“Ini butul-butul gila, seorang uztad menggauli beberapa orang santrinya hingga ada yang hamil !” Teriak seorang ibu berkerudung yang sedang asik membaca sebuah surat kabar. Sontak sekian pasang mata yang ada di sekitar tempat menunggu bus, di terminal Tomohon, langsung tertuju padanya.
“Tadi malam lebe gila lei, dorang ada setunjung di televisi tu kerusuhan. Menurut berita, kerusuhan itu da jadi karena dipicu oleh pernyataan seorang tokoh agama yang kemudian memprovokasi mereka.” Jawab bapak yang duduk disampingnya, menyambung apa yang diungkapkan oleh ibu tadi.
Percakapan dari orang-orang yang kelihatan tidak saling mengenal itu, menjadi semakin seru ketika ada seorang bapak menyambung percakapan itu. “Mo jau-jau kwa, di jemaat patorang baru-baru ini ada pendeta pake doi yang dikumpulkan jemaat untuk membantu torang pe sudara-sudara yang tertimpa bencana.”
Topik yang dibicarakan oleh beberapa orang di terminal itu dapat saya simpulkan sebagai suatu kenyataan yang dapat kita saksikan dewasa ini. Terkejut, geram, bercampur rasa prihatin merupakan reaksi yang nampak dari mereka, ketika mendengar kejadian-kejadian itu. Mengapa reaksi seperti itu yang muncul dari mereka ? Karena yang ada di benak mereka, seorang tokoh agama adalah sosok “setengah malaikat” yang seharusnya jadi panutan dalam setiap sikap, tindakan dan tutur kata. Tetapi sungguh ironis, yang mereka saksikan justru seorang tokoh agama yang arogan, sadis, cabul, rakus dan berbagai prilaku amoral lainnya. Tindakan dari para tokoh agama seperti ini, mengundang banyak pertanyaan seperti: apakah ini ajaran yang diperintahkan agamanya untuk dilakukan, apakah prilaku seorang tokoh agama harus seperti ini, atau mereka memang tokoh agama yang tidak memahami maksud ajaran agamanya, atau mungkin jabatan sebagai tokoh agama itu hanya sebagai kedok belaka ?
Menurut kisah Franz Dahler dan Eka Budianta dalam buku Pijar Peradaban Manusia, di suatu daerah yang ada di Aljazair pernah tertimpa hama tikus yang membawa penyakit menular ke dalam rumah-rumah hingga mengakibatkan banyak orang meninggal. Ketika peristiwa ini terjadi, para tokoh agama seakan tidak begitu perduli, malahan mereka mempersalahkan orang-orang yang menderita dengan mengatakan bahwa penderitaan yang mereka alami adalah akibat kesalahan mereka sendiri.
Sikap dan tindakan dari para tokoh agama saat itu sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh seorang ateis yang bernama Dr. Rieux. Dalam situasi seperti itu ia justru mengambil keputusan tidak melarikan diri dari kota malang ini dan menyumbangkan tenaga serta kepandaiannya untuk meyelamatkan sebanyak mungkin mereka yang mengalami penderitaan.
Franz Dahler juga mengisahkan tentang seorang dokter mata dari Yogyakarta, yang mengaku diri ateis, tetapi berjiwa sosial dan mengobati orang-orang miskin secara hampir gratis.
Kisah di atas merupakan suatu kenyataan yang semakin mengherankan kita. Seorang ateis yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak mempunyai ajaran agama yang boleh menjadi pedoman hidup baginya, justru melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjadi teladan yang baik bagi banyak orang. Tetapi para tokoh agama yang percaya pada Tuhan dan memiliki pedoman hidup sebagai umat Tuhan, melakukan tindakan-tindakan amoral yang sedikitpun tidak tercatat dalam pedoman hidup yang diberikan Tuhan bagi mereka. Jika demikian, menurut kita siapakah yang lebih dekat pada Tuhan, para tokoh agama atau dokter yang ateis itu ?
Sikap-sikap yang tidak baik dari para tokoh agama ini akan sangat mempengaruhi kehidupan umat mereka. Mungkin tidak semua tokoh agama yang mempunyai perilaku seperti itu, tetapi ibarat pepatah, nila setitik akan dapat merusak susu sebelanga.
Kehidupan seorang tokoh agama sama seperti seorang kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga. Semua tindakan kepala keluarga itu pasti akan mempengaruhi sikap hidup anggota keluarga yang lain. Artinya, jika ia bersikap sebagai kepala keluarga yang baik, mampu mengayomi dan memberi teladan yang baik, maka tidak mengherankan jika anggota keluarganya bersikap sama. Tetapi jika Perilakunya kurang baik, maka tidak heran juga jika anggota keluarganya pun demikian. ”Bapak aja bisa, kenapa gue tidak !”
Reaksi orang-orang di terminal tadi yang geram dan kecewa akan prilaku para tokoh agama, sesungguhnya mewakili sikap masyarakat pada umumnya yang geram dan kecewa akan prilaku amoral seperti itu. Dan keprihatinan mereka merupakan keperihatinan masyarakat pada umumnya akan kemerosotan moral para tokoh agama saat ini.
Tabea Waya e Karapi!
Sastra for Minahasa Masa Depan!
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Mengapa sastra (baca: tulisan)?
Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?
Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?
Tulisan Paling Baru
ini tong pe posting terbaru.
Esei Rikson Karundeng: "DOKTER ATAU TOKOH AGAMAKAH YANG LEBIH DEKAT PADA TUHAN?".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar