Indonesia, adalah nama untuk sebuah negara yang lahir dari komitmen bersama untuk memerdekkaan atau membebaskan diri dari penjajahan. Proklamasi 17 Agustus 1945, mestinya bukan pertama-tama sebagai monumen untuk menandakan kemenangan mengusir penjajah dari ibu pertiwi, melainkan, dan ini yang utama adalah adalah harapan kesejahteraan dan keadilan manusia-manusia yang berdiam di atas tanah air ini.
Sudah 62 tahun Indonesia merdeka. Mestinya sudah begitu lama juga rakyat di negara yang plural ini merasakan kemerdekaan dari keterjajahan apa saja. Tapi, kemerdekaan sebenarnya adalah mimpi, sebagaimana kita memimpikan Indonesia.
Semua akhirnya memang dua adanya. Ada hitam ada putih. Ada kehidupan ada kematian. Ada penjajahan ada kemerdekaan. Begitulah proses berada manusia. Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah, dengan tokohnya Minke dalam novel itu akhirnya harus berkata: “Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat...”
Kemerdekaan bukan jalan tengah. Sebab di sisinya yang sebelah, dan sangat dekat dengannya adalah penjajahan atau penderitaan (ketidakmerdekaan). Begitulah sehingga barangkali Pram melanjutkan dialog Minke itu, “Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.”
Di sinilah sebenarnya kesulitan kita memaknai kemerdekaan itu. Bahwa ternyata kemerdekaan belum berarti keselamatan, apakah keselamatan seperti yang diartikan agama, budaya, atau keselamatan seperti seseorang yang akan menyeberang sebuah sungai yang banyak buayanya. Kemerdekaan tidak bisa diidentikan dengan keselamatan. Sebab kemerdekaan aku bisa juga berarti ketidamerdekaan dia. Kalau tidak dilestarikan, bisa saja Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah awal dari ketidakmerdekaan tanah air ini. Tapi keselamatan, adalah soal aku, kau serta mereka (kita semua) yang telah sampai pada cita-cita hidup. Cita-cita, mestinya tidak hanya soal ruang dan waktu tapi juga kondisi yang terbebas dari segala kesakitan dan penderitaan hidup.
Begitulah sehingga yang bisa kita lakukan sekarang adalah memimpikan Indonesia. “Sekarang saya katakan kepada kalian sahabatku, meskipun kita menghadapi kesulitan masa kini maupun mendatang, saya tetap mempunyai impian,” kata Martin Luther King, Jr pada 28 Agustus 1963.
Ini mimpi Martin Luther King, Jr itu: “Saya mempunyai impian bahwa suatu hari di perbukitan Georgia yang merah putra para mantan budak dan putra para mantan pemilik budak akan dapat duduk bersama di atas meja persaudaraan. Saya mempunyai impian bahwa suatu hari bahkan negara bagian Mississippi, yang dipenuhi panas ketidak adilan, panas penindasan, akan berubah menjadi sebuah oasis kebebasan dan keadilan. Saya mempunyai impian bahwa keempat anakku yang kecil suatu hari akan dapat hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dipandang berdasarkan warna kulit mereka namun melalui isi sikap mereka. Hari ini saya mempunyai impian...” Sebuah mimpi yang lahir dari ketidakadilan struktur dan diskriminasi ras. Ini sebenarnya sama juga dengan penjajahan diri dan nurani
Mimpi, kita samakan saja dengan cita-cita yang paling ideal. Ideal memang, tapi mimpi bukan berarti mustahil menjadi kenyataan. Mimpi tentang Indonesia atau mimpi Martin Luther King, Jr itu, tentu harus dibedakan dengan mimpi yang ditafsir penjudi untuk kupon undian berhadiah. Mimpi kita tentang Indonesia sama dengan mimpi Martin Luther King, Jr itu, adalah suatu kondisi yang selamat, bebas dari segala macam penderitaan.
Memimpikan Indonesia yang selamat belum selesai kita lakukan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pernyataan tegas tanah air ini, yang mestinya harus dilanjutkan dengan tekad yang kuat tapi mulia dan jujur untuk membawa Indonesia pada Indonesia Merdeka yang sesungguhnya. Ke 62 tahun Indonesia Merdeka, masih banyak hal yang membuat Indonesia ini belum mencapai ke keselamatan, cita-cita luhur para founding fathers. Korupsi masih merajalela. Kekerasan masih terjadi di mana-mana. Diskriminasi masih sering dipraktekkan. Berekonomi masih membuat rakyat terasing dari hasil keringatnya sendiri. Dalam pergaulan internasional, Indonesia masih sering dipermainkan. Naik turun dolar, masih bisa membikin kita merasa was-was. Di mana kemerdekaan Indonesia kalau begitu?
Indonesia yang selamat memang masih sedang diimpikan oleh anak-anak bangsa ini. Tekad yang kuat, segala kerja keras, ide yang terus didialektikkan dengan kenyataan, membawa kita pada pengertian bahwa Indonesia masih sementara menjadi menuju ke kesempunrnaan kemerdekaannya. Dengan segala yang diri ini punya dan ibu pertiwi ini kandung, Indonesia jangan dibiarkan bergerak mundur. Ia harus maju, agar Proklmasi 17 Agustus 1945 memang benar sebagai harapan menuju ke kesejahteraan lahir maupun batin. Begitulah mimpi kita di tengah kesulitan bangsa ini untuk tidur nyenyak karena perang sengit melawan mimpi-mimpi jahat. Teruslah berjuang demi Indonesia baru….
Tabea Waya e Karapi!
Sastra for Minahasa Masa Depan!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
ini tong pe posting terbaru.
Esei Denni Pinontoan: "Memimpikan Indonesia"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar