Indonesia, adalah nama untuk sebuah negara yang lahir dari komitmen bersama untuk memerdekkaan atau membebaskan diri dari penjajahan. Proklamasi 17 Agustus 1945, mestinya bukan pertama-tama sebagai monumen untuk menandakan kemenangan mengusir penjajah dari ibu pertiwi, melainkan, dan ini yang utama adalah adalah harapan kesejahteraan dan keadilan manusia-manusia yang berdiam di atas tanah air ini.
Sudah 62 tahun Indonesia merdeka. Mestinya sudah begitu lama juga rakyat di negara yang plural ini merasakan kemerdekaan dari keterjajahan apa saja. Tapi, kemerdekaan sebenarnya adalah mimpi, sebagaimana kita memimpikan Indonesia.
Semua akhirnya memang dua adanya. Ada hitam ada putih. Ada kehidupan ada kematian. Ada penjajahan ada kemerdekaan. Begitulah proses berada manusia. Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah, dengan tokohnya Minke dalam novel itu akhirnya harus berkata: “Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat...”
Kemerdekaan bukan jalan tengah. Sebab di sisinya yang sebelah, dan sangat dekat dengannya adalah penjajahan atau penderitaan (ketidakmerdekaan). Begitulah sehingga barangkali Pram melanjutkan dialog Minke itu, “Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.”
Di sinilah sebenarnya kesulitan kita memaknai kemerdekaan itu. Bahwa ternyata kemerdekaan belum berarti keselamatan, apakah keselamatan seperti yang diartikan agama, budaya, atau keselamatan seperti seseorang yang akan menyeberang sebuah sungai yang banyak buayanya. Kemerdekaan tidak bisa diidentikan dengan keselamatan. Sebab kemerdekaan aku bisa juga berarti ketidamerdekaan dia. Kalau tidak dilestarikan, bisa saja Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah awal dari ketidakmerdekaan tanah air ini. Tapi keselamatan, adalah soal aku, kau serta mereka (kita semua) yang telah sampai pada cita-cita hidup. Cita-cita, mestinya tidak hanya soal ruang dan waktu tapi juga kondisi yang terbebas dari segala kesakitan dan penderitaan hidup.
Begitulah sehingga yang bisa kita lakukan sekarang adalah memimpikan Indonesia. “Sekarang saya katakan kepada kalian sahabatku, meskipun kita menghadapi kesulitan masa kini maupun mendatang, saya tetap mempunyai impian,” kata Martin Luther King, Jr pada 28 Agustus 1963.
Ini mimpi Martin Luther King, Jr itu: “Saya mempunyai impian bahwa suatu hari di perbukitan Georgia yang merah putra para mantan budak dan putra para mantan pemilik budak akan dapat duduk bersama di atas meja persaudaraan. Saya mempunyai impian bahwa suatu hari bahkan negara bagian Mississippi, yang dipenuhi panas ketidak adilan, panas penindasan, akan berubah menjadi sebuah oasis kebebasan dan keadilan. Saya mempunyai impian bahwa keempat anakku yang kecil suatu hari akan dapat hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dipandang berdasarkan warna kulit mereka namun melalui isi sikap mereka. Hari ini saya mempunyai impian...” Sebuah mimpi yang lahir dari ketidakadilan struktur dan diskriminasi ras. Ini sebenarnya sama juga dengan penjajahan diri dan nurani
Mimpi, kita samakan saja dengan cita-cita yang paling ideal. Ideal memang, tapi mimpi bukan berarti mustahil menjadi kenyataan. Mimpi tentang Indonesia atau mimpi Martin Luther King, Jr itu, tentu harus dibedakan dengan mimpi yang ditafsir penjudi untuk kupon undian berhadiah. Mimpi kita tentang Indonesia sama dengan mimpi Martin Luther King, Jr itu, adalah suatu kondisi yang selamat, bebas dari segala macam penderitaan.
Memimpikan Indonesia yang selamat belum selesai kita lakukan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pernyataan tegas tanah air ini, yang mestinya harus dilanjutkan dengan tekad yang kuat tapi mulia dan jujur untuk membawa Indonesia pada Indonesia Merdeka yang sesungguhnya. Ke 62 tahun Indonesia Merdeka, masih banyak hal yang membuat Indonesia ini belum mencapai ke keselamatan, cita-cita luhur para founding fathers. Korupsi masih merajalela. Kekerasan masih terjadi di mana-mana. Diskriminasi masih sering dipraktekkan. Berekonomi masih membuat rakyat terasing dari hasil keringatnya sendiri. Dalam pergaulan internasional, Indonesia masih sering dipermainkan. Naik turun dolar, masih bisa membikin kita merasa was-was. Di mana kemerdekaan Indonesia kalau begitu?
Indonesia yang selamat memang masih sedang diimpikan oleh anak-anak bangsa ini. Tekad yang kuat, segala kerja keras, ide yang terus didialektikkan dengan kenyataan, membawa kita pada pengertian bahwa Indonesia masih sementara menjadi menuju ke kesempunrnaan kemerdekaannya. Dengan segala yang diri ini punya dan ibu pertiwi ini kandung, Indonesia jangan dibiarkan bergerak mundur. Ia harus maju, agar Proklmasi 17 Agustus 1945 memang benar sebagai harapan menuju ke kesejahteraan lahir maupun batin. Begitulah mimpi kita di tengah kesulitan bangsa ini untuk tidur nyenyak karena perang sengit melawan mimpi-mimpi jahat. Teruslah berjuang demi Indonesia baru….
Tabea Waya e Karapi!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
Esei Denni Pinontoan: "Memimpikan Indonesia"
Puisi-Puisi Greenhill Glanvon Weol: "Kristen KTP, Gagak-Gagak Itu Mesti Mati,..."
Kristen KTP
For apa le mo maso greja
Kalu di dalang Cuma baku toreba
Baku bongkar orang pe besae
Baku cari orang pe kelemahan
For apa le mo pigi berdoa
Kalu di dalang punung pikiran jaha
Karlota-karlota orang pe kalakuang
Hojat-hojat orang pe kekurangan
Hei kasiang!
Jadi kristen bukang ja lia dari ba maso greja
Jadi kristen bukang ja tengo di jago berdoa
Mar bagimana torang mo setunjung pa dunia
Tu cinta dia yang dorang da paku di Golgotha!
Ado kasiang!
For apa le mo maso greja
For apa le mo banya berdoa
Kalo nanti di pintu sorga
Cuma mo dengar papa ye’ ma basuara:
Kaluar ngana!
Kita nyanda kanal pa ngana!
Gagak-Gagak Itu Mesti Mati!
Apakah mereka kau yang undang?
Sebab tana ini kita yang punya
Semua kobong
Semua padi
Semua kembang
Kita hidup ribuan tahun
Makan dan memberi makan
Menyanyi
Menari
Anak-anak kita bertelanjang kaki
Berlari
Tana ini kita yang punya!
Apakah mereka kau yang ajak datang?
Sebab ruma ini kita yang punya
Undakan setiap tangga
Tiang-tiang
Guratan-guratan kayu
Deretan jendela
Koi tempat kita dilahirkan dan melahirkan
Makan
Bersulang
Jelaga dan asap dodika
Api
Ruma ini kita yang punya!
Bukan!
Katamu, bukan!
Lantas siapa?
Mereka datang dari laut
Dari tanjung
Dari utara maut!
Katamu:
Mereka datang memohon makan
Lalu kita beri mereka tumpang
Sebab begitu nenek moyang kami mengajarkan
Lantas mereka jadi besar
Perut mereka tak pernah kenyang
Gagak-gagak itu,
Tana kita!
Ruma kita!
Lalu anak-anak kita
Kita!
Keluarkan lilang yang kau simpan di rumamu!
Gali tumbak yang kau tambung dalam tanahmu!
Mustika merah yang kau tukarkan dengan kitab berpalang itu!
Dan demi tanah dan rumah,
Darah
Sekarang kita mesti marah!
I yayat u santi!
No For Mo Apa Le
dengar, dengar, dengar pa kita
dengar, pemai, dengar kita mo basuara
buka basar ngoni pe talinga
pemai, dengar, dengar kita mo bacirita
dengar, hey utu keke minahasa
ngoni samua tu rasa ngoni gaga
ngoni samua tu Cuma jago di bicara
kasiang jo, ngoni nyanda ada apa-apa
hey tole, pake ngana pe ontak
jangang Cuma kuat baetag
badang pe bagus,
mar cap tikus so kase rusak
siang tasono, malam di leput
bagitu-bagitu trusjo ngana
sampe datang maut menjemput
budel so jual pa orang samua
Cuma gara-gara mo kredit satria
So cocok no ini samua
Abis baku spai deng botol
Antar motor rupa gila
Ada kasiange tuama
Akhirnya depe hasil
Tuhan yang memberi
Satria yang mengambil!
Deng ngana keke, jang kira so lolos
Jang Cuma poco-poco mulu los
Ngoni Cuma mo andalkan tu body?
Bapake sexi deng kuli pe puti?
Kong saban malam baforo di ha-ha deng hai ki?
Puki! Serta so abis doi, so mulai jual diri
So ini no ngoni pe biongo
Sasadiki le so muat di posko
Tu felem da bakunae di oto
Wartawan kudapuki so kase maso!
Mo apa le tare kalo so bagitu
Mama papa so user karna so beking malu
Kage cari-cari di kampung sonyanda ada
Nintau kote so jadi tambio di jayapura!
no ngoni tidor-tidor jo
no ngoni mekep-mekep jo
no ngoni melep-melep jo
no ngoni disko-disko jo
no for mo apa le
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.58 0 komentar
Label: puisi
Esei Greenhill Glanvon Weol "KEBUDAYAAN MINAHASA: Sesuatu yang Terjadi Hari ini, Bukan Kemarin"
"... Culture should be regarded as the set of distinctive spiritual, material, intellectual and emotional features of society or a social group, and that it encompasses, in addition to art and literature, lifestyles, ways of living together, value systems, traditions and beliefs". (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), 2002).
Culture? What Culture?
Saya tersenyum geli, ketika pertama kali mendengar lagu makaaruyen yang di-remix dengan sampel-sampel disko dari sound system menghentak sebuah mikrolet. Bukan karena campuran yang lucu itu, tetapi karena akhirnya tiba-tiba ada irama khas Minahasa, yang selama ini oleh sebagian anak muda dianggap sebagai musik “pangge-pangge ujang”, mendapatkan “raga” baru dan pemaknaan baru sehingga bisa kembali tampil melaksanakan tugas, sebagai bagian dari fungsi estetikanya, untuk menghibur manusia yang menciptakannya. Sambil tersenyum, pikiran saya mulai berliar-liar tentang lantai-lantai disko yang sering dipadati clubbers Manado dan mulai mengimajinasikan tubuh-tubuh yang bergoyang diiringi niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko… He he he, saya jadi tergelak, ternyata kebudayaan Minahasa belum mati.
Tapi tunggu, apa lagu remix yang dipakai untuk berkeringat semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “kebudayaan”? begitu mungkin anda langsung menyanggah. Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita saksikan dalam ritus-ritus dan situs-situs purba? Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita lihat terpampang rapi dalam museum-museum? Bukankah kebudayaan itu adalah kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pemerintah terutama, seperti festival kesenian tradisional semacam Maengket, Kawasaran, Pindah Waruga atau yang sejenisnya? Bukankan kebudayaan adalah sesuatu yang agung, indah, dan monumental? Anda tidak keliru, jika kita bicara tentang kebudayaan sebagai sebuah warisan dari masa lalu. Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
- Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
- Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Tetapi tolong jangan berhenti pada pemahaman itu saja. Kebudayaan kita bukan hanya sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu dari hari kemarin. Kebudayaan kita juga adalah apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang. Jadi, sebenarnya gerakan-gerakan yang tadi saya imajinasikan sedang dilakukan di lantai disko Ha-Ha Café tidaklah beda berbudaya dengan serangkaian gerakan seorang penari Maengket! Pula sebuah lagu remix yang mendentum dalam mikrolet punya kesetaraan kultural dengan tembang yang dinyayikan dalam tari Maengket! Mungkin anda bisa saja tersinggung dengan ide seperti ini, tetapi ini dikarenakan kebudayaan juga menurut J.J. Hoenigman, dibedakan menjadi tiga wujud:
- Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
- Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
- Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Suatu ketika, seorang sahabat yang juga bergiat dalam bidang budaya berkata bahwa tanpa menggali sedalam-dalamnya kultur, lewat berbagai artefak dan praktik, kita tak akan bisa mengerti apapun tentang itu. Beliau memang telah cukup dalam menggali budayanya, terbukti dengan terkumpulnya sejumlah benda-benda kultural di rumahnya, juga dari pengetahuan-pengetahuan meta-kultur yang telah dikuasainya. Saya hampir-hampir setuju dengan pendapat itu. Tetapi saya lantas berpikir: apakah sebagai tou Minahasa, saya dikehendaki oleh leluhur saya untuk kembali membongkar kubur-kubur tua, memburu berbagai mustika dan benda kuno lainnya, yang, meminjam istilah seorang sastrawan Minahasa saudara Pnt. Fredy Wowor, usaha melap-lap benda usang agar mengkilat kenbali? Saya rasa tidak. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan kemarin.
Ada pula seorang praktisi budaya yang mempertanyakan kepada saya mengapa kebanyakan orang Minahasa praktis sudah meninggalkan tradisi-tradisi shamanisme kuno semisal upacara foso dan, bentuk besarnya, konsep teologi tradisional. Saya katakan bahwa dia salah. Orang minahasa tidak melupakan semua itu. Akan halnya sistem religi yang universal, ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik menusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", yang dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Agama tradisional telah menjawab kebutuhan rohani tou Minahasa akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan saat ini, kata saya, orang Minahasa telah menemukan itu semua dalam keimanan mereka terhadap Empung Kasuruan dalam Yesus Kristus. Jabatan shaman saat ini dipegang para pemimpin jemaat. Tidak ada yang berubah.
Beliau kemudian juga berargumen tentang rendahnya minat orang Minahasa saat ini terhadap “pengetahuan-pengetahuan” tradisional semacam ilmu mengendalikan kekuatan alam. Saya tersenyum dan berkata bahwa itu juga salah. Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
- pengetahuan tentang alam
- pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
- pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
- pengetahuan tentang ruang dan waktu
Teknologi, saya selalu menggolongkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu dalam perspektif ini, adalah segala sesuatu yang menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
- alat-alat produktif
- senjata
- wadah
- alat-alat menyalakan api
- makanan
- pakaian
- tempat berlindung dan perumahan
- alat-alat transportasi
Jadi, lanjut saya, jika pada suatu masa leluhur saya menggunakan aspek-aspek teknologi zamannya semacam memakai cidako (yang menurut saya pasti sangat modis pada saat itu), maka saat ini saya sebagai orang Minahasa yang hidup di milenium ketiga memilih memakai jins dan t-shirt. Atau, jika dulu ada peti kayu untuk menyimpan benda berharga, sekarang saya punya flashdisk untuk sesuatu yang kurang lebih sama. Dan, mungkin ini yang paling menarik: kalau dulu nenek moyang saya perlu menggunakan telepati (atau apalah namanya) untuk mengirimkan pesan ke tempat yang jauh, sekarang saya tinggal memencet tombol telepon genggam. Jadi, sekali lagi, tidak ada yang berubah. Saya yakin orang Minahasa tidak pernah meninggalkan aspek-aspek budayanya. Jika kelihatan ada yang berubah, itu karena memang yang berubah adalah yang kelihatan saja, wujud fisiknya saja. Sedangkan esensinya, lebih tepat: filosofinya, tetap ada dan tinggal.
Saya katakan kepada rekan itu bahwa saya percaya Kebudayaan Minahasa adalah sesuatu yang everchanging, sesuatu yang terus-menerus berkembang, berubah dan beradaptasi menurut kebutuhan masanya. Kebudayaan Minahasa bukanlah sebuah finished product, namun sebuah ongoing process. Kebudayaan yang stagnan, yang hanya mengelu-elukan kebesaran dan kejayaan masa lampau, menurut saya adalah kebudayaan yang mati. Kebudayaan yang agung adalah kebudayaan yang menghargai identitas ancient civilization-nya sekaligus memiliki perspektif jauh ke depan.
Redefining Minahasan Culture
Saya dan beberapa saudara tou Minahasa lainnya sedang mempersiapkan penerbitan sebuah Antologi Puisi Penyair Minahasa. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh akan “…lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut” tadi. Dalam draft buku tersebut saudara Jenry Kora’ag dalam puisinya Mawale mencantumkan kata-kata:
aku ingin pulang
tapi bukan kepada batu
karena batu tak mampu mengisahkan
segala kisah tentang sejarah
aku ingin pulang
tapi bukan kepada pohon
karena pohon tak bisa tuturkan
liku jalanan panjang cermin lalu
aku ingin pulang
tapi bukan kepada gunung
karena gunung hanya diam
tak dapat cerahkan coretan alam.
Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa”. Sesuatu yang lebih dari sekedar “batu” atau “gunung”. Sesuatu yang kelak dapat kita pertanggung-jawabkan di dihadapan leluhur kita dan, terutama, dapat kita wariskan kepada generasi sesudah kita, sampai tiba giliran anak-cucu Lumimuut-Toar untuk kembali meredefinisikan kebudayaan Minahasa di masa mereka.
Mengapa sastra (baca: tulisan)? Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari Bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Fungsi bahasa secara umum adalah:
- alat berekspresi
- alat komunikasi
- alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah:
- Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
- Mewujudkan seni (fungsi artistik).
- Mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
- Untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, bukan begitu?
Mengapa? Karena salah satu kelemahan “Kebudayaan” yang hanya mengacu pada artefak dan aktifitas adalah kecenderungan untuk menjadi apa yang dijabarkan sebagai "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture), yang pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas , seni tingkat tinggi, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature).
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik pop sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Demikian halnya lagu disko remix tadi, yang dentumannya saya yakin telah merambat sampai ke sudut-sudut terdalam tana’ Minahasa, biarlah menjadi penyadar bagi kita bahwa esensi kebudayaan Minahasa adalah kemampuan untuk selalu dapat memahami kontekstualitas kehidupan hari ini. Memang, sejarah selalu diciptakan hari ini. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan hanya hari kemarin. Niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko…
I yayat u santi!
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.57 0 komentar
Label: esei, MAWALE MOVEMENT
Cerpen Karya Denni Pinontoan: "Orasi Bobi, Si Calon Presiden"
Bobi, sekarang so jadi calon presiden. Mar, Bobi sandiri nda tahu, kalau dia bakal memimpin negara bernama apa. Yang jelas, waktu berorasi di atas podium di hadapan ribuan massa ketika jadwal berkampanye, Bobi dengan berapi-api menyatakan komitmennya untuk mengatasi persoalan korupsi.
“Saudara-saudaraku, penyebab kemiskinan di negara ini adalah korupsi? Elite-elite yang memimpin negara ini banyak yang bermental korup. Mereka semua harus diganti dengan orang-orang yang bersih. Itu antara lain komitmen saya!!” begitu pengantar orasi Bobi.
“Benaaar…!!!” Ribuan massa dengan kaos bergambar foto Bobi berteriak setuju.
Mereka tampak kesetanan. Spanduk-spanduk bertuliskan: “Bobi Presiden Rakyat. Jangan Ragu Pilih Bobi” berkibar di tengah dan hampir setiap sudut tanah lapang kota itu. Tampak juga sejumlah nenek dan kakek nekat berdiri di tanah lapang itu. Untung petugas medis dan mobil ambulance bersiaga di sudut tanah lapang. Kalau ada di antara mereka pingsan dan mudah-mudahan belum sampai mati, para petugas sudah disiapkan untuk segera menolong. Para pedagang asongan sibuk melayani massa membeli air mineral. Massa kehausan.
“Saudara-saudaraku, persoalan utama di negara kita ini adalah korupsi yang kian akut. Kalau saya jadi presiden nanti, para koruptor, siapapun dia akan dihukum mati. Tidak seperti sekarang, para koruptor yang telah mencuri uang negara bebas lalu lalang ke sana kemari. Hukum juga harus ditegakkan…!!! Orasi Bobi si calon presiden itu mulai panas. Sound system ribuan watt menggemakan orasi Bobi sampai ke otak para pendukung calon presiden itu. Massa menjadi terhipnotis dengan jualan kecap Bobi. Bahkan ada yang serupa orang kesetanan.
Panji-panji dan spanduk-spanduk berwarna-warni tampak seperti tangan pemimpin paduan suara yang sedang memimpin paduan suara terbesar di dunia. Matahari yang tepat di atas kepala ribuan massa itu seolah-olah tersenyum lucu melihat pertunjukkan anak-anak manusia yang histeris dengan harapan perbaikan hidup.
Selain lansia, tampak juga pendukung setiap Bobi dari kalangan gadis. Mereka itu banyak yang memakai kaca mata hitam. Rambut dicat pirang, celana jeans yang sengaja dirobek di bagian paha dipasangkan dengan kaos ketat bergambar foto Bobi yang tersenyum menggoda. Sosok Bobi bagi para gadis memang menggoda. Bobi memang masih muda, tampan dan kaya.
“Saudara-saudaraku, untuk mengatasi persoalan korupsi di negara ini, kalau saya jadi presiden nanti, yang akan saya lakukan adalah merombak sistem birokrasi kita. Kalau sekarang, urusan-urusan yang sebenarnya mudah, sengaja dipersulit untuk mendapatkan sejumlah uang. Prinsip saya, kalau bisa dipercepat kenapa harus diperlambat. Kalau rumit, harus diusahakan menjadi mudah. Ini reformasi saya di bidang birokrasi. Sistem birokrasi yang dibuat longgar, namun tetap prosedural, mempermudah masuknya investor untuk menanamkan investasinya di negara kita,” begitu orasi Bobi dengan suara yang lantang.
Bobi tampak menyakinkan sekali. Sampai-sampai wajahnya yang putih mulus menjadi merah. Tak tahu memerah karena ketulusan komitmen kerakyatan atau memerah karena kebohongan. Massa sulit menebak itu.
Mendengar janji Bobi itu, massa berteriak histeris sambil melompat-lompat. Para lansia, cuma bisa menepukkan tangannya. Senyum mereka tak lagi seindah senyum para gadis yang tampil modis itu. Tapi kalau diamati betul sorakan, senyuman, dan tepukan tangan massa itu tak tampak keseriusan. Jangan-jangan mereka tak mengerti apa yang sedang diteriakan Bobi.
Siang itu tanah lapang kota memang tampak ramai sekali. Sorakan, tepukan tangan dan senyuman genit para gadis bahkan menjadi tontonan para bule yang menyaksikan pertunjukkan massal itu dari jalan yang mengitari tanah lapang. Tawa dan senyuman para bule seperti orang yang sedang menonton film Mr. Bean.
“Saudaraku, kini saatnya kita membuat perubahan. Rakyat di negara ini harus sejahtera aman dan damai. Kebijakan ekonomi negara harus berpihak kepada rakyat. Perimbangan keuangan pusat dan daerah harus adil. Kita harus hentikan eksploitasi pusat terhadap sumber daya alam milik daerahhh…!!! Itu kita harus hentikannn…!!! Saya siap berada di depan untuk perubahan ituuu…!!! Setujuuu…??!!” Suara Bobi meledak-ledak. Orasi kampanyenya mirip seorang demonstran di jalanan yang menuntut perubahan.
“Setujuuu…!!!” Gelegar suara massa serempak. Massa kesetanan. Mereka berjingkrak-jingkrak terhipnotis dengan orasi Bobi yang meledak-ledak itu.
Di podium, Bobi semakin menjadi. Para pendampingnya yang terdiri dari fungsionaris partai yang mencalonkan dia juga begitu. Tampak, istri Ketua Umum Partai Nekat yang bahenol itu menggoyangkan pantatnya mengikuti goyangan ngebor Inul Daratista.
Podium dan tanah lapang bergetar. Massa semakin menjadi. Bobi dan orang-orang di atas podium lebih gila lagi.
….
“Braaakkk…!!!” Bunyi podium runtuh menggelegar sampai di sudut-sudut tanah lapang. Podium ambruk karena orang-orang di atasnya tergila-gila dengan jualan kecap Bobi.
Bobi yang jatuh terkejut setengah mati. Lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa yang di atas tubuhnya adalah istri Ketua Umum Partai Nekat yang bahenol itu. Spontan ia berteriak keras,”Pilih saya jadi presiden negara iniii…!!!”
Habis berteriak begitu, siraman air seember membasahi tubuh Bobi. Mata Bobi terbelalak seperti mata burung hantu.
“Kiapa, kiapa ini? Kiapa ngana sirang pa kita deng air got?” tanya Bobi kepada teman kosnya, Tole.
“Bobi, ngana ini da mimpi! Ba bataria jadi presiden!...Mo jadi jadi presiden bagimana, sedang kuliah nda beres?” ujar Tole mahasiwa semester IV Fakultas Ekonomi UNPRAT sambil tertawa lebar, menertawakan kekonyolan Bobi.
“Ha, jadi presiden? Ba butul kwa ngana Tol? Orang da mengkhayal, bilang ba mimpi?” Bobi coba membela diri.
“Kasiang ngana ini, Bob. Ba mimpi deng mengkhayal itu cuma beda-beda tipis tamang! Lia tre ngana pe supermi so tacura di lante,” kata Tole.
“Presiden?” gumam Bobi yang sementara kedinginan.
“Bob, sekarang ini, nda cukup kalu cuma ba mimpi. Torang musti beking revolusi!” ujar Tole sambil melangkahkan kakinya ke kamar.
“Revolusi?” gumam Bobi yang semakin kedinginan.
Tomohon, 24 Maret 2007
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.53 0 komentar
Label: Cerpen