu sore dan dia sedang membawa sekantong sampah yang hampir dilemparkannya padaku. Dan aku sedang menikmati hari yang hampir senja ketika melewati jalan yang sama, tak berapa jauh dari ruko tempat usaha ayahku. Segera, setelah basa-basi emosi, kami memutuskan tersenyum. Setelah itu, semua sampah telah kami buang bersama hingga tiba di detik ini. Dengan tidak membebani hati kami dengan emosi yang berat kami berpura-pura mau mati bersama dalam gairah ini. Hanya dengan senggama yang sengaja, kami lelahkan jiwa di setiap regangan orgasme yang tiba di beberapa detik, sebelum dia menggeliat puas, lalu dia pergi ke dunianya. Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Perempuan yang mengangkat kedua kakunya setelah mengangkang di bawah perutku ini adalah satu-satunya perempuan yang namanya tidak pernah kusebutkan dengan benar, Zalome – itu yang pernah kusebutkan dengan benar setelah dia menggambar senyum di bibir yang merah itu, jika secara tidak sengaja kupanggil dia dengan Mome itu karena teman-temannya sering memanggilnya Momi, Momo atau apalah yang sejenis itu. Entah apa artinya, aku tidak pernah menanyakan artinya apa, tapi sudah tersirat dengan jelas dia senang dipanggil Mome. Dari setiap kesalahanku sering kusebutkan dia dengan Moment, yang seperti momen ini, dia masih terbaring telanjang dengan wajah polos tak berdosa dan tak perawan.
“Aku tahu, Tuhanku pasti terharu melihat percintaan kita,” kata-kata ini menyela lamunanku. Dia bahkan lebih kokoh dari keyakinannya itu, lebih kuat dari keyakinanku bahwa Tuhan yang aku percaya adalah pemurah seperti Tuhannya.
“Sampaikan salamku pada Tuhanmu! Sudah kau katakana padaNya kalau aku menginginkanmu lebih dari Dia?” aku terenggah pada akhir tanya ini, sedikit tersekat di rongga paling sesak di dunia yaitu rongga terlembut miliknya. Dia mengerang, lalu mengukir senyum dengan sedikit tawa.
“Dia pasti cemburu padamu.”
Aku tak mengerti apa arti senyumannya itu, kucoba mencari jawabnya dengan menciumnnya. Tapi, Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Aku menarik dadanya ke bibirku hingga kutelan kembali gunung-gunung yang sekiranya dapat kudaki dengan lidah basah. Sedangkan airmata yang basahi setiap hasrat ini tak mampu melangkahkan kakiku ke gunungnya. Dia adalah gunung yang tak pernah kutemui puncaknya, dan mungkin dia adalah awan yang menggelantung di sana sehingga aku tak bisa menggapainya. Dia terlalu tinggi untuk kucapai hanya dengan sekedar koitus sore ini. Ada apa denganku, gunung yang kutahu tak ada puncaknya ini adalah justru yang telah menarikku mendakinya dengan ajaib. Aku tak pernah bermimpi menuruni gunung ini atau bahkan berhenti bermimpi bahwa gunung itu tidak ada. Gunung yang lekuk selangkangannya sudah terekam di seluruh organ tubuhku, yang setiap aroma tubuhnya telah membangunkan ku setiap pagi, yang setiap hentakannya membangkitkan aku dari kematian, yang setiap pemandangannya membuka mataku dan menyadari bahwa masih ada dunia di mataku. Tidak ada yang lebih luar biasa dari ini, aku kasmaran dan tersesat disini. Atau aku bagai anak sungai yang patuh mengalir mengitarinya, tetap setia merespon setiap kali dia memenuhi kanal-kanal keringku dengan air yang didapatnya dari hujan. Gunung itu, tidak pernah kubayangkan jika Tuhan tak mengijinkan airnya beranjak padaku.
Aku mengingat dia pernah terkejut ketika kukatakan,
“Mome, aku pasti mati jika kau meninggalkan aku.” Dia menatapku dan hawa kebenaran ada di irama tuturnya.
“Aku tak akan menangis kalau kau mati, karena aku tidak mau mati sepertimu, itu bodoh, Lelakiku! Karena aku hidup, maka kaupun harus hidup! Pandangan hanya membutakan hati kita. Pindahkan mata itu di hatimu, agar jika kau tak melihatku kau masih yakin aku ada di dekatmu! Matamu yang sekarang kau gunakan masih menerjemahkan hal-hal naïf ke otakmu seperti hal perpisahan. Perpisahan tidak akan membunuhmu, aku, kita!”
Aku terdiam, dia selalu benar. Setelah pergi aku baru bisa memahami seluruh maksud emosinya. Oleh karena itulah aku pernah mau bunuh diri ketika berusaha menenangkan hatiku saat bersamanya suatu ketika sebelum kami benar-benar bercinta. Pembenarannyalah yang menyadarkan aku dari setiap kesalahan yang kukemas bertahun-tahun. Masalah cintaku yang patah, hati yang luka, dia tidak pernah datang mengobatinya tapi dia datang mengangkat semua luka itu dan membuangnya jauh-jauh dari hatiku. Aku bahkan lupa kalau aku pernah jatuh cinta dan luka sebelum mengenalnya.
“Siapa laki-laki yang pernah mencintaimu, Mome?”
Dia tersenyum lagi, “ Hanya kau. Dere!”
Akupun tersenyum, apa bahagia sekejab merasukku atau aku terlalu pura-pura percaya dengan ucapannya. Jelas aku tidak percaya.
“Jangan kau paksa aku untuk percaya, Mome-ku!”
“Hanya kau yang pernah mencintaiku seperti ini!”
“Tapi yang lain mencintaimu dengan cara lain, bukan?Yang mungkin lebih hebat dariku?”
“Kau berbicara tentang harga sebuah cinta, Dere? Atau kau berusaha mendramatisir cemburumu?” Aku diam.
“Katakan berapa harga cintamu?” dia mengejar pikiranku. Lalu menghilang di akhir tanya itu.
“Aku hanya ingin kau berbagi semuanya. Kita tak perlu menjual milik kita!”
Dia menggeleng perlahan dan matanya menerawang mencari jawab atau sedang menyulam emosiku kembali.
“Aku percaya dengan benar keberadaaan kita di surga tapi saying sekali cinta yang kita rasa ini hanya di dunia ini! Aku berterima kasih pada Tuhan aku hidup di dunia dan mengenalmu, ah, jika saja neraka punya cianta, aku akan menemuimu di sana. Itu kalu kita bisa mengajukan petisi pada Tuhan kita. Memang di surga kita tidak bisa lagi bercinta seperti ini tapi setidaknya aku masih bisa punya tempat untuk mengenangmu dengan baik!”
“Aku tahu benar aku mencintaimu, Mome! Tapi… aku sungguh tidak tahu apakah besok kau masih rela kucinta!”
Dia tertunduk, yang jelas bukan karena malu atau sedih.Mome tidak pernah menangis untuk sebuah argument percintaan seperti ini.
“Ketika aku berkelana mencari arti cinta sebenarnya, Tuhan menunjukan aku jalannya. Dan ketika aku tiba di sebuah tujuan, kau yang ada di sana.. atau ini masih persimpangan, bukan tujuan?”
Baru kali ini dia bertanya padaku, yah, perempuan ini baru saja tiba pada kegundahan yang telah kupijak selama tujuh ribu dua ratus detik. Tak bisa kujawab kegundahannya, kami kini tiba di ruang yang kosong tak berjendela dan tak berudara. Dengan Tuhan yang berbeda, kami punya nafas Cinta yang sama. Apakah ini berarti bahwa Surga kami juga sama? Kami tidak punya jawabnya. Lalu, Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Tak tentu memburunya, kami bertarung dengan udara sore ini. Jika ada pertarungan yang lebih hebat dari Perang Pandawa dan Kurawa itu pasti pertarungan kami ini. Kami bertarung sejak sejam yang lalu dalam peluh, gairah yang membeludak, berujar dalam rintih, mengerang mencari sesuatu yang hilang, kami mencari jawab akan kegelisahan yang teramat menyiksa ini. Kami bergiat menemukannya dalam desahan hasrat yang berlomba meyakinkan keyakinan masing-masing. Walau aku masih belum bisa tahu apakah ada matahari yang bersinar esok hari, tapi ZALOME adalah matahariku pada detik ini. Telah kukunci tanya itu di pelupuk mata kala kutatap dia lekat. Kali ini dia menciumku, dari bibir yang kuerati ini menceritakan segala kisah yang bergejolak di dalam hatinya. Aku tahu, Mome, betapa kau sangat mencintaiku dan apakah Tuhanmu tahu bahwa ciumanmuu lebih dahsyat dari badai yang Dia tenangkan? Tahukah Tuhanmu bahwa hatimu lebih tulus dari mukjizat yang dilakukan para pendeta yang mengaku utusanNya? Aku tahu ini, bukan dengan koitus yang kuanggap ritus tersuci, ketika rongga vaginanya menjepit jantungku, atau ketika lidahnya menelan jiwaku, bukan, tapi dari matahari dan bulan yang bersinar dengan cemerlang bahkan ketika kami tidak berbicara tentang Eros, tapi ketika kita berbicara arti tentang setiap nafas yang kita pinjam dari surga untuk bertahan bercinta persis seperti ini.
“Ceritakan aku tentang Tuhanmu!” pintaku suatu kali. Dia berhenti menulis puisi, puisi itu selalu untukku, menoleh ke arah mataku dan menjawab dengan polos:
“Dia jauh lebih seksi darimu, Dere,” lalu tersenyum, dia menggoda gelak tawaku. Dan merasalah aku kalah.
“Bersama denganmu seperti berada di Surga kedua, namun kau bukan Tuhanku di sini!”
“Lalu aku apa?” aku memburu pikirannya, untuk menyenangkan diriku.
“Kau selalu menjadi Dewa bagiku!” aku belum terlalu senang, tapi cukup sumringah mendengar jawabannya.
“Lalu?Apakah Tuhanmu juga seksi, Dere?” kali ini dia bertanya dengan sedikit menggoda, dia menggoda imanku.
“Kau jelas lebih seksi dariNya tapi dia jauh lebih tenang ketika aku bercinta denganNya.” Dia tertawa. Lepas. Apakah dia bahagia ketika aku boleh terbebas dari pengaruh emosi terhadapnya dengan mengalahkannya dengan perbandingan tak setara Tuhanku? Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Sore ini adalah mungkin yang terakhir kami bertemu dan berkoitus. Aku dan Zalome, perempuanku itu, tidak pernah membayangkan bahwa hari esok adalah masih milik kami, jika saja Tuhan kami bisa bekerjasama dan menjodohkan kami. Mome pernah mengisahkan padaku kisah salah seorang raja dalam kisa-kisah kepercayaannya, yang jatuh cinta dengan seorang perempuan. Mereka jatuh cinta tapi tak bisa bersama, wanita itu memilih pergi untuk memerintah kerajaannya sendiri karena dia adalah seorang ratu yang punya tugas dan kehidupan sendiri, sedangkan raja itu memiliki kehidupan dan kerajaannya sendiri.
Mereka berpisah di satu saat ketika cinta mereka telah benar-benar matang tapi mereka enggan memakannya. Perempuan itu memilih kembali ke negerinya dan bukan hanya membawa kisah asmaranya tapi juga membungkus kisah kesan-kesan tentang Tuhan yang dimiliki oleh sang Raja. Sedangkan raja itu boleh menunjukan bagaimana cara Tuhannya mencintai manusia lain yang tidak menyembahnya dengan cinta yang dia punya bahkan kala Eros tidak sedang beremosi dengan mereka.
“Kisah kita sama dengan ceritamu, Mome!” selaku kala dia lengah berkisah.
“Mungkin!” tandasnya singkat, aku sedikit terperangah mendapati ketidakpastiannya kali ini. Perempuan ini hampir semuanya pasti, tapi ketika mengumpamakan dirinya dengan kisah percintaan salah seorang Nabinya, dia ragu. Atau dia hanya tidak ingin membuatku ragu dengan kisah percintaan kami. Yah, bukankah jika dia mengiyakan kemiripan kisah itu dengan percintaan kami, adalah sama juga meyakinkan aku bahwa kami harus berpisah. Dan, dengan jawaban ragu itu, apakah ada harapan yang harus aku bangun dengan mimpi ini?
“Mome! Bagaiman jika suatu hari nanti aku bertemu dengan Tuhanmu?”
“Jangan katakan padanya bahwa kita pernah bercinta, Dere!”
“Kau sangat menghormatiNya?”
“Aku belajar banyak darimu soal itu, Dere! Aku sangat menghargai mengapa Sidharta memilih bersendirian dan mematahkan hati putrid-putri di Istana yang selalu membayangkan akan kawin dengannya ketika mereka dewasa!”
Dia memuja Tuhanku juga. Dan akupun mengenal Tuhanya dari dia. Mome memancarkan sesuatu yang begitu jernih kulihat dari Tuhannya.Kadang-kadang kupikir bahwa kita adalah nabi-nabi yang dibiarkan Tuhan hidup tanpa wahyu, tapi kita punya akal budi dan naluri seutuhnya yang dapat menyampaikan pesan surga. Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Pernah suatu ketika usai menciumku, dia tergelak, aku termakan kebingungan sesaat, “Pernahkah kau pikirkan, harus pada siapa kita berterima kasih, pernahkah kau berterima kasih pada Tuhanmu karena mempertemukan aku denganmu?”
Aku menyentuh pipi pualam itu dengan ujung-ujung jari yang telah kurekatkan mata hatiku. “Aku yang seharusnya berterima kasih pada Tuhanmu karena telah mengijinkanmu bercinta dengan anak gadisnya. Mome kekasihku, ketika kau menyebut aku dewamu, aku sangat tahu Tuhanmu pasti cemburu, bukankah Tuhanmu tidak mengijinkanmi mendewakan yang lain?”
“Yah, kau benar, ternyata kau tahu benar Tuhanku Egois dalam hal ini, tapi kau lebih egois darinya untuk hal ini! Kau tidak mengijinkan aku mendewakanmu sedangkan kau menganggapku lebih terang dari sinar Tuhanmu, harusnya kau adalah Sidharta yang menyinariku saat aku dalam kegelapan seperti ini!”
Dia tahu betul tentang aku dan Tuhanku, sebaliknya aku. Tapi kami tidak tahu dengan pembenaran apapun perihal percintaan kami besok. Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Kami yang berbeda secara keyakinan, sore itu, usai sembahyang pada Tuhan, kami memutuskan dibawa lari oleh hasrat Eros. Sementara kutanggalkan kutang-kutang putihnya, aku minta maaf pada Tuhannya, tanpa kutahu bahwa aku akan dihukum setelah ini. Tuhan, jika Kau yang merajut kutangnya, biarkan aku kau jadikan kutang itu di kehidupan kedua, karena dosa ini. Aku telah melihat sebuah dunia yang lain, yang tidak pernah kulihat sebelumnnya. Dan bukan hanya kesenangan, aku telah melihat kesusahan iktu. Jika saja Kau adalah Tuhan yang sama yang dipercayai Mome-ku, tapi isi sembahyangku lebih banyak dijawab oleh arwah para nenek moyang yang membuat kuingin tahu bagaimana rupa perhelatan serta bagaimana penyerahan mereka ketika berhasrat mengejar orgasme. Saat ini, dapat kurasakan isi doa yang terlihat dari mata yang setengah tertutup itu, kecantikan yang lahir dari hati itu adalah abadi di hatiku. Perempuan yang berada dalam pelukanku ini telah memompa empat bilik jantungku dengan darah, membebaskan seluruh adrenalin dan merampok semua hormone penylethylamine-ku. Perempuan yang memeluk Tuhannya saat dia mengerati tubuhku ini, sangat tahu apa yang dilakukannya dan yang memahami bahwa ada perbedaan yang dibuat Tuhan untuk menyatukan manusia.
“Jika aku memilih hidup denganmu, harus ada di antara kita uang mengkhianti Tuhannya, aku tak ingin kita berbeda dalam hal apapun. Aku egois, Dere. Tapi jika harus berpisah sorga denganmu, aku tak mampu menyirami rasa yang aku punya. Kau harus mengerti ini, Ketika kita meilih harus bersama dengan jalan yang tak sama, hanya raga yang bahagia sedangkan jiwa kita bercerai, seperti berpelukan di atas jurang sempit tapi sangat dalam. Kalau toh kita berkeras berpelukan dan bercinta di sana, akan ada satu dari kita yang akan masuk ke jurang itu, atau tidak harus melangkah menuju sisi yang sama. Aku tak ingin kau meninggalkan Tuhanmu hanya karena emosi sementara yang kita punya ini. Begitu juga aku, Dere! Bercinta denganmu adalah hal yang terindah yang pernah aku rajut dalam seluruh jiwaku, tapi aku tak bisa memaafkan diriku jika melupakan cinta Tuhanku.”
Alibi yang paling kuat ketika dia menolak percintaan kami hari ini. Aku, terdiam dan jelas terhenyak dari mimpi yang teramat sangat kuagungkan. Aku kemudian mengangguk tanda mengerti sekaligus tanda memahami bahwa kami harus berhenti bercinta.
“Aku telah merencanakan hal-hal kecil yang menurutku bermakna tapi ternyata tidak perlu dalam hubungan kita!”
Aku lemas ketika harus kembali ke tempat di mana aku berada. Tempat yang kudiami tanpa Mome, yang tidak tertata apik seperti kamar ini, dengan dua jendela besar yang menganga ke Matahari terbit, dia buah kursi kayu duduk berdekatan di pinggir daun jendela, lampu kertas yang mati tepat di sudut ranjang, dekorasi sederhana nuansa coklat, sangat alami. Namun ruangan ini lebih agak gelap sore ini karena Matahari telah meninggalkan dua jendela yang selalu menanti sinarnya di pagi hari. Meski begitu, semua keraguan yang kami punya kini lebih jelas dan terang saat ini apakah karena kami telah merasa puas ketika berkisah tentang dua Tuhan yang kami punya, atau kami telah bercerita tentang dua jiwa yang lahir dari doa yang berbeda yang seketika bertobat dalam senggama?
“Aku ingin meyakinkan diriku bahwa kau juga adalah ciptaan Tuhanku dan aku berdoa padaNya untuk meminta dirimu darNya, tapi sangat kontras jika kaupun yakin bahwa aku adalah ciptaan Tuhanmu dan kau harus tawar-menawar dengan Dia untuk meminta diriku. Jika Mereka sama, kupikir kitapun pasti bisa bersama, namun kau pernah bilang bahwa Tuhan itu egois. Dia mengajarkan cinta hanya untuk sorga saja, tidak ada yang tersisa di neraka.”
Aku menyerah dengan mengungkapkan kenyataan ini. Kami masih berpelukan, untuk pernyataan-pernyataan yang membelah kami ini, kami tak merasa kalau emosi kami berhenti. Logika memang selalu berjalan sendiri dengan emosi. Kami membiarkan Sore ini mengungkung kami, karena sebentar lagi malam akan datang. Kami baru saja bercinta sejak tadi siang dan aku tahu, hari ini aka membawa lari jiwa kami jauh walau rasa ini masih ingin berpelukan selamanya. Bisa saja kami memilih tetap hidup entah akan berdosa setiap saat atau nanti bertobat sampai kiamat atau kembali ke masa sebelum kami bertemu seperti ini kala kami telah memikirkan Jiwa dan Sorga. Aku ingin tetap memiliki hidup dalam ribuan maklumat kebajikan agar aku bisa menjumpainya dalam wujud raga yang berakal dan dapat beremosi seperti saat ini. Dan dia masih meminta Tuhannya memanggilku masuk dalam takdirnya, aku tahu itu, Cinta bisa mati tapi jiwa kami harus hidup. Kami berterima kasih kepada Tuhan masing-masing karena kami boleh bertemu. Usai sembahyang, kami berkoitus di suatu sore milik kami, sebab esoknua bukan milik kami.
“Kami pernah lari dari Eden, jika kami Adam dan Hawa.Dan kau tahu apa yang mereka lakukan ketika bersembunyi di balik semak, dengan penuh ketakutan dan kesadaran akan ketelanjangan?...Mereka bercinta! Itu pasti, Dere!” Mome berkisah terakhir tentang pasangan pertama di dunia ciptaan Tuhannya.
“Kau tahu, mengapa Sidharta memilih bertapa dan bersendirian? Mungkin dia lebih senang bercengkerama dengan Dewi Kwan In daripada bergaul dengan putri-putri istana.” Kisahku yang dibalasnya dengan segaris oval senyum. Kita bisa saja menerjemahkan salah tentang Kitab dan keyakinan kita, tapi kita tidak bisa salah menerjemahkan arti emosi yang sering kita sebut dengan CINTA karena di sana bisa ada Sorga dan juga Neraka, hanya bila kita salah menerjemahkannya. Apakah artinya emosi di titik akhir ini?
Kami berkemas, memakai kembali kutang, celana yang sudah kita lepas. Lalu kembali ke rumah kami masing-masing. Wanginya tetap tinggal di seluruh tubuhku dan tanda dekapanku tetap membayanginya hingga dia tiba di sorga. Entah dosa atau apa yang baru saja kami buat yang jelas kami telah memutuskan kembali ke jalan kami masing-masing, di sore itu sebelum malam tiba.
Catatan Penulis :
Aku DERE dan Zalome atau Mome, yang pernah jadi kekasihku. Apabila jalan kami sedikit maju, seumpama Alfabet, MOME akan menjadi NONE, sedangkan aku DERE. Ketika kami memilih jalan kami bersama. Kami tak akan pernah bertemu siapa-siapa di sana “NONE DER!”
*) Penulis, kini berprofesi sebagai sekretaris di sebuah firma pengacara di Batam.
Senin, 14 Januari 2008 | Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.33 0 komentar
Label: Cerpen