Masih jelas dalam ingatanku tentang pernyataan dari seorang teman diskusi. Katanya, Minahasa dia pahami sebagai sesuatu yang dinamis, tidak kaku. Aku sangat setuju dengan pemikiran temanku itu. Minahasa sebagai sebuah entitas dan identitas, memang tidak kaku apalagi monolitik. Maksudnya, dalam membicarakan, menelaah atau bahkan memperjuangan Ke-Minahasa-an Minahasa, mestinya tidak hanya memutlakan satu perspektif atau paradigma. Ada banyak cara dan pemikiran. Dan, diskusi-diskusi yang bertemakan Minahasa di segala forum baik dunia nyata maupun dunia maya, tampak sekali keragaman perspektif dan pemaknaan terhadap Minahasa. Begitu juga perjalanan panjang bangsa ini dalam sejarahnya untuk terus “mengada”.
Ini kekayaan sekaligus kekuatan dalam memperjuangkan eksistensi Minahasa. Namun pemahaman itu mestinya diletakkan dalam konteks memahami Minahasa dari motivasi dan semangat dasarnya untuk memaknai dan memperjuangkan Minahasa sebagai sebuah sebuah peradaban yang besar tapi tidak kolonialis dan imprealis. Minahasa adalah sebuah organisme hidup, yang ketika membicarakannya maka penting juga memperhatikan karakternya yang dinamis, sama halnya dengan peradaban atau bangsa yang lain. Sebab, di dalamnya adalah manusia-manusia yang terus bergerak mencari makna hidup, nilai-nilai kebudayaan yang memang dikreasi dari kesadaran untuk merespon perubahan zaman, sistem politik dan ekonomi yang terus berubah dan sudah pasti adalah visi hidup yang jauh ke depan.
Memang, sebagaimana dalam tulisanku terdahulu: “Orang Muda Minahasa Bergerak: Catatan dari diskusi ‘Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Orang Muda Minahasa’, bahwa dalam kenyataannya, perspektif, paradigma dan kepentingan orang membicarakan atau memaknai Minahasa itu ada bermacam-macam. Setidaknya keragaman itu didasari dari titik berangkatnya, misalnya dari kepentingan studi (ilmu pengetahuan), kepentingan politik dan ekonomi atau dari kepentingan gerakan kultural/kebudayaan. Pendekatan-pendekatan ini tentu bermain dalam dinamikanya masing-masing, meski pada hal-hal tertentu tampak bahwa itu sebagai sebuah proses ber-Minahasa dari kepentingan kultural. Dalam kenyataannya, entah dimaknai sebagai objek atau subjek, yang jelas, sepertinya telah bangkit kesadaran untuk membicarakan Minahasa.
Dari situasi ini, maka penting untuk ditegaskan lagi adalah soal paradigma kontemporer kita memaknai Minahasa. Sebab, sebagai sebuah entitas dan identitas yang dinamis, maka yang kita lakukan sekarang untuk Minahasa tentu dalam kekiniannya. Pertanyaan mendasarnya adalah, bagaimana kita memaknai Minahasa sebagai subjek dalam konteks yang semakin cepat berubah ini? Apakah Minahasa yang kita bayangkan itu adalah Minahasa yang referensi utamanya adalah masa lalu yang terus berdialektika aktif dengan kekinian manusia-manusianya, sistem-sistem yang ada di dalamnya juga dengan situasi global yang mau tak mau harus kita pahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses keminahasaan hari ini? Atau Minahasa dalam konteks kekiniannya dengan pada beberapa hal menjadikan beberapa nilai Minahasa yang telah berproses panjang sebagai pijakan atau dasar motivasi dan semangat itu?
Minahasa hari ini tentu sedang berproses atau berdialektika dengan sejumlah nilai atau sistem (politik, ekonomi, sosial dan agama). Dari perspektif budaya, Minahasa juga sebenarnya tak terpisahkan dengan sistem-sistem dan nilai-nilai yang ada. Sebab, sebagai entitas dan identitas, budaya Minahasa telah menghasilkan berbagai sistem dan nilai dari dirinya dalam interaksinya dengan kebudayaan yang lain. Namun, Tou Minahasa sering suka bernostalgia, bahwa budaya Minahasa tempo doeloe katanya sangat kental dengan nilai-nilai egaliter dan demokrasi. Ini tentu merujuk pada sejarah masa lalu Minahasa. Tapi, apakah benar bahwa nilai-nilai itu masih dominan dalam masyarakat atau kebudayaan Minahasa kontemporer? Fakta, bahwa korupsi, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sikap eksklusif dan konservatif sedang juga menggejala dalam kesadaran ataupun ketidaksadaran dinamika Tou Minahasa hari ini.
Dalam pemaknaannya terkini, Minahasa yang berada dalam dialektika atau interaksi dengan berbagai macam sistem nilai dalam ruang global ini, memang perlu dimaknai sebagai bangsa yang memiliki karakter yang egaliter dan demokratis. Tapi, haruslah berhati-hati, jangan kemudian usaha itu hanya sampai di bernostalgia pada masa lalunya dan kemudian mengabaikan fakta yang ada hari ini. Nilai-nilai itu perlu diinterpretasi, dirasionalisasi dan direvitalisasi untuk menjadi dasar dan pijakan ber-Minahasa dalam konteks sekarang. Sebab, nilai keterbukaan Tou Minahasa tempo dulu, menurut kritik beberapa pendapat, justru sebagai penyebab sehingga beberapa nilai kebudayaan Minahasa tereduksi pada pragmatisme dan ketertundukkan pada imprealisme dan dominasi budaya luar.
Apa pentingnya interpretasi dan reviltalisasi itu? Bukankah energi kita hanya akan terbuang percuma pada kerja itu? Saya kira, kesederajatan dan keterbukaan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan persamaan semakin penting dalam konteks kontemporer kita. Sebaliknya sikap konservatif dan eksklusif semakin tidak relevan dikembangkan, ketika bumi semakin kecil akibat globalisasi. Sebab, keyakinan saya, bahwa Minahasa kita akan mengalami sebuah lompatan yang jauh ketika spirit kesederajatan, keterbukaan serta penghargaan terhadap perbedaan menjadi dasar pijakan dalam berproses dan bereksistensi.
Nilai persamaan yang saya maksudkan dalam konteks Minahasa kontemporer, adalah pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan memberi tempat bagi siapapun dia untuk berkembang dengan tentu memperhatikan motivasi masing-masing orang. Sebab, dalam kesadaran inilah terjadi interaksi yang dinamis, kerelaan saling berbagi kemampuan, dan saling bermapalus dapat tercipta. Nilai persamaan menjamin sebuah proses berbagi atau bermapalus dalam suatu kesederajatan, dan menolak eksploitasi, diskriminasi dan penindasan. Nilai keterbukaan, memberi ruang yang lebih pada dialektika pemikiran dan aksi, serta nilai untuk saling memperkaya. Langkah awal untuk menuju ke sana adalah memahami Minahasa dari perspektif yang luas, yaitu pada sisi kemanusiaannya, bukan pada kategori-kategori bikinan kekuasaan (seperti penekanan pada pembedaan Suku, Agama dan Ras serta Golongan). Maka, dengan sendirinya tidaklah tepat meletakkan Minahasa pada kategori-kategori yang sifatnya mereduksi, seperti misalnya Minahasa sama dengan Kristen; Tou Minahasa hanya dari segi geneologis keturunan Toar-Lumimuut; Perempuan Minahasa lebih cantik dari yang lain; dan ada yang disebut kuliner Minahasa dan bukan (padahal namanya makanan tentu universal), dlsb. Hal ini berangkali sedikit aneh, tapi namanya pernyataan maka dia selalu terbuka untuk didiskusikan.
Dengan demikian, maka arah atau tujuan dari membicarakan, mendiskusikan, menelaah atau memperjuangkan Minahasa bukan terutama untuk memenangkan kategori-kategori yang relatif dan kadang bias itu menjadi sesuatu yang obsolut. Misalnya, dalam memperjuangkan kebesaran Minahasa tidaklah harus mengalahkan bangsa Jawa secara fisik atau apapun sifatnya, sebagai yang dianggap oleh kebanyakan kita telah mendominasi budaya Minahasa. Atau karena kita sangat terobsesi dengan keberhasilan perjuangan itu sampai mengabaikan fakta bahwa Minahasa hari ini di antara manusianya saling menjegal untuk merebut kadera-kadera di legislative atau eksekutif. Ini yang selalu diwanti oleh Sonny Mumbunan dalam diskusi-diskusi di Facebook, dan pemikirannya itu sangat sejalan dengan perspektif seseorang yang menamakan dirinya Martin Korengkeng (baca tulisan Martin Korengkeng berjudul “Tai Minya (etno) Nasionalisme Minahasa” dalam Jurnal Ngaasan Edisi III September 2005 atau klik di http://mawalediskusi.blogs
Usaha membuat Minahasa menjadi lebih baik dan berkembang, memang harus terus dilakukan. Sebab, selain usaha itu adalah sesuatu yang harus dilakukan karena proses berkembang adalah alamiah, namun pada beberapa hal ini tentu dipicu oleh beberapa fenomena yang dirasa memprihatinkan dan bahkan mengancam eksistensi Minahasa. Misalnya, kekhwatiran semakin hilangnya simbol dan nilai budaya Minahasa, posisi tawar politik dan ekonomi dengan pusat, dan lain-lain. Paling muda yang dilakukan oleh aktivis-aktivis gerakan Minahasa adalah memperhadapkan secara ekstrim antara cita-cita ideal Minahasa dengan factor-faktor yang dirasa sebagai penyebabnya, misalnya sentralisme pusat dan globalisasi ekonomi global. Adakah sebuah pemikiran dan aksi yang melampaui dikotomi itu? Ini butuh jawaban bersama.
Saya kira keluasaan dalam kita memaknai arti ber-Minahasa adalah juga makna utama dari apa yang bung Greenhill Weol tulis dalam catatannya: “(Orang) Minahasa Harus Merdeka” (Facebook, 06 Januari 2010). Bahwa, hal merdeka itu adalah soal membebaskan diri dari penindasan dan dominasi berpikir, dan juga usaha membebaskan dari dari segala kepentingan sesat dan sesaat. Menjadi bangsa yang berpijak pada keyakinan dan kebenaran nilai luhurnya. Dan, sudah saatnya kita kembali pada tanah kita, Minahasa. Dan, ini yang Fredy Wowor bilang bahwa “setiap generasi harus memilih”.
Kita harus memilih sikap dan pijakan gerakan. Namun, mestinya itu diletakkan dalam konteks bahwa kita memilih untuk tidak menjadi generasi yang terjajah, - dan juga bukan yang menjajah – tapi generasi yang bebas, bebas untuk memilih cara memperjuangkan nilai-nilai luhur Minahasa dan peradaban manusia pada umumnya. Karena visi kita adalah pembebasan dan pemerdekaan Tou dan bangsa Minahasa. Itulah, menurut saya fokus kita “berMinahasa”, dalam kekinian dengan kompleksitas persoalan yang kita hadapi.
Pojok Fakultas Teologi UKIT, 12 Januari 2010
Tabea Waya e Karapi!
Sastra for Minahasa Masa Depan!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
ini tong pe posting terbaru.
Esei Denni Pinontoan: "Berminahasa dalam Kekinian".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar