Masa so berganti
Pinabetengan nyanda mati
Nyanda cuma ganti kuli
Pinabetengan harga mati
Cuma besar deng nasi milu
Pinabetengan nda pernah malu
Dunia so datang deng era baru
Pinabetengan nda ragu-ragu
Pulang kampung gantong capatu
For mo sambut tu hari baru
Pinabetengan musti maju
Nyanda Cuma baganti baju
Kalo datang bulan desember
Cuma bete dengan saguer
Dari pada Cuma for pamer
Nentau kote orang koruptor
Jangan ragu bangun tu kampung
Masi banya tana di gunung
Biar makang nda nasi gunung
Asal nyanda utang malendong
Pinabetengan tanah lahirku
Nyanda cuma sampe bakuku
Mari samua baku beking maju
Torang samua nda cuma batu
Tabea Waya e Karapi!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
Puisi Frisky Tandayu: "Pinabetengan Nyanda Mati".
Puisi Frisky Tandayu: "Pinabetengan Nyanda Mati".
Masa so berganti
Pinabetengan nyanda mati
Nyanda cuma ganti kuli
Pinabetengan harga mati
Cuma besar deng nasi milu
Pinabetengan nda pernah malu
Dunia so datang deng era baru
Pinabetengan nda ragu-ragu
Pulang kampung gantong capatu
For mo sambut tu hari baru
Pinabetengan musti maju
Nyanda Cuma baganti baju
Kalo datang bulan desember
Cuma bete dengan saguer
Dari pada Cuma for pamer
Nentau kote orang koruptor
Jangan ragu bangun tu kampung
Masi banya tana di gunung
Biar makang nda nasi gunung
Asal nyanda utang malendong
Pinabetengan tanah lahirku
Nyanda cuma sampe bakuku
Mari samua baku beking maju
Torang samua nda cuma batu
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 20.09 0 komentar
Label: MAWALE MOVEMENT, puisi
Esei Denni Pinontoan: "Melampaui Demokrasi".
Demokrasi sebagai Pengganti Monarkhi?
Praktek awal sistem demokrasi dalam usaha menata kehidupan bersama sebuah masyarakat terutama dalam kehidupan negara-kota telah dimulai di Yunani, kira-kira pada abad 6 SM. Kebanyakan kita sudah tahu bahwa kata demokrasi ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Dalam pengertian umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan aspirasi orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Namun, dalam dalam tampilannya yang modern, sistem pemerintahan demokrasi disebut-sebut sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut monarkhi. Demokrasi yang kita kenal sekarang, sejatinya adalah produk dunia modern. Reformasi Luther di abad 16, antara lain telah melahirkan semangat kritik, kemajuan dan subjektifitas. Semangat inilah yang kemudian melahirkan beragam pendekatan keilmuan, antara lain rasionalisme, empirisme dan positivisme. Berikut berbagai ideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan nasionalisme, adalah juga produk dari modernisasi dalam hal berpikir tersebut. Hasil dari modernisasi berpikir ini antara lain munculnya Revolusi Amerika 1775-1783, Revolusi Perancis pada tahun 1789 serta Revolusi Industri di Inggris.
Demokrasi yang dikampanye-kampanyekan dan digalak-galakan di Dunia Ketiga, seperti di Indonesia dewasa ini, pada dasanya adalah untuk melanjutkan idealisme pemikiran modern Eropa itu. Negara bangsa di Dunia Ketiga, pada proses kelahirannya kebanyakan terinspirasi dari ide-ide demokrasi yang berkembang sejak Revolusi Amerika, Perancis dan Industri Inggris tersebut. Oswaldo de Rivero dalam bukunya The Myth Of Development (2008), bahkan dengan tegas mengatakan, Revolusi Industri di Eropa dan Amerika itulah yang telah memberi sentuhan terakhir kepada bentuk Negara bangsa yang dikenal sekarang ini.
Gagasan-gagasan dasar demokrasi yang dihasilkan oleh pemikiran modern Barat itu berkisar pada kebebasan, keadilan, perdamaian, dan persamaan hak. Bandingkan dengan apa yang kemudian terkenal dari Revolusi Perancis itu: persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Yang mendahului revolusi-revolusi itu adalah sejumlah pemikiran-pemikiran kritis di kalangan filsuf, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Rosseau dan lain sebagainya. Tapi, apakah benar, idealisme demokrasi itu benar-benar nyata dalam prakteknya?
Demokrasi dan Proyek Hegemoni Negara
Pada banyak hal, pemikiran-pemikiran yang rasionalistik sejumlah pemikir Eropa ini juga telah ikut membidani lahirnya Revolusi Industri yang ikut melembagakan kapitalisme di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang ekonomi yang masih merupakan persoalan di sejumlah negara bangsa di Dunia Ketiga hingga dewasa ini, antara lain juga adalah warisan dari sistem ekonomi yang lahir di masa-masa menguatnya rasionalisme abad 18-19 itu. Bahkan, bisa kita duga bahwa sistem pemerintahan demokrasi sepertinya adalah cara yang sengaja untuk dikampanyekan dan digalakkan di Dunia Ketiga pada masa-masa kelahirannya di awal abad 20 adalah untuk memuluskan penguasaan di bidang ekonomi oleh Negara-negara Eropa dan Amerika khusunya hingga hari ini. Kapitalisme, rupanya menemukan ruangan yang nyaman untuk berkembang ketika begara-negara bangsa melakukan eksprimen untuk menerapkan sistem demokrasi. Mudah-mudahan logika saya ini tidak keliru.
Sebab, menariknya kekuasaan absolut negara yang disebut Hobbes dengan Leviathan, akhirnya kini berubah wajah dalam negara bangsa atas nama nasionalisme. Ketika suatu negara bangsa berhasil berdiri, dan mengalami euphoria yang luar biasa karena kebanggaan berhasil mengusir pihak penjajah asing dari tanahnya, maka demokrasi dipilih sebagai sistem alternatif untuk mengurus negara bangsa baru itu. Pemilu dilaksanakan, yang antara lain untuk memilih penguasa baru, di legislatife dan eksekutif khusunya. Kepala negara baru (presiden atau perdana menteri), yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, diterima sebagai cara yang paling tepat untuk mengganti raja dalam sistem yang monarkhi. Dalam kampanye-kampanye, dan pewacanaanya, baik oleh negara maupun lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, demokrasi akhirnya dibedakan secara radikal dengan sistem monarkhi apalagi teokrasi. Bahwa, dalam sebuah negara bangsa baru yang majemuk, mestinya pemimpin negaranya bukan karena berdasar pada geneologis, atau wangsit dari langit, tapi harus dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan rakyat. Itulah kehendak orang banyak orang yang terlembaga. Wakil-wakil rakyat juga harus dipilih oleh rakyat sebacara langsung, dan mereka yang mendapat suara terbanyaklah yang pantas menjadi media perjuangan aspirasi rakyat. Setidaknya begitu wacana-wacana demokrasi sampai hari ini.
Tapi, cerita berulang. Apa yang dipotret oleh Machiavelli di akhir abad 15 dan awal abad 16 tentang kejahatan politik seorang Cesare Borgia, dan apa yang menjadi ajaran Hobbes di Inggris pada abad ke 17 tentang kelahiran negara, yang pada dasarnya negara itu akhirnya menjadi lembaga hegemoni kebebasan individu, kini menjadi fenomena menyeramkan di negara-negara bangsa yang mempraktekkan sistem demokrasi modern. Leviathan tetap ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam negara bangsa, dia tak lagi seorang raja, melainkan negara.
Pemilu untuk Menghasilkan Tirani Mayoritas
Demokrasi, pada prakteknya, hanyalah bentuk lain dari sistem monarkhi. Bahwa, demokrasi bagaimanapun tetap mengandung kekuasaan. Dan, negara bangsa, yang telah memindahkan kekuasaan absolut itu dari diri seorang raja ke lembaga pemerintahan/rezim atau lebih tepatnya lembaga negara itu, pada akhirnya harus menggunakan kekuasaan untuk menundukkan kebebasan individu. Leviathannya Hobbes, ternyata tak berhasil dihancurkan oleh demokrasi. Ini terjadi, ketika rakyat hanya diposisikan dan ditempatkan sebagai individu-individu pemilih, bukan pengontrol atau yang ikut bersama-sama dalam proses pemerintahan. Rakyat, dengan segala taktik rezim yang terpilih berdasar suara terbanyak itu, selalu diusahakan untuk terasing dari proses bernegara/berpolitik.
Pemilihan Umum (Pemilu), yang dipercayai sebagai satu-satunya cara ideal untuk memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat, dalam sejarahnya hanyalah kemudian untuk mengesahkan penguasaan mayoritas (elit yang memegang kendali kekuasaan/kuat secara kuantitas politik) terhadap minoritas (rakyat yang terasing dari kekuasaan/lemah secara politik). Suara terbanyak sebagai penentu kemenangan dalam sebuah kompetisi dan suksesi dalam sistem demokrasi akhirnya rawan menciptakan penguasa yang lalim dan otoriter (tirani mayoritas). Sejumlah penguasa tiran di era negara bangsa, adalah produk dari Pemilu dalam sistem demokrasi, di mana rakyat diminta harus datang ke tempat-tempat pemungutan suara, apapun bentuk partisipasinya untuk memilih calon-calon penguasa. Karena itulah sehingga Golput dianggap rezim sebagai sikap yang tidak bertanggungjawab untuk pembangunan negara.
Menariknya, sampai saat ini, apa yang disebut Samuel Huntington partisipasi aktif sebagai yang ideal untuk sebuah demokratisasi, belum terbukti, atau memang keliru. Dan era ini yang lebih gila ternyata. Kalau dulu, menjadi raja tiran karena berdasar mitos pemilihan dewa/ilah, tapi di era demokrasi ini menjadi penguasa tiran justru karena dilegitimasi oleh rakyat melalui Pemilu, dan tampilannya seolah-olah logis dan rasionalistik.
Kampanye, seperti yang sedang ramai-ramainya di negara bangsa Indonesia sekarang ini, katanya sebagai sebagai salah satu tahapan Pemilu untuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program partai politik. Sementara partai politik, pada kenyataannya adalah alat atau media negara untuk usaha penundukkan secara terselubung. Dan para caleg, adalah mereka-mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pengkhotbah segala mitos kesejahteraan dari negara. Sebab, segala janji itu, akhirnya hanya akan menjadi mitos, dan barangkali tepatnya takhyul bagi rakyat. Partai politik atas nama demokrasi hanyalah candu bagi kebanyakan rakyat kita.
Bukit inspirasi Tomohon, 22 Maret 2009
Minggu, 22 Maret 2009 | Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 20.27 0 komentar
Label: esei, MAWALE MOVEMENT
Esei Denni Pinontoan: "Melampaui Demokrasi".
Demokrasi sebagai Pengganti Monarkhi?
Praktek awal sistem demokrasi dalam usaha menata kehidupan bersama sebuah masyarakat terutama dalam kehidupan negara-kota telah dimulai di Yunani, kira-kira pada abad 6 SM. Kebanyakan kita sudah tahu bahwa kata demokrasi ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Dalam pengertian umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan aspirasi orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Namun, dalam dalam tampilannya yang modern, sistem pemerintahan demokrasi disebut-sebut sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut monarkhi. Demokrasi yang kita kenal sekarang, sejatinya adalah produk dunia modern. Reformasi Luther di abad 16, antara lain telah melahirkan semangat kritik, kemajuan dan subjektifitas. Semangat inilah yang kemudian melahirkan beragam pendekatan keilmuan, antara lain rasionalisme, empirisme dan positivisme. Berikut berbagai ideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan nasionalisme, adalah juga produk dari modernisasi dalam hal berpikir tersebut. Hasil dari modernisasi berpikir ini antara lain munculnya Revolusi Amerika 1775-1783, Revolusi Perancis pada tahun 1789 serta Revolusi Industri di Inggris.
Demokrasi yang dikampanye-kampanyekan dan digalak-galakan di Dunia Ketiga, seperti di Indonesia dewasa ini, pada dasanya adalah untuk melanjutkan idealisme pemikiran modern Eropa itu. Negara bangsa di Dunia Ketiga, pada proses kelahirannya kebanyakan terinspirasi dari ide-ide demokrasi yang berkembang sejak Revolusi Amerika, Perancis dan Industri Inggris tersebut. Oswaldo de Rivero dalam bukunya The Myth Of Development (2008), bahkan dengan tegas mengatakan, Revolusi Industri di Eropa dan Amerika itulah yang telah memberi sentuhan terakhir kepada bentuk Negara bangsa yang dikenal sekarang ini.
Gagasan-gagasan dasar demokrasi yang dihasilkan oleh pemikiran modern Barat itu berkisar pada kebebasan, keadilan, perdamaian, dan persamaan hak. Bandingkan dengan apa yang kemudian terkenal dari Revolusi Perancis itu: persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Yang mendahului revolusi-revolusi itu adalah sejumlah pemikiran-pemikiran kritis di kalangan filsuf, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Rosseau dan lain sebagainya. Tapi, apakah benar, idealisme demokrasi itu benar-benar nyata dalam prakteknya?
Demokrasi dan Proyek Hegemoni Negara
Pada banyak hal, pemikiran-pemikiran yang rasionalistik sejumlah pemikir Eropa ini juga telah ikut membidani lahirnya Revolusi Industri yang ikut melembagakan kapitalisme di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang ekonomi yang masih merupakan persoalan di sejumlah negara bangsa di Dunia Ketiga hingga dewasa ini, antara lain juga adalah warisan dari sistem ekonomi yang lahir di masa-masa menguatnya rasionalisme abad 18-19 itu. Bahkan, bisa kita duga bahwa sistem pemerintahan demokrasi sepertinya adalah cara yang sengaja untuk dikampanyekan dan digalakkan di Dunia Ketiga pada masa-masa kelahirannya di awal abad 20 adalah untuk memuluskan penguasaan di bidang ekonomi oleh Negara-negara Eropa dan Amerika khusunya hingga hari ini. Kapitalisme, rupanya menemukan ruangan yang nyaman untuk berkembang ketika begara-negara bangsa melakukan eksprimen untuk menerapkan sistem demokrasi. Mudah-mudahan logika saya ini tidak keliru.
Sebab, menariknya kekuasaan absolut negara yang disebut Hobbes dengan Leviathan, akhirnya kini berubah wajah dalam negara bangsa atas nama nasionalisme. Ketika suatu negara bangsa berhasil berdiri, dan mengalami euphoria yang luar biasa karena kebanggaan berhasil mengusir pihak penjajah asing dari tanahnya, maka demokrasi dipilih sebagai sistem alternatif untuk mengurus negara bangsa baru itu. Pemilu dilaksanakan, yang antara lain untuk memilih penguasa baru, di legislatife dan eksekutif khusunya. Kepala negara baru (presiden atau perdana menteri), yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, diterima sebagai cara yang paling tepat untuk mengganti raja dalam sistem yang monarkhi. Dalam kampanye-kampanye, dan pewacanaanya, baik oleh negara maupun lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, demokrasi akhirnya dibedakan secara radikal dengan sistem monarkhi apalagi teokrasi. Bahwa, dalam sebuah negara bangsa baru yang majemuk, mestinya pemimpin negaranya bukan karena berdasar pada geneologis, atau wangsit dari langit, tapi harus dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan rakyat. Itulah kehendak orang banyak orang yang terlembaga. Wakil-wakil rakyat juga harus dipilih oleh rakyat sebacara langsung, dan mereka yang mendapat suara terbanyaklah yang pantas menjadi media perjuangan aspirasi rakyat. Setidaknya begitu wacana-wacana demokrasi sampai hari ini.
Tapi, cerita berulang. Apa yang dipotret oleh Machiavelli di akhir abad 15 dan awal abad 16 tentang kejahatan politik seorang Cesare Borgia, dan apa yang menjadi ajaran Hobbes di Inggris pada abad ke 17 tentang kelahiran negara, yang pada dasarnya negara itu akhirnya menjadi lembaga hegemoni kebebasan individu, kini menjadi fenomena menyeramkan di negara-negara bangsa yang mempraktekkan sistem demokrasi modern. Leviathan tetap ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam negara bangsa, dia tak lagi seorang raja, melainkan negara.
Pemilu untuk Menghasilkan Tirani Mayoritas
Demokrasi, pada prakteknya, hanyalah bentuk lain dari sistem monarkhi. Bahwa, demokrasi bagaimanapun tetap mengandung kekuasaan. Dan, negara bangsa, yang telah memindahkan kekuasaan absolut itu dari diri seorang raja ke lembaga pemerintahan/rezim atau lebih tepatnya lembaga negara itu, pada akhirnya harus menggunakan kekuasaan untuk menundukkan kebebasan individu. Leviathannya Hobbes, ternyata tak berhasil dihancurkan oleh demokrasi. Ini terjadi, ketika rakyat hanya diposisikan dan ditempatkan sebagai individu-individu pemilih, bukan pengontrol atau yang ikut bersama-sama dalam proses pemerintahan. Rakyat, dengan segala taktik rezim yang terpilih berdasar suara terbanyak itu, selalu diusahakan untuk terasing dari proses bernegara/berpolitik.
Pemilihan Umum (Pemilu), yang dipercayai sebagai satu-satunya cara ideal untuk memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat, dalam sejarahnya hanyalah kemudian untuk mengesahkan penguasaan mayoritas (elit yang memegang kendali kekuasaan/kuat secara kuantitas politik) terhadap minoritas (rakyat yang terasing dari kekuasaan/lemah secara politik). Suara terbanyak sebagai penentu kemenangan dalam sebuah kompetisi dan suksesi dalam sistem demokrasi akhirnya rawan menciptakan penguasa yang lalim dan otoriter (tirani mayoritas). Sejumlah penguasa tiran di era negara bangsa, adalah produk dari Pemilu dalam sistem demokrasi, di mana rakyat diminta harus datang ke tempat-tempat pemungutan suara, apapun bentuk partisipasinya untuk memilih calon-calon penguasa. Karena itulah sehingga Golput dianggap rezim sebagai sikap yang tidak bertanggungjawab untuk pembangunan negara.
Menariknya, sampai saat ini, apa yang disebut Samuel Huntington partisipasi aktif sebagai yang ideal untuk sebuah demokratisasi, belum terbukti, atau memang keliru. Dan era ini yang lebih gila ternyata. Kalau dulu, menjadi raja tiran karena berdasar mitos pemilihan dewa/ilah, tapi di era demokrasi ini menjadi penguasa tiran justru karena dilegitimasi oleh rakyat melalui Pemilu, dan tampilannya seolah-olah logis dan rasionalistik.
Kampanye, seperti yang sedang ramai-ramainya di negara bangsa Indonesia sekarang ini, katanya sebagai sebagai salah satu tahapan Pemilu untuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program partai politik. Sementara partai politik, pada kenyataannya adalah alat atau media negara untuk usaha penundukkan secara terselubung. Dan para caleg, adalah mereka-mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pengkhotbah segala mitos kesejahteraan dari negara. Sebab, segala janji itu, akhirnya hanya akan menjadi mitos, dan barangkali tepatnya takhyul bagi rakyat. Partai politik atas nama demokrasi hanyalah candu bagi kebanyakan rakyat kita.
Bukit inspirasi Tomohon, 22 Maret 2009
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 20.27 0 komentar
Label: esei, MAWALE MOVEMENT
Esei Andreas Harsono: "Jurnalisme Warga (Gereja)".
Seri Pendidikan Media, Komunikasi dan Kebudayaan
Yakoma PGI
HASUDUNGAN Sirait mudah dikenali dengan kumis baplang ala Joseph Stalin. Namun nada bicaranya lembut. Celananya, warna krem model pendaki gunung dengan banyak kantong. Kesannya, bergaya anak muda.
Suatu siang September lalu, saya menemui Sirait di kedai kopi Starbucks di Plasa Semanggi, sebuah mal Jakarta, untuk bicara soal kegiatannya dua tahun terakhir ini. Sirait beberapa kali membantu Yayasan Komunikasi Massa PGI (Yakoma PGI) melatih para pekerja media gereja. PGI singkatan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia adalah organisasi payung 86 gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak berdiri Mei 1950. Saya ingin tahu bagaimana Sirait memandang media komunitas gereja-gereja ini?
Dia memesan kopi. Saya mengambil teh hijau.
“Aku latar belakang HKBP,” katanya.
Huria Kristen Batak Protestan, atau HKBP, adalah gereja dengan sekitar 3 juta anggota. Ini menjadikan HKBP sebagai gereja terbesar, bukan saja di Indonesia, namun juga di Asia Tenggara. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Batak. Pusatnya ada di Pearaja, sebuah desa di Kabupaten Tapanuli Utara.
Sirait menambahkan dia juga pernah memberi pelatihan berbagai media pesantren di Pulau Jawa. Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi nirlaba Jakarta, pernah minta Sirait membantu pelatihan media pesantren. “Aku (dulu) lebih akrab dengan pesantren daripada gereja.”
Ketika Yakoma PGI minta dia ikut melatih media gereja, Sirait minta waktu untuk mempelajari beberapa penerbitan gereja. “Setelah Tobelo dan Batam, baru pemahaman aku lebih komprehensif,” katanya.
Tobelo, sebuah kota di Pulau Halmahera, didatangi Sirait ketika Yakoma PGI mengadakan lokakarya media gereja 24-28 April 2007. Dia juga bicara dalam acara pelatihan 25-29 Juni 2007, yang diadakan Gereja Batak Kristen Protestan, di Pulau Batam. Agustus lalu, Sirait ikut jadi instruktur semiloka “media rakyat” di Manado.
Saya mulai mengenal Hasudungan Sirait ketika rezim Presiden Soeharto membredel mingguan Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994. Kami sama-sama protes pembredelan tersebut. Kami juga sama-sama ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih, pada 7 Agustus 1994, guna mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah serikat wartawan untuk melawan sensor media.
Waktu itu ada peraturan bahwa satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ikut meneken Deklarasi Sirnagalih berarti melanggar hukum. Departemen Penerangan dan PWI minta polisi menindak anggota-anggota AJI. Ada empat kawan kami masuk penjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo, Eko Maryadi dan Tri Agus Siswowiharjo. Sirait dipecat dari PWI. Dia juga kehilangan pekerjaan dari Bisnis Indonesia. Dia lantas bekerja untuk mingguan D&R selama tiga tahun, secara anonim. AJI baru bisa bergerak di atas tanah sesudah Presiden Soeharto mundur dari tahta pada Mei 1998. Empatbelas tahun berlalu, Sirait kini lebih sering jadi instruktur wartawan. Dia tinggal di Bogor, sudah menikah dengan dua anak, serta belakangan merintis majalah bulanan etnik Batak bernama Tatap.
Sirait seorang trainer yang baik. “Wartawan berkualitas,” kata Jufri Simorangkir dari Suara GKPI, bulanan milik Gereja Kristen Protestan Indonesia, yang berpusat di Pematang Siantar. Pendeta Simorangkir mengenal Sirait ketika ikut program di Batam.
Menurut Hasudungan Sirait, persoalan utama media gereja-gereja Protestan di Indonesia, baik di sebelah barat (Jawa dan Sumatera) maupun timur (Sulawesi, Sangir, Talaud, Halmahera, Ambon, Sumba dan sebagainya) adalah kekurangan perhatian dari para pemimpin sinode.
“Pengurus media pesantren hebat, sumber daya manusia berlapis-lapis, training lebih sering diadakan di kalangan pesantren. Yang bisa menyamai teman-teman Muslim hanya media Katholik,” kata Sirait.
“Kecenderungan sinode (gereja Protestan) gagah-gagahan bikin media.”
Namun alokasi biaya sedikit, tidak ada tim khusus, tidak ada guidance. “Kalau terbit ya sekali setahun atau dua kali.”
Isi media gereja-gereja Protestan, cenderung masih hanya khotbah, peletakan batu pertama atau seremoni gereja. Dari segi tata letak, umumnya tidak menarik. Kebanyakan media gereja sangat tergantung hanya pada kerajinan dan ketekunan pengurus media itu sendiri. “Kalau yang ngurus rajin, ya sering terbit, kalau tidak, ya ngacak.” Banyak pengelola media gereja mengharapkan ada kebijakan khusus dari gereja agar media dikelola sungguh-sungguh. Namun ketika pengurus media bikin terobosan sendiri, mereka sering diveto oleh sinode.
Saya menelepon Greenhill Weol di Tomohon untuk minta masukannya soal media gereja di Minahasa. Weol redaktur budaya radio Suara Minahasa. Tomohon adalah ibukota intelektual Minahasa. Markas besar Gereja Masehi Injili Minahasa, gereja terbesar di Pulau Sulawesi, juga terletak di Tomohon. Radio Suara Minahasa dikelola oleh Yayasan Suara Nurani pimpinan Bert A. Supit, seorang cendekiawan Minahasa, yang dulu juga mengurus GMIM. Weol mengatakan di Minahasa, GMIM juga punya beberapa penerbitan namun kadang-kadang terbit, kadang-kadang tidak. “Dana ada kalau ada proyek politik,” kata Weol. Maksudnya, bila ada politikus Minahasa lagi kampanye, dia bisa memberikan dana kepada penerbitan gereja. “Asal ada tiga atau lima fotonya dimuat,” kata Weol. Politisi Minahasa, tentu saja, suka berdekatan dengan GMIM mengingat gereja ini paling besar di Sulawesi Utara.
Pendeta Jufri Simorangkir cerita pada Februari 2006, dia ditunjuk sinode Gereja Kristen Protestan Indonesia menyunting Suara GKPI. “Dua tahun saya mengelola majalah ini sendirian. Saya yang mengetik. Saya yang ambil foto. Saya yang antar ke percetakan. Saya yang distribusi.” Tebal majalah antara 90 hingga 112 halaman.
Setiap bulan, Simorangkir mengambil hasil cetakan majalah di Medan. Dalam perjalanan pulang Medan-Pematang Siantar, biasa ditempuh tiga jam, Simorangkir dan seorang sopir mengantar 1,200 dari 3,000 Suara GKPI ke berbagai jemaat GKPI.
Menariknya, ketika ditunjuk untuk mengelola Suara GKPI, Simorangkir bahkan belum kenal komputer. “Modal kosong semua!” katanya. Dia harus belajar mengetik. Pelatihan Yakoma PGI, yang diikutinya di Batam, dinilainya sangat berguna. Dia belajar bahwa ruang redaksi dan usaha harus dipisah. Kini Suara GKPI sudah mendapat tambahan seorang karyawan. Simorangkir juga tidak menambah materi khotbah di Suara GKPI. Bahkan majalahnya kini sudah ada cerita pendek, humor dan banyak berita.
Simorangkir memuji majalah milik Gereja Batak Karo Protestan dan Gereja Kristen Protestan Simalungun. “Mereka sudah lebih terbuka. Iklan-iklan sudah masuk.”
Saya tanya Sirait, dari pengalamannya melatih media gereja, media mana saja yang tergolong baik?
“Yang paling baik GKJW Malang,” jawabnya.
“Rapi sekali mereka.”
Gereja Kristen Jawi Wetan, atau GKJW, adalah gereja Jawa timuran dengan pusat kota Malang. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Jawa. Sinode gereja ini didirikan pada Desember 1931. Kini anggotanya sekitar 150,000 orang. Jumlah ini sangat kecil bila diingat Jawa Timur adalah basis Nahdlatul Ulama. Total populasi Provinsi Jawa Timur sekitar 34.5 juta dan sekitar 96 persen warga Muslim.
Sirait mengatakan ketika membaca Warta GKJW, dia merasa pengelola Warta GKJW terlihat upayanya serius melibatkan umat. Ada lembaran remaja, ada lembar orang tua, ada berita perkembangan di kitaran warga. Jufri Simorangkir juga setuju dengan kesimpulan Sirait. Simorangkir menyebut Warta GKJW mirip “majalah sekuler” … walau 80 persen isinya “soal rohani.”
Di kalangan HKBP sendiri, menurut Sirait, ada majalah Immanuel yang sudah berumur 120 tahun dan terbit dari Peuraja. Majalah bulanan ini terbit terus-menerus, tidak terganggu, dulu format kecil, kini format majalah. “Cuma isinya sabda pendeta semua.”
“Sayang!”
“Pengasuhnya pendeta semua.”
Saya mengalami kesulitan menghubungi Siman P. Hutahean, pendeta yang merangkap pemimpin redaksi Immanuel. Saya hubungi lebih dari 10 kali lewat telepon HKBP Peuraja, namun tak berhasil. Hutahean termasuk pendeta yang ikut acara Yakoma PGI di Batam.
Kalau format Immanuel tidak bisa ditawar, Sirait usul HKBP bikin outlet yang lebih interaktif, untuk remaja, anak-anak dan dewasa. Dunia media sudah berubah. Kini sudah ada televisi, internet, radio komunitas, blog, You Tube, Facebook dan macam-macam. Namun mayoritas media gereja masih bergulat dengan majalah. Media gereja kurang dalam banyak hal. “Cari duit nggak susah, cari orang yang susah. (Media) Katolik jauh lebih baik,” katanya.
Media gereja Protestan, juga kurang berkembang karena ada kekuatiran di kalangan sinode, media bisa jadi bumerang. “Takut disasar. Padahal tidak juga,” kata Sirait.
Dampaknya, ada kesenjangan informasi antara gereja dan umat. Umat sangat dinamis, dapat informasi dari mana-mana. “Itu tidak bisa diimbangi gereja. Paradigma gereja tidak berubah. Mereka cenderung menapis, semacam pakai kacamata kuda.”
Kalau informasi umum juga ada di media gereja, maka gereja bisa memberitahu soal, misalnya, mengapa harga-harga bahan pangan naik atau mengapa banyak korupsi. “Gereja nggak hanya isinya khotbah soal keselamatan,” kata Sirait.
Dia berpendapat media gereja seharusnya jadi media komunitas, “Dari kita, untuk kita. Bagaimana antara jemaat gereja bisa sharing pengalaman? Itu tidak mereka dapatkan dari Kompas atau Suara Pembaruan atau Suara Merdeka.”
Pukul dua siang, Hasudungan Sirait bilang mau pulang agar bisa tepat waktu untuk “memandikan anak.” Saya tersenyum. Si kumis baplang ini bahagia sekali bisa memandikan anak-anaknya setiap sore. Kami meninggalkan Plasa Semanggi.
PADA awal Juli 2008, selama empat hari saya jadi trainer dalam sebuah pelatihan situs web Panyingkul.com di Makassar. Kata "panyingkul" dalam bahasa Makassar artinya persikuan atau pertigaan. Panyingkul sebuah media nirlaba, yang mengusung citizen journalism atau "jurnalisme orang biasa."
Pesertanya ada 11 orang. Pelatihan diadakan di Biblioholic, sebuah perpustakaan publik, di Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9. Perpustakaan ini terletak dalam sebuah rumah besar yang disewa oleh Matsui Kazuhisa, seorang konsultan Japan International Cooperation Agency. Matsui meminjamkan ruang tamu serta lantai dua rumah ini untuk kegiatan anak-anak muda. Siang malam, selalu ada anak muda berkumpul.
Panyingkul.com menyebut para wartawannya sebagai "citizen reporter." Sengaja dalam bahasa Inggris, sesuai terminologi aslinya dari Oh My News, sebuah situs web dari Korea Selatan, agar tak timbul salah paham. Lily Yulianti, redaktur Panyingkul, mengatakan rekan-rekannya dari Oh My News International di Norwegia, Israel maupun Brazil, juga tak menterjemahkan "citizen reporter" ke bahasa masing-masing. Mereka tetap pakai istilah “citizen reporter.” Lily kini bekerja sebagai wartawan radio NHK di Tokyo. Dia dulu juga pernah bekerja untuk harian Kompas dari Makassar.
Panyingkul adalah sebuah fenomena penting dalam jurnalisme di Makassar. Tujuan mereka melawan dominasi media mainstream yang meletakkan loyalitas terhadap warga lebih rendah daripada loyalitas kepada pemilik media, penguasa maupun pemasang iklan. Lily rajin melancarkan kritik terhadap media Makassar macam harian Fajar maupun Tribun Timur.
Selama empat hari, kami belajar dengan macam-macam contoh. Saya mengajak peserta diskusi soal-soal dasar dalam jurnalisme. Bagaimana bikin wawancara? Bagaimana merekam dan menulis deskripsi? Bagaimana menggunakan monolog dan dialog? Kami juga membaca beberapa naskah, termasuk "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah, maupun "Hiroshima" karya John Hersey. Kami juga menonton dokumentasi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Para peserta punya background macam-macam. Ada arkeolog, ada pelaut, ada peneliti. Beberapa mahasiswa juga ikutan. Ketika memeriksa pekerjaan rumah mereka, saya senang melihat kecepatan mereka menangkap materi latihan.
Saya bertanya-tanya mengapa media gereja tak mencoba mengarah pada citizen journalism macam Panyingkul.com?
Panyingkul.com maupun Warta GKJW sama-sama merupakan media komunitas. Satu melayani komunitas Makassar. Satunya melayani komunitas gereja Jawa Timur. Mereka dipersatukan oleh semangat melayani warga masing-masing lewat jurnalisme.
Singkat kata, kebanyakan media, dari Immanuel hingga Suara Pembaruan, dari BBC World Service hingga Al Jazeera, melayani komunitas sesuai khayalan mereka masing-masing. Internet membuat batas khayalan menjadi lebih terbuka. Internet membuat semua orang, yang mengerti bahasa media terkait, secara teoritis bisa membaca apa isi media tersebut. Media gereja teoritis bisa mengembangkan diri lewat citizen journalism dengan melibatkan warga-warga gereja ikut mengisi media mereka.
Namun Pendeta Jufri Simorangkir memberi tanggapan. “Kelemahan majalah gereja adalah dia jadi corong pimpinan.”
Saya kira pernyataan Simorangkir, maupun kritik Sirait, mengingatkan saya bahwa media gereja kebanyakan belum menjalankan jurnalisme. Ia lebih tepat dikategorikan sebagai public relation atau propaganda. Boro-boro bicara soal citizen journalism. Jurnalisme biasa pun belum berjalan.
Propaganda adalah suatu peliputan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan kekuasaan, yang menguasai media komunikasi tersebut. Jarak propaganda dan jurnalisme bisa lebar, tapi juga bisa sangat tipis.
Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Menyamakan propaganda dengan jurnalisme, atau menyamakan pengabaran injil dengan jurnalisme, saya kira akan menciptakan kebingungan yang serius, dengan daya rusak besar. Saya kira masalah ini perlu didiskusikan dengan jernih di kalangan gereja-gereja Protestan.
Media gereja seharusnya bekerja berdasar prinsip-prinsip jurnalisme umum. Bukan berdasarkan pada theologi Kristen. Bukan berdasar pula pada pendekatan gothak-gathok “jurnalisme Kristiani.” Saya harus menyebut isu ini karena belakangan ada saja orang yang mencoba menawarkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme Islami.” Jargon-jargon ini akan menciptakan kekaburan. Kalau jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda.
Media gereja seyogyanya dipikirkan lebih luas untuk kepentingan umat. Ia lebih baik diletakkan secara independen dari struktur sinode. Para redakturnya tidak ikut duduk dalam kepengurusan sinode.
Namun saya juga sadar bahwa tidak semua orang, termasuk pengelola media gereja, bisa punya pemahaman yang serius terhadap suatu isu, apalagi banyak isu. Ini juga terjadi dalam dunia wartawan mainstream. Namun inilah tantangan rutin bagi setiap wartawan, profesional maupun amatir, dalam memahami suatu isu dan menuliskannya. Para pemimpin sinode sudah selayaknya mulai belajar memahami jurnalisme dan mengubah cara pandang mereka terhadap media gereja. Propaganda sebaiknya diubah jadi jurnalisme.
Lantas apakah jurnalisme itu?
Pada April 2001, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan Washington D.C., menerbitkan buku The Elements of Journalism. Mereka menyajikan sembilan elemen jurnalisme sesudah bikin diskusi dan wawancara dengan 1.200 wartawan selama tiga tahun. Buku itu segera dianggap sebagai referensi penting para wartawan. Ia diterjemahkan ke puluhan bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia, dan dijadikan pegangan banyak ruang redaksi. Di Jakarta, ia dipakai oleh Kompas, The Jakarta Post, Tempo, Republika, Jawa Pos dan sebagainya. Pada 2007, Kovach dan Rosenstiel menerbitkan edisi revisi dimana mereka menambahkan elemen kesepuluh khusus soal hak dan tanggungjawab warga.
Saya kira sepuluh elemen ini menerangkan dengan jernih apa jurnalisme itu.
• Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran;
• Loyalitas utama jurnalisme kepada warga;
• Esensi jurnalisme adalah verifikasi;
• Para praktisi jurnalisme harus menjaga independensi mereka dari sumber-sumber mereka;
• Jurnalisme harus berlaku sebagia pemantau kekuasaan;
• Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga;
• Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting jadi menarik dan relevan;
• Jurnalisme harus menjaga agar berita menjadi komprehensif dan proporsional;
• Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka;
• Warga punya hak dan kewajiban dalam jurnalisme.
Elemen kesepuluh muncul karena apa yang disebut Lily Yulianti sebagai citizen journalism. Intinya, warga punya hak dan kewajiban ikut berpartisipasi dalam mencari, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi. Elemen kesepuluh muncul, tentu saja, disebabkan oleh teknologi internet: blog, kamera telepon, You Tube, Facebook dan sebagainya. Ia membuat warga bisa berperan secara lebih luas dalam jurnalisme. Panyingkul.com membuktikan bahwa warga biasa, kebanyakan non-wartawan, bisa mengelola situs web, yang hendak menandingi media mainstream di Makassar.
Saya kira media gereja sulit menghindar dari trend ini. Cepat atau lambat, bila gereja mau tetap relevan, mereka harus membuka pintu terhadap “citizen reporter.” Blog akan jadi ujung tombak perubahan. Saya mulai memperhatikan banyak sekali anak-anak muda Kristen bicara soal Tuhan lewat blog. Media gereja bisa berkembang dengan melakukan kolaborasi lewat blogger.
Priambodo RH dari Lembaga Pers Dr. Soetomo mengatakan Agustus lalu ada sekitar 650 ribu blog di Indonesia. Jumlahnya akan meningkat seiring meningkatnya penggunaan internet. “Perkembangan jurnalisme warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran.”
Namun banyak wartawan ragu apakah orang yang kurang terlatih dalam jurnalisme bisa menulis berita secara bertanggungjawab? Ada yang menyebut kehadiran internet menciptakan “tsunami informasi.” Isinya, kebanyakan copy-paste dan sampah. Kekuatiran ini bukan tanpa dasar. Mei lalu, Roy Thaniago, seorang mahasiswa Jakarta, menulis berita dalam blog miliknya http://thaniago.blogspot.com/ “Pastor Kemalingan, Karyawan Paroki Dipukul Polisi.”
Thaniago mempertanyakan mengapa seorang karyawan Paroki Bunda Hati Kudus, dicurigai dan dilaporkan ke polisi oleh satu pemuka gereja gara-gara pastor kehilangan uang tunai Rp 15 juta dan dua kamera. Dia menulis tanpa melakukan verifikasi pada pastor maupun si pemuka gereja. Dia sempat bikin repot gereja. Cukup ramailah!
Citizen journalism bukannya tanpa masalah. Priambodo membuat 10 panduan bagi “citizen reporter.” Mereka tidak boleh melakukan plagiat; harus cek dan ricek fakta; jangan menggunakan sumber anonim; perhatikan dan peduli hukum; utarakan rahasia secara hati-hati; hati-hati dengan opini narasumber; pelajari batas daya ingatan orang; hindari konflik kepentingan; dilarang lakukan pelecehan; serta pertimbangkan setiap pendapat.
Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu komunitas, maka makin bermutu pula informasi dalam komunitas itu. Maka makin bermutu pula komunitas tersebut. Saya juga percaya senantiasa ada orang macam Hasudungan Sirait, yang tulus membantu para “citizen reporter” maupun media gereja untuk belajar jurnalisme dengan teratur.
“Benar sekali kritik Pak Hasudungan itu. Kalau GKPI punya orang macam Pak Hasudungan Sirait, pasti kami pakai orang berkualitas itu,” kata pendeta Simorangkir.
Red:
Andreas Harsono wartawan, pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok), Associated Press Television (Hong Kong), The Star (Kuala Lumpur) dan Yayasan Pantau (Jakarta). Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000. Kini sedang menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.
Kamis, 12 Maret 2009 | Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.58 0 komentar
Label: esei
Esei Andreas Harsono: "Jurnalisme Warga (Gereja)".
Seri Pendidikan Media, Komunikasi dan Kebudayaan
Yakoma PGI
HASUDUNGAN Sirait mudah dikenali dengan kumis baplang ala Joseph Stalin. Namun nada bicaranya lembut. Celananya, warna krem model pendaki gunung dengan banyak kantong. Kesannya, bergaya anak muda.
Suatu siang September lalu, saya menemui Sirait di kedai kopi Starbucks di Plasa Semanggi, sebuah mal Jakarta, untuk bicara soal kegiatannya dua tahun terakhir ini. Sirait beberapa kali membantu Yayasan Komunikasi Massa PGI (Yakoma PGI) melatih para pekerja media gereja. PGI singkatan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia adalah organisasi payung 86 gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak berdiri Mei 1950. Saya ingin tahu bagaimana Sirait memandang media komunitas gereja-gereja ini?
Dia memesan kopi. Saya mengambil teh hijau.
“Aku latar belakang HKBP,” katanya.
Huria Kristen Batak Protestan, atau HKBP, adalah gereja dengan sekitar 3 juta anggota. Ini menjadikan HKBP sebagai gereja terbesar, bukan saja di Indonesia, namun juga di Asia Tenggara. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Batak. Pusatnya ada di Pearaja, sebuah desa di Kabupaten Tapanuli Utara.
Sirait menambahkan dia juga pernah memberi pelatihan berbagai media pesantren di Pulau Jawa. Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi nirlaba Jakarta, pernah minta Sirait membantu pelatihan media pesantren. “Aku (dulu) lebih akrab dengan pesantren daripada gereja.”
Ketika Yakoma PGI minta dia ikut melatih media gereja, Sirait minta waktu untuk mempelajari beberapa penerbitan gereja. “Setelah Tobelo dan Batam, baru pemahaman aku lebih komprehensif,” katanya.
Tobelo, sebuah kota di Pulau Halmahera, didatangi Sirait ketika Yakoma PGI mengadakan lokakarya media gereja 24-28 April 2007. Dia juga bicara dalam acara pelatihan 25-29 Juni 2007, yang diadakan Gereja Batak Kristen Protestan, di Pulau Batam. Agustus lalu, Sirait ikut jadi instruktur semiloka “media rakyat” di Manado.
Saya mulai mengenal Hasudungan Sirait ketika rezim Presiden Soeharto membredel mingguan Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994. Kami sama-sama protes pembredelan tersebut. Kami juga sama-sama ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih, pada 7 Agustus 1994, guna mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah serikat wartawan untuk melawan sensor media.
Waktu itu ada peraturan bahwa satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ikut meneken Deklarasi Sirnagalih berarti melanggar hukum. Departemen Penerangan dan PWI minta polisi menindak anggota-anggota AJI. Ada empat kawan kami masuk penjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo, Eko Maryadi dan Tri Agus Siswowiharjo. Sirait dipecat dari PWI. Dia juga kehilangan pekerjaan dari Bisnis Indonesia. Dia lantas bekerja untuk mingguan D&R selama tiga tahun, secara anonim. AJI baru bisa bergerak di atas tanah sesudah Presiden Soeharto mundur dari tahta pada Mei 1998. Empatbelas tahun berlalu, Sirait kini lebih sering jadi instruktur wartawan. Dia tinggal di Bogor, sudah menikah dengan dua anak, serta belakangan merintis majalah bulanan etnik Batak bernama Tatap.
Sirait seorang trainer yang baik. “Wartawan berkualitas,” kata Jufri Simorangkir dari Suara GKPI, bulanan milik Gereja Kristen Protestan Indonesia, yang berpusat di Pematang Siantar. Pendeta Simorangkir mengenal Sirait ketika ikut program di Batam.
Menurut Hasudungan Sirait, persoalan utama media gereja-gereja Protestan di Indonesia, baik di sebelah barat (Jawa dan Sumatera) maupun timur (Sulawesi, Sangir, Talaud, Halmahera, Ambon, Sumba dan sebagainya) adalah kekurangan perhatian dari para pemimpin sinode.
“Pengurus media pesantren hebat, sumber daya manusia berlapis-lapis, training lebih sering diadakan di kalangan pesantren. Yang bisa menyamai teman-teman Muslim hanya media Katholik,” kata Sirait.
“Kecenderungan sinode (gereja Protestan) gagah-gagahan bikin media.”
Namun alokasi biaya sedikit, tidak ada tim khusus, tidak ada guidance. “Kalau terbit ya sekali setahun atau dua kali.”
Isi media gereja-gereja Protestan, cenderung masih hanya khotbah, peletakan batu pertama atau seremoni gereja. Dari segi tata letak, umumnya tidak menarik. Kebanyakan media gereja sangat tergantung hanya pada kerajinan dan ketekunan pengurus media itu sendiri. “Kalau yang ngurus rajin, ya sering terbit, kalau tidak, ya ngacak.” Banyak pengelola media gereja mengharapkan ada kebijakan khusus dari gereja agar media dikelola sungguh-sungguh. Namun ketika pengurus media bikin terobosan sendiri, mereka sering diveto oleh sinode.
Saya menelepon Greenhill Weol di Tomohon untuk minta masukannya soal media gereja di Minahasa. Weol redaktur budaya radio Suara Minahasa. Tomohon adalah ibukota intelektual Minahasa. Markas besar Gereja Masehi Injili Minahasa, gereja terbesar di Pulau Sulawesi, juga terletak di Tomohon. Radio Suara Minahasa dikelola oleh Yayasan Suara Nurani pimpinan Bert A. Supit, seorang cendekiawan Minahasa, yang dulu juga mengurus GMIM. Weol mengatakan di Minahasa, GMIM juga punya beberapa penerbitan namun kadang-kadang terbit, kadang-kadang tidak. “Dana ada kalau ada proyek politik,” kata Weol. Maksudnya, bila ada politikus Minahasa lagi kampanye, dia bisa memberikan dana kepada penerbitan gereja. “Asal ada tiga atau lima fotonya dimuat,” kata Weol. Politisi Minahasa, tentu saja, suka berdekatan dengan GMIM mengingat gereja ini paling besar di Sulawesi Utara.
Pendeta Jufri Simorangkir cerita pada Februari 2006, dia ditunjuk sinode Gereja Kristen Protestan Indonesia menyunting Suara GKPI. “Dua tahun saya mengelola majalah ini sendirian. Saya yang mengetik. Saya yang ambil foto. Saya yang antar ke percetakan. Saya yang distribusi.” Tebal majalah antara 90 hingga 112 halaman.
Setiap bulan, Simorangkir mengambil hasil cetakan majalah di Medan. Dalam perjalanan pulang Medan-Pematang Siantar, biasa ditempuh tiga jam, Simorangkir dan seorang sopir mengantar 1,200 dari 3,000 Suara GKPI ke berbagai jemaat GKPI.
Menariknya, ketika ditunjuk untuk mengelola Suara GKPI, Simorangkir bahkan belum kenal komputer. “Modal kosong semua!” katanya. Dia harus belajar mengetik. Pelatihan Yakoma PGI, yang diikutinya di Batam, dinilainya sangat berguna. Dia belajar bahwa ruang redaksi dan usaha harus dipisah. Kini Suara GKPI sudah mendapat tambahan seorang karyawan. Simorangkir juga tidak menambah materi khotbah di Suara GKPI. Bahkan majalahnya kini sudah ada cerita pendek, humor dan banyak berita.
Simorangkir memuji majalah milik Gereja Batak Karo Protestan dan Gereja Kristen Protestan Simalungun. “Mereka sudah lebih terbuka. Iklan-iklan sudah masuk.”
Saya tanya Sirait, dari pengalamannya melatih media gereja, media mana saja yang tergolong baik?
“Yang paling baik GKJW Malang,” jawabnya.
“Rapi sekali mereka.”
Gereja Kristen Jawi Wetan, atau GKJW, adalah gereja Jawa timuran dengan pusat kota Malang. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Jawa. Sinode gereja ini didirikan pada Desember 1931. Kini anggotanya sekitar 150,000 orang. Jumlah ini sangat kecil bila diingat Jawa Timur adalah basis Nahdlatul Ulama. Total populasi Provinsi Jawa Timur sekitar 34.5 juta dan sekitar 96 persen warga Muslim.
Sirait mengatakan ketika membaca Warta GKJW, dia merasa pengelola Warta GKJW terlihat upayanya serius melibatkan umat. Ada lembaran remaja, ada lembar orang tua, ada berita perkembangan di kitaran warga. Jufri Simorangkir juga setuju dengan kesimpulan Sirait. Simorangkir menyebut Warta GKJW mirip “majalah sekuler” … walau 80 persen isinya “soal rohani.”
Di kalangan HKBP sendiri, menurut Sirait, ada majalah Immanuel yang sudah berumur 120 tahun dan terbit dari Peuraja. Majalah bulanan ini terbit terus-menerus, tidak terganggu, dulu format kecil, kini format majalah. “Cuma isinya sabda pendeta semua.”
“Sayang!”
“Pengasuhnya pendeta semua.”
Saya mengalami kesulitan menghubungi Siman P. Hutahean, pendeta yang merangkap pemimpin redaksi Immanuel. Saya hubungi lebih dari 10 kali lewat telepon HKBP Peuraja, namun tak berhasil. Hutahean termasuk pendeta yang ikut acara Yakoma PGI di Batam.
Kalau format Immanuel tidak bisa ditawar, Sirait usul HKBP bikin outlet yang lebih interaktif, untuk remaja, anak-anak dan dewasa. Dunia media sudah berubah. Kini sudah ada televisi, internet, radio komunitas, blog, You Tube, Facebook dan macam-macam. Namun mayoritas media gereja masih bergulat dengan majalah. Media gereja kurang dalam banyak hal. “Cari duit nggak susah, cari orang yang susah. (Media) Katolik jauh lebih baik,” katanya.
Media gereja Protestan, juga kurang berkembang karena ada kekuatiran di kalangan sinode, media bisa jadi bumerang. “Takut disasar. Padahal tidak juga,” kata Sirait.
Dampaknya, ada kesenjangan informasi antara gereja dan umat. Umat sangat dinamis, dapat informasi dari mana-mana. “Itu tidak bisa diimbangi gereja. Paradigma gereja tidak berubah. Mereka cenderung menapis, semacam pakai kacamata kuda.”
Kalau informasi umum juga ada di media gereja, maka gereja bisa memberitahu soal, misalnya, mengapa harga-harga bahan pangan naik atau mengapa banyak korupsi. “Gereja nggak hanya isinya khotbah soal keselamatan,” kata Sirait.
Dia berpendapat media gereja seharusnya jadi media komunitas, “Dari kita, untuk kita. Bagaimana antara jemaat gereja bisa sharing pengalaman? Itu tidak mereka dapatkan dari Kompas atau Suara Pembaruan atau Suara Merdeka.”
Pukul dua siang, Hasudungan Sirait bilang mau pulang agar bisa tepat waktu untuk “memandikan anak.” Saya tersenyum. Si kumis baplang ini bahagia sekali bisa memandikan anak-anaknya setiap sore. Kami meninggalkan Plasa Semanggi.
PADA awal Juli 2008, selama empat hari saya jadi trainer dalam sebuah pelatihan situs web Panyingkul.com di Makassar. Kata "panyingkul" dalam bahasa Makassar artinya persikuan atau pertigaan. Panyingkul sebuah media nirlaba, yang mengusung citizen journalism atau "jurnalisme orang biasa."
Pesertanya ada 11 orang. Pelatihan diadakan di Biblioholic, sebuah perpustakaan publik, di Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9. Perpustakaan ini terletak dalam sebuah rumah besar yang disewa oleh Matsui Kazuhisa, seorang konsultan Japan International Cooperation Agency. Matsui meminjamkan ruang tamu serta lantai dua rumah ini untuk kegiatan anak-anak muda. Siang malam, selalu ada anak muda berkumpul.
Panyingkul.com menyebut para wartawannya sebagai "citizen reporter." Sengaja dalam bahasa Inggris, sesuai terminologi aslinya dari Oh My News, sebuah situs web dari Korea Selatan, agar tak timbul salah paham. Lily Yulianti, redaktur Panyingkul, mengatakan rekan-rekannya dari Oh My News International di Norwegia, Israel maupun Brazil, juga tak menterjemahkan "citizen reporter" ke bahasa masing-masing. Mereka tetap pakai istilah “citizen reporter.” Lily kini bekerja sebagai wartawan radio NHK di Tokyo. Dia dulu juga pernah bekerja untuk harian Kompas dari Makassar.
Panyingkul adalah sebuah fenomena penting dalam jurnalisme di Makassar. Tujuan mereka melawan dominasi media mainstream yang meletakkan loyalitas terhadap warga lebih rendah daripada loyalitas kepada pemilik media, penguasa maupun pemasang iklan. Lily rajin melancarkan kritik terhadap media Makassar macam harian Fajar maupun Tribun Timur.
Selama empat hari, kami belajar dengan macam-macam contoh. Saya mengajak peserta diskusi soal-soal dasar dalam jurnalisme. Bagaimana bikin wawancara? Bagaimana merekam dan menulis deskripsi? Bagaimana menggunakan monolog dan dialog? Kami juga membaca beberapa naskah, termasuk "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah, maupun "Hiroshima" karya John Hersey. Kami juga menonton dokumentasi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Para peserta punya background macam-macam. Ada arkeolog, ada pelaut, ada peneliti. Beberapa mahasiswa juga ikutan. Ketika memeriksa pekerjaan rumah mereka, saya senang melihat kecepatan mereka menangkap materi latihan.
Saya bertanya-tanya mengapa media gereja tak mencoba mengarah pada citizen journalism macam Panyingkul.com?
Panyingkul.com maupun Warta GKJW sama-sama merupakan media komunitas. Satu melayani komunitas Makassar. Satunya melayani komunitas gereja Jawa Timur. Mereka dipersatukan oleh semangat melayani warga masing-masing lewat jurnalisme.
Singkat kata, kebanyakan media, dari Immanuel hingga Suara Pembaruan, dari BBC World Service hingga Al Jazeera, melayani komunitas sesuai khayalan mereka masing-masing. Internet membuat batas khayalan menjadi lebih terbuka. Internet membuat semua orang, yang mengerti bahasa media terkait, secara teoritis bisa membaca apa isi media tersebut. Media gereja teoritis bisa mengembangkan diri lewat citizen journalism dengan melibatkan warga-warga gereja ikut mengisi media mereka.
Namun Pendeta Jufri Simorangkir memberi tanggapan. “Kelemahan majalah gereja adalah dia jadi corong pimpinan.”
Saya kira pernyataan Simorangkir, maupun kritik Sirait, mengingatkan saya bahwa media gereja kebanyakan belum menjalankan jurnalisme. Ia lebih tepat dikategorikan sebagai public relation atau propaganda. Boro-boro bicara soal citizen journalism. Jurnalisme biasa pun belum berjalan.
Propaganda adalah suatu peliputan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan kekuasaan, yang menguasai media komunikasi tersebut. Jarak propaganda dan jurnalisme bisa lebar, tapi juga bisa sangat tipis.
Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Menyamakan propaganda dengan jurnalisme, atau menyamakan pengabaran injil dengan jurnalisme, saya kira akan menciptakan kebingungan yang serius, dengan daya rusak besar. Saya kira masalah ini perlu didiskusikan dengan jernih di kalangan gereja-gereja Protestan.
Media gereja seharusnya bekerja berdasar prinsip-prinsip jurnalisme umum. Bukan berdasarkan pada theologi Kristen. Bukan berdasar pula pada pendekatan gothak-gathok “jurnalisme Kristiani.” Saya harus menyebut isu ini karena belakangan ada saja orang yang mencoba menawarkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme Islami.” Jargon-jargon ini akan menciptakan kekaburan. Kalau jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda.
Media gereja seyogyanya dipikirkan lebih luas untuk kepentingan umat. Ia lebih baik diletakkan secara independen dari struktur sinode. Para redakturnya tidak ikut duduk dalam kepengurusan sinode.
Namun saya juga sadar bahwa tidak semua orang, termasuk pengelola media gereja, bisa punya pemahaman yang serius terhadap suatu isu, apalagi banyak isu. Ini juga terjadi dalam dunia wartawan mainstream. Namun inilah tantangan rutin bagi setiap wartawan, profesional maupun amatir, dalam memahami suatu isu dan menuliskannya. Para pemimpin sinode sudah selayaknya mulai belajar memahami jurnalisme dan mengubah cara pandang mereka terhadap media gereja. Propaganda sebaiknya diubah jadi jurnalisme.
Lantas apakah jurnalisme itu?
Pada April 2001, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan Washington D.C., menerbitkan buku The Elements of Journalism. Mereka menyajikan sembilan elemen jurnalisme sesudah bikin diskusi dan wawancara dengan 1.200 wartawan selama tiga tahun. Buku itu segera dianggap sebagai referensi penting para wartawan. Ia diterjemahkan ke puluhan bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia, dan dijadikan pegangan banyak ruang redaksi. Di Jakarta, ia dipakai oleh Kompas, The Jakarta Post, Tempo, Republika, Jawa Pos dan sebagainya. Pada 2007, Kovach dan Rosenstiel menerbitkan edisi revisi dimana mereka menambahkan elemen kesepuluh khusus soal hak dan tanggungjawab warga.
Saya kira sepuluh elemen ini menerangkan dengan jernih apa jurnalisme itu.
• Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran;
• Loyalitas utama jurnalisme kepada warga;
• Esensi jurnalisme adalah verifikasi;
• Para praktisi jurnalisme harus menjaga independensi mereka dari sumber-sumber mereka;
• Jurnalisme harus berlaku sebagia pemantau kekuasaan;
• Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga;
• Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting jadi menarik dan relevan;
• Jurnalisme harus menjaga agar berita menjadi komprehensif dan proporsional;
• Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka;
• Warga punya hak dan kewajiban dalam jurnalisme.
Elemen kesepuluh muncul karena apa yang disebut Lily Yulianti sebagai citizen journalism. Intinya, warga punya hak dan kewajiban ikut berpartisipasi dalam mencari, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi. Elemen kesepuluh muncul, tentu saja, disebabkan oleh teknologi internet: blog, kamera telepon, You Tube, Facebook dan sebagainya. Ia membuat warga bisa berperan secara lebih luas dalam jurnalisme. Panyingkul.com membuktikan bahwa warga biasa, kebanyakan non-wartawan, bisa mengelola situs web, yang hendak menandingi media mainstream di Makassar.
Saya kira media gereja sulit menghindar dari trend ini. Cepat atau lambat, bila gereja mau tetap relevan, mereka harus membuka pintu terhadap “citizen reporter.” Blog akan jadi ujung tombak perubahan. Saya mulai memperhatikan banyak sekali anak-anak muda Kristen bicara soal Tuhan lewat blog. Media gereja bisa berkembang dengan melakukan kolaborasi lewat blogger.
Priambodo RH dari Lembaga Pers Dr. Soetomo mengatakan Agustus lalu ada sekitar 650 ribu blog di Indonesia. Jumlahnya akan meningkat seiring meningkatnya penggunaan internet. “Perkembangan jurnalisme warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran.”
Namun banyak wartawan ragu apakah orang yang kurang terlatih dalam jurnalisme bisa menulis berita secara bertanggungjawab? Ada yang menyebut kehadiran internet menciptakan “tsunami informasi.” Isinya, kebanyakan copy-paste dan sampah. Kekuatiran ini bukan tanpa dasar. Mei lalu, Roy Thaniago, seorang mahasiswa Jakarta, menulis berita dalam blog miliknya http://thaniago.blogspot.com/ “Pastor Kemalingan, Karyawan Paroki Dipukul Polisi.”
Thaniago mempertanyakan mengapa seorang karyawan Paroki Bunda Hati Kudus, dicurigai dan dilaporkan ke polisi oleh satu pemuka gereja gara-gara pastor kehilangan uang tunai Rp 15 juta dan dua kamera. Dia menulis tanpa melakukan verifikasi pada pastor maupun si pemuka gereja. Dia sempat bikin repot gereja. Cukup ramailah!
Citizen journalism bukannya tanpa masalah. Priambodo membuat 10 panduan bagi “citizen reporter.” Mereka tidak boleh melakukan plagiat; harus cek dan ricek fakta; jangan menggunakan sumber anonim; perhatikan dan peduli hukum; utarakan rahasia secara hati-hati; hati-hati dengan opini narasumber; pelajari batas daya ingatan orang; hindari konflik kepentingan; dilarang lakukan pelecehan; serta pertimbangkan setiap pendapat.
Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu komunitas, maka makin bermutu pula informasi dalam komunitas itu. Maka makin bermutu pula komunitas tersebut. Saya juga percaya senantiasa ada orang macam Hasudungan Sirait, yang tulus membantu para “citizen reporter” maupun media gereja untuk belajar jurnalisme dengan teratur.
“Benar sekali kritik Pak Hasudungan itu. Kalau GKPI punya orang macam Pak Hasudungan Sirait, pasti kami pakai orang berkualitas itu,” kata pendeta Simorangkir.
Red:
Andreas Harsono wartawan, pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok), Associated Press Television (Hong Kong), The Star (Kuala Lumpur) dan Yayasan Pantau (Jakarta). Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000. Kini sedang menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 08.58 0 komentar
Label: esei
Naskah Teater Andre GB: "Tentang Penantian".
DAFTAR PEMERAN:
1.Sosok I (laki-laki/mayat)
2.Sosok II (perempuan/mayat)
3.Sosok III (laki-laki/penarik tandu)
4.Sosok IV (perempuan/wajah duka)
5.Sosok V (laki-laki/penari 1)
6.Sosok VI (perempuan/penari 2)
Terdengar musik mengalun. Sedang di tengah panggung terdapat dua buah bangku dari kayu panjang yang tanpa sandaran punggung dan sandaran tangan diletakkan sejajar. Posisi dua buah bangku tersebut adalah vertikal. Memanjang memotong panggung. Terdapat jarak sekitar dua depa laki-laki dewasa diantara kedua bangku tersebut. Dan sebuah loyang hitam (bisa terbuat dari plastik atau kaleng) berada sebagai pemisah kedua bangku kayu tersebut. Dalam loyang tersebut, ada berbagai jenis tangkai bunga yang semuanya terbuat dari plastik. Sangat banyak hingga menggunung didalam loyang tersebut. Sedang di kedua sisi bangku kayu tersebut ada dua buah gundukan tak dikenali yang diselimuti oleh kain hitam seutuhnya. Lalu di sisi luar yang semakin mengarah ke pinggiran sayap panggung, terdapat tungku kecil yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Asap putih namun pekat. Sedang di sekeliling semua itu, ada nyala lilin yang melingkari. Tak kalah menyengat bau pewangi mayat yang ikut meramaian kelam.
Di atas kedua bangku kayu tadi, masing-masing terbaring sosok tubuh. Di bangku sebelah kanan (arah kiri penonton) terdapat tubuh perempuan berjubah destar terusan bermotif bunga. Warna-warninya begitu semarak. Kepalanya berada di depan panggung, sedang kepala sosok tubuh yang disebelahnya berada dalam posisi yang berlawanan meski kedua tubuh sosok itu sama-sama memandang keatas. Sedang diatas bangku kayu yang terletak disebelahnya, terdapat tubuh seorang lelaki. Telanjang dada. Sedang celana panjang yang selimuti kakinya berwarna hitam tanpa motif. Menelan pekat busana sosok disebelahnya. Tangan kedua tubuh ini terjalin dan menyatu di atas dada. Menuju ketenangan abadi. Sedang dari atas panggung tampak berjatuhan serpihan kelopak kembang kamboja berwarna putih. Jumlahnya seperti salju.
Salju kelopak kamboja berhenti ketika muncul sosok lain dari sayap kiri panggung.
Sosok III: (Dari arah sisi kiri panggung muncul dengan wajah tertunduk dengan langkah pelan dan berat, menarik sebuah tandu yang terbuat dari kayu dan dianyam dengan rotan hutan. Di atas tandu tersebut terdapat sebuah sarang burung yang terbuat dari ilalang liar, tiga buah nisan beton belum bertulis nama, dan sebilah parang panjang berlumur darah hingga mengeluarkan bau amis. Ada juga beberapa daun kering berukuran besar diatasnya. Menjadi alas dari bangkai ayam jantan yang juga termuat di atas tandu tersebut. Rambutnya yang basah terurai kebawah sedikit menutupi wajahnya.)
(Berjalan terus hingga ke tengah panggung. Tepat membelakangi loyang dan menghadapi sebatang lilin tunggal. Tandu terlepas dari genggaman hingga menghempas tanah. Wajahnya kini diangkat tegak. Terlihat jelas duka dan amarah berpeluk jadi satu. Beberapa saat mengelilingi lilin tersebut lalu kemudian jatuh tersungkur. Tangis yang tertahan terdengar darinya.)
(Mengambil salah satu nisan tak bernama tersebut lalu dengan meski terlihat kasar mengacungkannya ke langit dengan kedua tangannya. Di sertai raungan parau pedih)
Ini adalah sisa dari mezbah nazarku. Janji dan rindu yang dianyam oleh luka menjadi satu. (Nisan secara perlahan mulai diturunkan, kemudian dengan tangan sebelah kiri di sangga berdiri). Ini adalah kelana sukmaku menembus batas sepi. Pelangi yang gagal kulukis di atas bebatuan, cermin yang retak ketika salju senja dan menua, purnama yang yang kutitipkan namun hilang dicium sajak-sajak amis.
Ini adalah kenajisan Tuhan yang bersemayam di pucuk air yang kemarin dikirim kebumi. Tentang tandusnya senyum yang kusalib di sudut-sudut rindu. (Meraung).
(Suara meninggi). Aaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Akan kucincang waktu yang telah meleraiku darimu. Kan kusembelih leher malam yang beri padaku tangis. (Mengambil lilin lalu mengacungkannya keatas). Dalam kesemuan abadi, ditepian remah-remah gelap, kukirimkan doa untukmu. Doa dalam sebentuk daging yang kuiris dari kusut bilik jantungku. Masih merah dan segar, setawar getir yang kini sedang kukunyah. (Menikamkan lilin keperut).
Sosok IV: (Muncul dari sisi kanan panggung. Rambutnya terurai dan menyembunyikan wajahnya yang luka dan duka. Destar terusan putih yang dia gunakan memeluk tubuhnya yang berjalan gontai dan lemah).
Pabila memang Tuhan mau kabulkan pintaku, aku hanya memohon agar waktulah yang mati. Lalu kenapa selalu janji yang harus teringkari? Aku bukan pendendam sepi yang ingin tidur lelap dicambukan bisu. Aku sekedar raga raga sederhana yang percaya pada airmata pasir yang mengendap dilangit, kemudian bersua lagi ketika dewasa. Aku adalah racikan kopi polos dalam lipatan gula. Lagipula daun-daun yang mekar dimusim gugur tak pernah sombongkan diri. (Memeluk tubuh sosok III).
Aku berikan sumpahku padamu, juga pada Tuhanku. Disetiap sujudku, cintamu adalah syahadat bagiku, tanpa kerumitan bahasa. Apakah kau masih ingat ketika kunyalakan korek lalu dengan getir yang terlahir senyum, kudapati sendiri pekat nikotin itu menyetubuhimu. Dan aku jelas cemburu. Sebab kau telah kutebus dari Tuhanmu bahkan dari Tuhanku sekalipun. Kau telah jadi milikku. Biar jadi embun yang menanti surya, meski lupa akan karib kita. Tak mengapa. Bukankah itu juga cinta?
(Berjalan didepan sosok III). Lalu kenapa keabadian ini yang kau pilih? Kenapa bukan tebing yang kau daki? Kenapa bukan arus yang kau perangi? Kau dan aku sama-sama tak kenal siapa itu waktu. Bukankah untukmu telah kubunuh gemerlap masa lalu? Namun, jika ini pilihan, maka jalanmu adalah sunah bagiku. (Mengambil posisi duduk di samping kiri sosok III/sebelah kanan penonton, mengambil botol kecil dari balik kantong bajunya lalu meminumnya).
Kuharap surga kita sama hingga esok pagi bisa kutemukan senyummu untukku. (Mati)
Musik mengalun, dan perlahan dua gundukan yang tertutupi oleh lembaran kain hitam yang berada di samping kedua bangku tampak bergerak. Ternyata ada dua manusia dibalik itu. Seorang laki-laki (Sosok V) dan seorang lagi perempuan (Sosok VI). Laki-laki yang muncul belakangan berada disamping tubuh perempuan yang berada diatas bangku tersebut, sedang perempuan yang muncul belakangan berada disamping tubuh tubuh laki-laki yang terbaring diatas bangku kayu tersebut. Gerakan mereka sangat pelan. Mendekati kedua bangku yang berada disamping mereka. Dari ujung kaki, sampai keujung kepala mereka gerayangi kedua tubuh yang tergeletak di atas bangku tersebut. Masing-masing sendiri. Tenggelam dalam kebisuan gerak yang mereka tarikan. Setelah itu, kedua sosok (Sosok V dan VI) yang muncul belakangan melangkahi kedua kepala masing-masing tubuh yang terbaring diatas bangku tersebut. Lalu bergerak mendekati loyang yang terletak ditengah-tengah pembaringan kedua tubuh tadi. Membongkar gundukan bunga plastik yang ada didalamnya. Mencari sesuatu. Hingga tangkai-tangkai bunga plastik tersebut berhamburan keudara. Setelah tangkai-tangkai bunga didalam loyang tersebut habis dan benda yang mereka cari tak ditemukan, keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Berusaha untuk saling mengenal. Kemudian saling mendekat dan saling menggerayangi.
Sosok VI: Jika memang ini adalah mata yang bekukan hati, kenapa tak kulihat ada namaku terpahat didalamnya?
Sosok V: Dalam pandangku, hanya ada sebentuk rindu dalam sepotong puisi bagi satu cinta saja. Apakah kau bait sajak berikut tuk lengkapi goresan rindu ini?
Sosok VI: Aku adalah kepingan senja bagi harimu, tapi kenapa tak ada tangan angin yang memeluk dan berikan aku kebenaran yang tak kutemukan dari rahim yang melahirkanku?
Sosok V: Nestapaku kini tlah kuceraikan jika memang jumpa ini adalah ikrarku yang terbayarkan. Lalu untuk apa mengundang angin? Biarkanlah angin pergi berlalu seperti masa laluku yang kubunuh dijurang ingat.
Sosok VI: Bumi adalah senyum dalam musim, angin adalah nafas untuk pelangi.
Sosok V: Adalah percuma menangisi musim, nanti juga ia kan berpulang. Sedang pelangi, usahlah kau kejar, sebab jatuhnya selalu kan kebumi meski tanpa kehadiran angin sekalipun.
Sosok VI: Pelangi adalah titian hati menjemput mimpi. Jalan menuju sudut sepi agar kita mencumbui sunyi setibanya disana, dalam genggaman. Apakah kau si pemilik tangan itu?
Sosok V: Cinta hanya sekedar rasa. Sebuah ingin memiliki sampai mati. Genggaman tak pernah abadi, ciuman tak selalu hangat ketika dingin. Janji hanya upaya agar jantung tak membeku di musim panas.
Sosok VI: Lalu apakah jantungmu pernah membeku karena teriris waktu? Dapatkah aku melihat bekas guratan itu?
Sosok V: Itu tinggal kenangan demi gadisku karena tlah kusalibkan masa lalu.
Sosok VI: Aku adalah tubuh yang mencintai ingatan.
Sosok V: Aku juga bukan pemuja lupa.
Sosok VI: Apa kau adalah mentari dalam layu gemerlap malam? Apa kau si pencari embun yang menantiku sejak gelap?
Sosok V: Aku adalah malam yang mencari tetes resapan kemarin.
Sosok VI: Maka kau bukanlah dia, dan ini bukanlah surga yang kau tuju. Karena ini adalah taman penantianku terhadap nazar cinta.
Sosok V: Aku adalah kelana menembus sepi dan kau bukanlah purnama itu. Tapi aku yakin inilah adalah surgaku karena disinilah ku bangun candi janjiku pada kasihku, sang bulan yang tak mampu menyanyi.
Sosok V & VI: Kita bukanlah takdir yang dirajut agar bersama. Kita adalah temu yang terlarang. (Bergerak saling menjauh, kemudian kembali mengerayangi kedua tubuh yang terbaring diatas bangku kayu).
Sosok VI: Mungkinkah kau si empunya pandang yang didalamnya tertulis namaku? Cintamu yang kini menyusulmu dalam kejaran waktu?
Sosok V: Apakah kau si empunya nama yang tersimpan dalam lihatku? Cintamu yang kini menyusulmu dalam kejaran waktu?
Bersamaan dengan itu, kedua tubuh (Sosok I dan Sosok II) yang terbaring diatas bangku bangkit perlahan. Kemudian menggeleng.
Sosok I: Kembara ini baru kumulai. Dan entah dimana akan berakhir.
Sosok II: Meski waktu akan tua dan layu bersamaku, hati ini takkan lelah terus menunggu kedatanganmu.
Sosok I dan sosok II kemudian kembali lagi berbaring diatas panggung (lampu padam).
Selasa, 03 Maret 2009 | Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 01.44 0 komentar
Label: Naskah Teater
Puisi Charlie Samola: "INTROSPEKSI MOMAKE ORANG SULUT"
Ada yang bilang “Babi !”
Lantaran Babi sadap kalu so jadi Babi Putar
Ada yang bilang “Anjing !’
Lantaran Anjing sadap kalu so beking jadi RW
Ada yang bilang “Cuki !”
Lantaran samua orang suka Baku Cuki
Ada yang bilang “Pendo !”
Lantaran Parampuang biasa suka terima Pendo
Ada yang bilang “Lubang Puki !”
Lantaran Laki-laki suka skali bage tu Lubang Puki
Kalu ada yang bilang “Cuki Mai !”,”Kuda Cuki !”deng “Pemai !”
Lantaran apa kang ? mo kase alasan apa ?
Diposting oleh Kontributor Tetap Blog Ini di 01.05 0 komentar