DAFTAR PEMERAN:
1.Sosok I (laki-laki/mayat)
2.Sosok II (perempuan/mayat)
3.Sosok III (laki-laki/penarik tandu)
4.Sosok IV (perempuan/wajah duka)
5.Sosok V (laki-laki/penari 1)
6.Sosok VI (perempuan/penari 2)
Terdengar musik mengalun. Sedang di tengah panggung terdapat dua buah bangku dari kayu panjang yang tanpa sandaran punggung dan sandaran tangan diletakkan sejajar. Posisi dua buah bangku tersebut adalah vertikal. Memanjang memotong panggung. Terdapat jarak sekitar dua depa laki-laki dewasa diantara kedua bangku tersebut. Dan sebuah loyang hitam (bisa terbuat dari plastik atau kaleng) berada sebagai pemisah kedua bangku kayu tersebut. Dalam loyang tersebut, ada berbagai jenis tangkai bunga yang semuanya terbuat dari plastik. Sangat banyak hingga menggunung didalam loyang tersebut. Sedang di kedua sisi bangku kayu tersebut ada dua buah gundukan tak dikenali yang diselimuti oleh kain hitam seutuhnya. Lalu di sisi luar yang semakin mengarah ke pinggiran sayap panggung, terdapat tungku kecil yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Asap putih namun pekat. Sedang di sekeliling semua itu, ada nyala lilin yang melingkari. Tak kalah menyengat bau pewangi mayat yang ikut meramaian kelam.
Di atas kedua bangku kayu tadi, masing-masing terbaring sosok tubuh. Di bangku sebelah kanan (arah kiri penonton) terdapat tubuh perempuan berjubah destar terusan bermotif bunga. Warna-warninya begitu semarak. Kepalanya berada di depan panggung, sedang kepala sosok tubuh yang disebelahnya berada dalam posisi yang berlawanan meski kedua tubuh sosok itu sama-sama memandang keatas. Sedang diatas bangku kayu yang terletak disebelahnya, terdapat tubuh seorang lelaki. Telanjang dada. Sedang celana panjang yang selimuti kakinya berwarna hitam tanpa motif. Menelan pekat busana sosok disebelahnya. Tangan kedua tubuh ini terjalin dan menyatu di atas dada. Menuju ketenangan abadi. Sedang dari atas panggung tampak berjatuhan serpihan kelopak kembang kamboja berwarna putih. Jumlahnya seperti salju.
Salju kelopak kamboja berhenti ketika muncul sosok lain dari sayap kiri panggung.
Sosok III: (Dari arah sisi kiri panggung muncul dengan wajah tertunduk dengan langkah pelan dan berat, menarik sebuah tandu yang terbuat dari kayu dan dianyam dengan rotan hutan. Di atas tandu tersebut terdapat sebuah sarang burung yang terbuat dari ilalang liar, tiga buah nisan beton belum bertulis nama, dan sebilah parang panjang berlumur darah hingga mengeluarkan bau amis. Ada juga beberapa daun kering berukuran besar diatasnya. Menjadi alas dari bangkai ayam jantan yang juga termuat di atas tandu tersebut. Rambutnya yang basah terurai kebawah sedikit menutupi wajahnya.)
(Berjalan terus hingga ke tengah panggung. Tepat membelakangi loyang dan menghadapi sebatang lilin tunggal. Tandu terlepas dari genggaman hingga menghempas tanah. Wajahnya kini diangkat tegak. Terlihat jelas duka dan amarah berpeluk jadi satu. Beberapa saat mengelilingi lilin tersebut lalu kemudian jatuh tersungkur. Tangis yang tertahan terdengar darinya.)
(Mengambil salah satu nisan tak bernama tersebut lalu dengan meski terlihat kasar mengacungkannya ke langit dengan kedua tangannya. Di sertai raungan parau pedih)
Ini adalah sisa dari mezbah nazarku. Janji dan rindu yang dianyam oleh luka menjadi satu. (Nisan secara perlahan mulai diturunkan, kemudian dengan tangan sebelah kiri di sangga berdiri). Ini adalah kelana sukmaku menembus batas sepi. Pelangi yang gagal kulukis di atas bebatuan, cermin yang retak ketika salju senja dan menua, purnama yang yang kutitipkan namun hilang dicium sajak-sajak amis.
Ini adalah kenajisan Tuhan yang bersemayam di pucuk air yang kemarin dikirim kebumi. Tentang tandusnya senyum yang kusalib di sudut-sudut rindu. (Meraung).
(Suara meninggi). Aaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Akan kucincang waktu yang telah meleraiku darimu. Kan kusembelih leher malam yang beri padaku tangis. (Mengambil lilin lalu mengacungkannya keatas). Dalam kesemuan abadi, ditepian remah-remah gelap, kukirimkan doa untukmu. Doa dalam sebentuk daging yang kuiris dari kusut bilik jantungku. Masih merah dan segar, setawar getir yang kini sedang kukunyah. (Menikamkan lilin keperut).
Sosok IV: (Muncul dari sisi kanan panggung. Rambutnya terurai dan menyembunyikan wajahnya yang luka dan duka. Destar terusan putih yang dia gunakan memeluk tubuhnya yang berjalan gontai dan lemah).
Pabila memang Tuhan mau kabulkan pintaku, aku hanya memohon agar waktulah yang mati. Lalu kenapa selalu janji yang harus teringkari? Aku bukan pendendam sepi yang ingin tidur lelap dicambukan bisu. Aku sekedar raga raga sederhana yang percaya pada airmata pasir yang mengendap dilangit, kemudian bersua lagi ketika dewasa. Aku adalah racikan kopi polos dalam lipatan gula. Lagipula daun-daun yang mekar dimusim gugur tak pernah sombongkan diri. (Memeluk tubuh sosok III).
Aku berikan sumpahku padamu, juga pada Tuhanku. Disetiap sujudku, cintamu adalah syahadat bagiku, tanpa kerumitan bahasa. Apakah kau masih ingat ketika kunyalakan korek lalu dengan getir yang terlahir senyum, kudapati sendiri pekat nikotin itu menyetubuhimu. Dan aku jelas cemburu. Sebab kau telah kutebus dari Tuhanmu bahkan dari Tuhanku sekalipun. Kau telah jadi milikku. Biar jadi embun yang menanti surya, meski lupa akan karib kita. Tak mengapa. Bukankah itu juga cinta?
(Berjalan didepan sosok III). Lalu kenapa keabadian ini yang kau pilih? Kenapa bukan tebing yang kau daki? Kenapa bukan arus yang kau perangi? Kau dan aku sama-sama tak kenal siapa itu waktu. Bukankah untukmu telah kubunuh gemerlap masa lalu? Namun, jika ini pilihan, maka jalanmu adalah sunah bagiku. (Mengambil posisi duduk di samping kiri sosok III/sebelah kanan penonton, mengambil botol kecil dari balik kantong bajunya lalu meminumnya).
Kuharap surga kita sama hingga esok pagi bisa kutemukan senyummu untukku. (Mati)
Musik mengalun, dan perlahan dua gundukan yang tertutupi oleh lembaran kain hitam yang berada di samping kedua bangku tampak bergerak. Ternyata ada dua manusia dibalik itu. Seorang laki-laki (Sosok V) dan seorang lagi perempuan (Sosok VI). Laki-laki yang muncul belakangan berada disamping tubuh perempuan yang berada diatas bangku tersebut, sedang perempuan yang muncul belakangan berada disamping tubuh tubuh laki-laki yang terbaring diatas bangku kayu tersebut. Gerakan mereka sangat pelan. Mendekati kedua bangku yang berada disamping mereka. Dari ujung kaki, sampai keujung kepala mereka gerayangi kedua tubuh yang tergeletak di atas bangku tersebut. Masing-masing sendiri. Tenggelam dalam kebisuan gerak yang mereka tarikan. Setelah itu, kedua sosok (Sosok V dan VI) yang muncul belakangan melangkahi kedua kepala masing-masing tubuh yang terbaring diatas bangku tersebut. Lalu bergerak mendekati loyang yang terletak ditengah-tengah pembaringan kedua tubuh tadi. Membongkar gundukan bunga plastik yang ada didalamnya. Mencari sesuatu. Hingga tangkai-tangkai bunga plastik tersebut berhamburan keudara. Setelah tangkai-tangkai bunga didalam loyang tersebut habis dan benda yang mereka cari tak ditemukan, keduanya saling menatap untuk beberapa saat. Berusaha untuk saling mengenal. Kemudian saling mendekat dan saling menggerayangi.
Sosok VI: Jika memang ini adalah mata yang bekukan hati, kenapa tak kulihat ada namaku terpahat didalamnya?
Sosok V: Dalam pandangku, hanya ada sebentuk rindu dalam sepotong puisi bagi satu cinta saja. Apakah kau bait sajak berikut tuk lengkapi goresan rindu ini?
Sosok VI: Aku adalah kepingan senja bagi harimu, tapi kenapa tak ada tangan angin yang memeluk dan berikan aku kebenaran yang tak kutemukan dari rahim yang melahirkanku?
Sosok V: Nestapaku kini tlah kuceraikan jika memang jumpa ini adalah ikrarku yang terbayarkan. Lalu untuk apa mengundang angin? Biarkanlah angin pergi berlalu seperti masa laluku yang kubunuh dijurang ingat.
Sosok VI: Bumi adalah senyum dalam musim, angin adalah nafas untuk pelangi.
Sosok V: Adalah percuma menangisi musim, nanti juga ia kan berpulang. Sedang pelangi, usahlah kau kejar, sebab jatuhnya selalu kan kebumi meski tanpa kehadiran angin sekalipun.
Sosok VI: Pelangi adalah titian hati menjemput mimpi. Jalan menuju sudut sepi agar kita mencumbui sunyi setibanya disana, dalam genggaman. Apakah kau si pemilik tangan itu?
Sosok V: Cinta hanya sekedar rasa. Sebuah ingin memiliki sampai mati. Genggaman tak pernah abadi, ciuman tak selalu hangat ketika dingin. Janji hanya upaya agar jantung tak membeku di musim panas.
Sosok VI: Lalu apakah jantungmu pernah membeku karena teriris waktu? Dapatkah aku melihat bekas guratan itu?
Sosok V: Itu tinggal kenangan demi gadisku karena tlah kusalibkan masa lalu.
Sosok VI: Aku adalah tubuh yang mencintai ingatan.
Sosok V: Aku juga bukan pemuja lupa.
Sosok VI: Apa kau adalah mentari dalam layu gemerlap malam? Apa kau si pencari embun yang menantiku sejak gelap?
Sosok V: Aku adalah malam yang mencari tetes resapan kemarin.
Sosok VI: Maka kau bukanlah dia, dan ini bukanlah surga yang kau tuju. Karena ini adalah taman penantianku terhadap nazar cinta.
Sosok V: Aku adalah kelana menembus sepi dan kau bukanlah purnama itu. Tapi aku yakin inilah adalah surgaku karena disinilah ku bangun candi janjiku pada kasihku, sang bulan yang tak mampu menyanyi.
Sosok V & VI: Kita bukanlah takdir yang dirajut agar bersama. Kita adalah temu yang terlarang. (Bergerak saling menjauh, kemudian kembali mengerayangi kedua tubuh yang terbaring diatas bangku kayu).
Sosok VI: Mungkinkah kau si empunya pandang yang didalamnya tertulis namaku? Cintamu yang kini menyusulmu dalam kejaran waktu?
Sosok V: Apakah kau si empunya nama yang tersimpan dalam lihatku? Cintamu yang kini menyusulmu dalam kejaran waktu?
Bersamaan dengan itu, kedua tubuh (Sosok I dan Sosok II) yang terbaring diatas bangku bangkit perlahan. Kemudian menggeleng.
Sosok I: Kembara ini baru kumulai. Dan entah dimana akan berakhir.
Sosok II: Meski waktu akan tua dan layu bersamaku, hati ini takkan lelah terus menunggu kedatanganmu.
Sosok I dan sosok II kemudian kembali lagi berbaring diatas panggung (lampu padam).
Tabea Waya e Karapi!
Sastra for Minahasa Masa Depan!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
ini tong pe posting terbaru.
Naskah Teater Andre GB: "Tentang Penantian".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar