Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Andreas Harsono: "Jurnalisme Warga (Gereja)".


Seri Pendidikan Media, Komunikasi dan Kebudayaan
Yakoma PGI



HASUDUNGAN Sirait mudah dikenali dengan kumis baplang ala Joseph Stalin. Namun nada bicaranya lembut. Celananya, warna krem model pendaki gunung dengan banyak kantong. Kesannya, bergaya anak muda.

Suatu siang September lalu, saya menemui Sirait di kedai kopi Starbucks di Plasa Semanggi, sebuah mal Jakarta, untuk bicara soal kegiatannya dua tahun terakhir ini. Sirait beberapa kali membantu Yayasan Komunikasi Massa PGI (Yakoma PGI) melatih para pekerja media gereja. PGI singkatan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia adalah organisasi payung 86 gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak berdiri Mei 1950. Saya ingin tahu bagaimana Sirait memandang media komunitas gereja-gereja ini?

Dia memesan kopi. Saya mengambil teh hijau.

“Aku latar belakang HKBP,” katanya.

Huria Kristen Batak Protestan, atau HKBP, adalah gereja dengan sekitar 3 juta anggota. Ini menjadikan HKBP sebagai gereja terbesar, bukan saja di Indonesia, namun juga di Asia Tenggara. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Batak. Pusatnya ada di Pearaja, sebuah desa di Kabupaten Tapanuli Utara.

Sirait menambahkan dia juga pernah memberi pelatihan berbagai media pesantren di Pulau Jawa. Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi nirlaba Jakarta, pernah minta Sirait membantu pelatihan media pesantren. “Aku (dulu) lebih akrab dengan pesantren daripada gereja.”

Ketika Yakoma PGI minta dia ikut melatih media gereja, Sirait minta waktu untuk mempelajari beberapa penerbitan gereja. “Setelah Tobelo dan Batam, baru pemahaman aku lebih komprehensif,” katanya.

Tobelo, sebuah kota di Pulau Halmahera, didatangi Sirait ketika Yakoma PGI mengadakan lokakarya media gereja 24-28 April 2007. Dia juga bicara dalam acara pelatihan 25-29 Juni 2007, yang diadakan Gereja Batak Kristen Protestan, di Pulau Batam. Agustus lalu, Sirait ikut jadi instruktur semiloka “media rakyat” di Manado.

Saya mulai mengenal Hasudungan Sirait ketika rezim Presiden Soeharto membredel mingguan Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994. Kami sama-sama protes pembredelan tersebut. Kami juga sama-sama ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih, pada 7 Agustus 1994, guna mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah serikat wartawan untuk melawan sensor media.

Waktu itu ada peraturan bahwa satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ikut meneken Deklarasi Sirnagalih berarti melanggar hukum. Departemen Penerangan dan PWI minta polisi menindak anggota-anggota AJI. Ada empat kawan kami masuk penjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo, Eko Maryadi dan Tri Agus Siswowiharjo. Sirait dipecat dari PWI. Dia juga kehilangan pekerjaan dari Bisnis Indonesia. Dia lantas bekerja untuk mingguan D&R selama tiga tahun, secara anonim. AJI baru bisa bergerak di atas tanah sesudah Presiden Soeharto mundur dari tahta pada Mei 1998. Empatbelas tahun berlalu, Sirait kini lebih sering jadi instruktur wartawan. Dia tinggal di Bogor, sudah menikah dengan dua anak, serta belakangan merintis majalah bulanan etnik Batak bernama Tatap.

Sirait seorang trainer yang baik. “Wartawan berkualitas,” kata Jufri Simorangkir dari Suara GKPI, bulanan milik Gereja Kristen Protestan Indonesia, yang berpusat di Pematang Siantar. Pendeta Simorangkir mengenal Sirait ketika ikut program di Batam.

Menurut Hasudungan Sirait, persoalan utama media gereja-gereja Protestan di Indonesia, baik di sebelah barat (Jawa dan Sumatera) maupun timur (Sulawesi, Sangir, Talaud, Halmahera, Ambon, Sumba dan sebagainya) adalah kekurangan perhatian dari para pemimpin sinode.

“Pengurus media pesantren hebat, sumber daya manusia berlapis-lapis, training lebih sering diadakan di kalangan pesantren. Yang bisa menyamai teman-teman Muslim hanya media Katholik,” kata Sirait.

“Kecenderungan sinode (gereja Protestan) gagah-gagahan bikin media.”

Namun alokasi biaya sedikit, tidak ada tim khusus, tidak ada guidance. “Kalau terbit ya sekali setahun atau dua kali.”

Isi media gereja-gereja Protestan, cenderung masih hanya khotbah, peletakan batu pertama atau seremoni gereja. Dari segi tata letak, umumnya tidak menarik. Kebanyakan media gereja sangat tergantung hanya pada kerajinan dan ketekunan pengurus media itu sendiri. “Kalau yang ngurus rajin, ya sering terbit, kalau tidak, ya ngacak.” Banyak pengelola media gereja mengharapkan ada kebijakan khusus dari gereja agar media dikelola sungguh-sungguh. Namun ketika pengurus media bikin terobosan sendiri, mereka sering diveto oleh sinode.

Saya menelepon Greenhill Weol di Tomohon untuk minta masukannya soal media gereja di Minahasa. Weol redaktur budaya radio Suara Minahasa. Tomohon adalah ibukota intelektual Minahasa. Markas besar Gereja Masehi Injili Minahasa, gereja terbesar di Pulau Sulawesi, juga terletak di Tomohon. Radio Suara Minahasa dikelola oleh Yayasan Suara Nurani pimpinan Bert A. Supit, seorang cendekiawan Minahasa, yang dulu juga mengurus GMIM. Weol mengatakan di Minahasa, GMIM juga punya beberapa penerbitan namun kadang-kadang terbit, kadang-kadang tidak. “Dana ada kalau ada proyek politik,” kata Weol. Maksudnya, bila ada politikus Minahasa lagi kampanye, dia bisa memberikan dana kepada penerbitan gereja. “Asal ada tiga atau lima fotonya dimuat,” kata Weol. Politisi Minahasa, tentu saja, suka berdekatan dengan GMIM mengingat gereja ini paling besar di Sulawesi Utara.

Pendeta Jufri Simorangkir cerita pada Februari 2006, dia ditunjuk sinode Gereja Kristen Protestan Indonesia menyunting Suara GKPI. “Dua tahun saya mengelola majalah ini sendirian. Saya yang mengetik. Saya yang ambil foto. Saya yang antar ke percetakan. Saya yang distribusi.” Tebal majalah antara 90 hingga 112 halaman.

Setiap bulan, Simorangkir mengambil hasil cetakan majalah di Medan. Dalam perjalanan pulang Medan-Pematang Siantar, biasa ditempuh tiga jam, Simorangkir dan seorang sopir mengantar 1,200 dari 3,000 Suara GKPI ke berbagai jemaat GKPI.

Menariknya, ketika ditunjuk untuk mengelola Suara GKPI, Simorangkir bahkan belum kenal komputer. “Modal kosong semua!” katanya. Dia harus belajar mengetik. Pelatihan Yakoma PGI, yang diikutinya di Batam, dinilainya sangat berguna. Dia belajar bahwa ruang redaksi dan usaha harus dipisah. Kini Suara GKPI sudah mendapat tambahan seorang karyawan. Simorangkir juga tidak menambah materi khotbah di Suara GKPI. Bahkan majalahnya kini sudah ada cerita pendek, humor dan banyak berita.

Simorangkir memuji majalah milik Gereja Batak Karo Protestan dan Gereja Kristen Protestan Simalungun. “Mereka sudah lebih terbuka. Iklan-iklan sudah masuk.”

Saya tanya Sirait, dari pengalamannya melatih media gereja, media mana saja yang tergolong baik?

“Yang paling baik GKJW Malang,” jawabnya.

“Rapi sekali mereka.”

Gereja Kristen Jawi Wetan, atau GKJW, adalah gereja Jawa timuran dengan pusat kota Malang. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Jawa. Sinode gereja ini didirikan pada Desember 1931. Kini anggotanya sekitar 150,000 orang. Jumlah ini sangat kecil bila diingat Jawa Timur adalah basis Nahdlatul Ulama. Total populasi Provinsi Jawa Timur sekitar 34.5 juta dan sekitar 96 persen warga Muslim.

Sirait mengatakan ketika membaca Warta GKJW, dia merasa pengelola Warta GKJW terlihat upayanya serius melibatkan umat. Ada lembaran remaja, ada lembar orang tua, ada berita perkembangan di kitaran warga. Jufri Simorangkir juga setuju dengan kesimpulan Sirait. Simorangkir menyebut Warta GKJW mirip “majalah sekuler” … walau 80 persen isinya “soal rohani.”

Di kalangan HKBP sendiri, menurut Sirait, ada majalah Immanuel yang sudah berumur 120 tahun dan terbit dari Peuraja. Majalah bulanan ini terbit terus-menerus, tidak terganggu, dulu format kecil, kini format majalah. “Cuma isinya sabda pendeta semua.”

“Sayang!”

“Pengasuhnya pendeta semua.”

Saya mengalami kesulitan menghubungi Siman P. Hutahean, pendeta yang merangkap pemimpin redaksi Immanuel. Saya hubungi lebih dari 10 kali lewat telepon HKBP Peuraja, namun tak berhasil. Hutahean termasuk pendeta yang ikut acara Yakoma PGI di Batam.

Kalau format Immanuel tidak bisa ditawar, Sirait usul HKBP bikin outlet yang lebih interaktif, untuk remaja, anak-anak dan dewasa. Dunia media sudah berubah. Kini sudah ada televisi, internet, radio komunitas, blog, You Tube, Facebook dan macam-macam. Namun mayoritas media gereja masih bergulat dengan majalah. Media gereja kurang dalam banyak hal. “Cari duit nggak susah, cari orang yang susah. (Media) Katolik jauh lebih baik,” katanya.

Media gereja Protestan, juga kurang berkembang karena ada kekuatiran di kalangan sinode, media bisa jadi bumerang. “Takut disasar. Padahal tidak juga,” kata Sirait.

Dampaknya, ada kesenjangan informasi antara gereja dan umat. Umat sangat dinamis, dapat informasi dari mana-mana. “Itu tidak bisa diimbangi gereja. Paradigma gereja tidak berubah. Mereka cenderung menapis, semacam pakai kacamata kuda.”

Kalau informasi umum juga ada di media gereja, maka gereja bisa memberitahu soal, misalnya, mengapa harga-harga bahan pangan naik atau mengapa banyak korupsi. “Gereja nggak hanya isinya khotbah soal keselamatan,” kata Sirait.

Dia berpendapat media gereja seharusnya jadi media komunitas, “Dari kita, untuk kita. Bagaimana antara jemaat gereja bisa sharing pengalaman? Itu tidak mereka dapatkan dari Kompas atau Suara Pembaruan atau Suara Merdeka.”

Pukul dua siang, Hasudungan Sirait bilang mau pulang agar bisa tepat waktu untuk “memandikan anak.” Saya tersenyum. Si kumis baplang ini bahagia sekali bisa memandikan anak-anaknya setiap sore. Kami meninggalkan Plasa Semanggi.



PADA awal Juli 2008, selama empat hari saya jadi trainer dalam sebuah pelatihan situs web Panyingkul.com di Makassar. Kata "panyingkul" dalam bahasa Makassar artinya persikuan atau pertigaan. Panyingkul sebuah media nirlaba, yang mengusung citizen journalism atau "jurnalisme orang biasa."

Pesertanya ada 11 orang. Pelatihan diadakan di Biblioholic, sebuah perpustakaan publik, di Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9. Perpustakaan ini terletak dalam sebuah rumah besar yang disewa oleh Matsui Kazuhisa, seorang konsultan Japan International Cooperation Agency. Matsui meminjamkan ruang tamu serta lantai dua rumah ini untuk kegiatan anak-anak muda. Siang malam, selalu ada anak muda berkumpul.

Panyingkul.com menyebut para wartawannya sebagai "citizen reporter." Sengaja dalam bahasa Inggris, sesuai terminologi aslinya dari Oh My News, sebuah situs web dari Korea Selatan, agar tak timbul salah paham. Lily Yulianti, redaktur Panyingkul, mengatakan rekan-rekannya dari Oh My News International di Norwegia, Israel maupun Brazil, juga tak menterjemahkan "citizen reporter" ke bahasa masing-masing. Mereka tetap pakai istilah “citizen reporter.” Lily kini bekerja sebagai wartawan radio NHK di Tokyo. Dia dulu juga pernah bekerja untuk harian Kompas dari Makassar.

Panyingkul adalah sebuah fenomena penting dalam jurnalisme di Makassar. Tujuan mereka melawan dominasi media mainstream yang meletakkan loyalitas terhadap warga lebih rendah daripada loyalitas kepada pemilik media, penguasa maupun pemasang iklan. Lily rajin melancarkan kritik terhadap media Makassar macam harian Fajar maupun Tribun Timur.

Selama empat hari, kami belajar dengan macam-macam contoh. Saya mengajak peserta diskusi soal-soal dasar dalam jurnalisme. Bagaimana bikin wawancara? Bagaimana merekam dan menulis deskripsi? Bagaimana menggunakan monolog dan dialog? Kami juga membaca beberapa naskah, termasuk "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah, maupun "Hiroshima" karya John Hersey. Kami juga menonton dokumentasi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Para peserta punya background macam-macam. Ada arkeolog, ada pelaut, ada peneliti. Beberapa mahasiswa juga ikutan. Ketika memeriksa pekerjaan rumah mereka, saya senang melihat kecepatan mereka menangkap materi latihan.

Saya bertanya-tanya mengapa media gereja tak mencoba mengarah pada citizen journalism macam Panyingkul.com?

Panyingkul.com maupun Warta GKJW sama-sama merupakan media komunitas. Satu melayani komunitas Makassar. Satunya melayani komunitas gereja Jawa Timur. Mereka dipersatukan oleh semangat melayani warga masing-masing lewat jurnalisme.

Singkat kata, kebanyakan media, dari Immanuel hingga Suara Pembaruan, dari BBC World Service hingga Al Jazeera, melayani komunitas sesuai khayalan mereka masing-masing. Internet membuat batas khayalan menjadi lebih terbuka. Internet membuat semua orang, yang mengerti bahasa media terkait, secara teoritis bisa membaca apa isi media tersebut. Media gereja teoritis bisa mengembangkan diri lewat citizen journalism dengan melibatkan warga-warga gereja ikut mengisi media mereka.

Namun Pendeta Jufri Simorangkir memberi tanggapan. “Kelemahan majalah gereja adalah dia jadi corong pimpinan.”

Saya kira pernyataan Simorangkir, maupun kritik Sirait, mengingatkan saya bahwa media gereja kebanyakan belum menjalankan jurnalisme. Ia lebih tepat dikategorikan sebagai public relation atau propaganda. Boro-boro bicara soal citizen journalism. Jurnalisme biasa pun belum berjalan.

Propaganda adalah suatu peliputan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan kekuasaan, yang menguasai media komunikasi tersebut. Jarak propaganda dan jurnalisme bisa lebar, tapi juga bisa sangat tipis.

Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Menyamakan propaganda dengan jurnalisme, atau menyamakan pengabaran injil dengan jurnalisme, saya kira akan menciptakan kebingungan yang serius, dengan daya rusak besar. Saya kira masalah ini perlu didiskusikan dengan jernih di kalangan gereja-gereja Protestan.

Media gereja seharusnya bekerja berdasar prinsip-prinsip jurnalisme umum. Bukan berdasarkan pada theologi Kristen. Bukan berdasar pula pada pendekatan gothak-gathok “jurnalisme Kristiani.” Saya harus menyebut isu ini karena belakangan ada saja orang yang mencoba menawarkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme Islami.” Jargon-jargon ini akan menciptakan kekaburan. Kalau jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda.

Media gereja seyogyanya dipikirkan lebih luas untuk kepentingan umat. Ia lebih baik diletakkan secara independen dari struktur sinode. Para redakturnya tidak ikut duduk dalam kepengurusan sinode.

Namun saya juga sadar bahwa tidak semua orang, termasuk pengelola media gereja, bisa punya pemahaman yang serius terhadap suatu isu, apalagi banyak isu. Ini juga terjadi dalam dunia wartawan mainstream. Namun inilah tantangan rutin bagi setiap wartawan, profesional maupun amatir, dalam memahami suatu isu dan menuliskannya. Para pemimpin sinode sudah selayaknya mulai belajar memahami jurnalisme dan mengubah cara pandang mereka terhadap media gereja. Propaganda sebaiknya diubah jadi jurnalisme.

Lantas apakah jurnalisme itu?

Pada April 2001, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan Washington D.C., menerbitkan buku The Elements of Journalism. Mereka menyajikan sembilan elemen jurnalisme sesudah bikin diskusi dan wawancara dengan 1.200 wartawan selama tiga tahun. Buku itu segera dianggap sebagai referensi penting para wartawan. Ia diterjemahkan ke puluhan bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia, dan dijadikan pegangan banyak ruang redaksi. Di Jakarta, ia dipakai oleh Kompas, The Jakarta Post, Tempo, Republika, Jawa Pos dan sebagainya. Pada 2007, Kovach dan Rosenstiel menerbitkan edisi revisi dimana mereka menambahkan elemen kesepuluh khusus soal hak dan tanggungjawab warga.

Saya kira sepuluh elemen ini menerangkan dengan jernih apa jurnalisme itu.

• Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran;
• Loyalitas utama jurnalisme kepada warga;
• Esensi jurnalisme adalah verifikasi;
• Para praktisi jurnalisme harus menjaga independensi mereka dari sumber-sumber mereka;
• Jurnalisme harus berlaku sebagia pemantau kekuasaan;
• Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga;
• Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting jadi menarik dan relevan;
• Jurnalisme harus menjaga agar berita menjadi komprehensif dan proporsional;
• Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka;
• Warga punya hak dan kewajiban dalam jurnalisme.

Elemen kesepuluh muncul karena apa yang disebut Lily Yulianti sebagai citizen journalism. Intinya, warga punya hak dan kewajiban ikut berpartisipasi dalam mencari, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi. Elemen kesepuluh muncul, tentu saja, disebabkan oleh teknologi internet: blog, kamera telepon, You Tube, Facebook dan sebagainya. Ia membuat warga bisa berperan secara lebih luas dalam jurnalisme. Panyingkul.com membuktikan bahwa warga biasa, kebanyakan non-wartawan, bisa mengelola situs web, yang hendak menandingi media mainstream di Makassar.

Saya kira media gereja sulit menghindar dari trend ini. Cepat atau lambat, bila gereja mau tetap relevan, mereka harus membuka pintu terhadap “citizen reporter.” Blog akan jadi ujung tombak perubahan. Saya mulai memperhatikan banyak sekali anak-anak muda Kristen bicara soal Tuhan lewat blog. Media gereja bisa berkembang dengan melakukan kolaborasi lewat blogger.

Priambodo RH dari Lembaga Pers Dr. Soetomo mengatakan Agustus lalu ada sekitar 650 ribu blog di Indonesia. Jumlahnya akan meningkat seiring meningkatnya penggunaan internet. “Perkembangan jurnalisme warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran.”

Namun banyak wartawan ragu apakah orang yang kurang terlatih dalam jurnalisme bisa menulis berita secara bertanggungjawab? Ada yang menyebut kehadiran internet menciptakan “tsunami informasi.” Isinya, kebanyakan copy-paste dan sampah. Kekuatiran ini bukan tanpa dasar. Mei lalu, Roy Thaniago, seorang mahasiswa Jakarta, menulis berita dalam blog miliknya http://thaniago.blogspot.com/ “Pastor Kemalingan, Karyawan Paroki Dipukul Polisi.”

Thaniago mempertanyakan mengapa seorang karyawan Paroki Bunda Hati Kudus, dicurigai dan dilaporkan ke polisi oleh satu pemuka gereja gara-gara pastor kehilangan uang tunai Rp 15 juta dan dua kamera. Dia menulis tanpa melakukan verifikasi pada pastor maupun si pemuka gereja. Dia sempat bikin repot gereja. Cukup ramailah!

Citizen journalism bukannya tanpa masalah. Priambodo membuat 10 panduan bagi “citizen reporter.” Mereka tidak boleh melakukan plagiat; harus cek dan ricek fakta; jangan menggunakan sumber anonim; perhatikan dan peduli hukum; utarakan rahasia secara hati-hati; hati-hati dengan opini narasumber; pelajari batas daya ingatan orang; hindari konflik kepentingan; dilarang lakukan pelecehan; serta pertimbangkan setiap pendapat.

Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu komunitas, maka makin bermutu pula informasi dalam komunitas itu. Maka makin bermutu pula komunitas tersebut. Saya juga percaya senantiasa ada orang macam Hasudungan Sirait, yang tulus membantu para “citizen reporter” maupun media gereja untuk belajar jurnalisme dengan teratur.

“Benar sekali kritik Pak Hasudungan itu. Kalau GKPI punya orang macam Pak Hasudungan Sirait, pasti kami pakai orang berkualitas itu,” kata pendeta Simorangkir.



Red:
Andreas Harsono wartawan, pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok), Associated Press Television (Hong Kong), The Star (Kuala Lumpur) dan Yayasan Pantau (Jakarta). Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000. Kini sedang menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

0 komentar: