Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Andre GB: "SEJARAH DAN KRONOLOGIS SENGKETA TANAH DI KAMPUNG TIDORE".

kita sudah beri mereka
ribuan jengkal tanah kita
demi mimpi hari nanti
tangis luka akan pergi

tapi mereka berdusta
dan lagi minta memaksa
sedepa tanah kita
untuk ego penguasa

tak mungkin kita tunduk
karena rumah kita kan ambruk
kita butuh tanah ini
untuk hidup dan bila esok mati

maka benar kita berbondong
berarak di jalan teriak penolakan
sebab tak mungkin ada yang menolong
selain kita sendiri yang melawan!
(Tanah Ini Kita Yang Punya, Andre GB)

Kampung Tidore adalah sebuah kelurahan di pesisir pelabuhan kapal penumpang Tahuna. Termasuk daerah kecamatan Tahuna Timur dan merupakan bagian kecil dari Tahuna yang adalah ibukota kabupaten Kepulauan Sangihe di propinsi Sulawesi Utara. Mayoritas mata pencaharian penduduk di sini adalah nelayan (90%). Luas wilayah kampung nelayan ini 39,86 hektare dan memanjang sekitar 1 (satu) kilometer di bibir pantai. Sebelah barat kampung ini langsung menghadap laut, sebelah utara dengan kelurahan Dumuhung, sebelah selatan dengan kelurahan Tapuang, sedang sebelah timur dengan kelurahan Tona. Kampung ini juga sering disebut Kampung Islam karena mayoritas penduduknya (90%) memeluk agama Islam. Penduduk di sini adalah para pendatang dari Makassar, Bugis, Arab, Maluku dan China yang mulai menetap di sini sejak tahun awal tahun 1900-an.

Dalam catatan sejarah, pada tahun 1883 nama awal kampung ini adalah Marapeta yang artinya Kampung Timbul Tenggelam. Disebut seperti ini karena jika tiba masa air pasang, maka sebagian besar pekarangan akan tergenang air. Pada masa ini masih banyak pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai. Nama Tidore sendiri berawal dari penyebaran Islam di pulau Sangihe bagian Timur, tepatnya di desa Petta, kecamatan Tabukan Utara yang dibawa oleh seorang yang berasal dari Maluku bagian utara bernama Syamsuddin. Meski sebenarnya, Syamsuddin berasal dari Sumatera yang kemudian menyebarkan Islam hingga ke Tidore dan kemudian menikah dengan seorang perempuan setempat. Ini yang membuat banyak orang menganggap Syamsuddin seorang Tidore.
Penyebaran agama Islam oleh Syamsuddin akhirnya menyentuh Sangihe. Awalnya mereka memulai dari Petta hingga ke sekitar. Pada masa ini VOC telah menjadi kekuatan ekonomi dan berhasil menanamkan pengaruh politiknya hingga ke dalam kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe. Benturan demi benturan antara Syamsuddin dan VOC tidak dapat dihindari sehingga membuat Syamsuddin bersama pengikutnya harus menyingkir dari Petta dan memilih pesisir pantai Dumuhung di Tahuna sebagai tempat tinggal. Keturunan Syamsuddin dan para pengikutnya yang kemudian berbaur dengan penduduk lokal adalah nenek moyang masyarakat Kampung Tidore. Nama ini mulai digunakan sejak tahun 1903 untuk membedakan dengan pemukiman sekitar.

Pada pertengahan tahun 2003, Makaminan sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe mengeluarkan rencana untuk mendirikan talud (pagar beton) di sepanjang pesisir pantai Dumuhung untuk menjadi penahan ombak. Pada musim penghujan yang disertai angin kencang, kawasan ini memang rentan dengan terjangan ombak. Apalagi memang rumah-rumah penduduk yang dibangun tak terlalu jauh dari pesisir pantai. Sosialisasi dilakukan pemerintah kepada masyarakat di pesisir pantai Dumuhung agar mendukung rencana ini. Percaya bahwa talud akan memberi banyak manfaat bagi mereka, masyarakat Kampung Tidore yang berada di pesisir pantai Dumuhung ikut terlibat aktif dalam pembangunannya. Bupati Makaminan sendiri meninggal dalam masa pengabdiannya dan digantikan oleh Drs. Winsulangi Salindeho yang sebelumnya adalah wakil bupati.

Awal tahun 2007, Bupati Salindeho mengeluarkan kebijakan pembangunan ruas jalan lingkar pantai (boulevard) di sepanjang pesisir pantai Dumuhung yang sebelumnya telah didirikan talud. Boulevard yang menyambungkan batas talud dengan batas rumah-rumah warga dengan lebar lebih dari 25 meter ini mendesak pemukiman masyarakat Kampung Tidore hingga benar-benar berbatas langsung dengan jalan raya lingkar pesisir pantai ini. Pembangunan ini sendiri sempat menjadi ajang untuk kampanye bagi Bupati Salindeho yang mencalonkan diri lagi di pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2008 untuk mendapatkan suara dari pemilih yang berada di Kampung Tidore.

Drs. Winsulangi Salindeho memang terpilih lagi sebagai bupati kepulauan Sangihe dan pembangunan boulevard dilanjutkan meski sangat lamban. Boulevard ini hingga kini masih terus dikerjakan. Pengerjaan ini masih meliputi pembangunan saluran air (gorong-gorong) dan pengerasan jalan. Material jalan sudah berada di badan jalan, namun belum terlihat adanya tanda-tanda menuju pengaspalan. Hingga kemudian pada pertengahan bulan Oktober 2009, mulai ada penyelewengan dengan pemancangan patok-patok baru sejauh 8 (delapan) meter merangsek ke daerah mukim warga. Seluruh patok-patok ini memakan hampir separuh rumah-rumah warga yang sudah berbatas jalan.
Beberapa warga kemudian menemui lurah Kampung Tidore untuk meminta penjelasan tentang keberadaan patok-patok tersebut. Tak ada penjelasan yang memuaskan karena Lurah sendiri merasa tidak tahu menahu tentang patok-patok tersebut. Ketika meminta penjelasan kepada para pekerja pembangunan boulevard, tak juga mampu memberikan informasih yang memuaskan. Akhirnya, Lurah Kampung Tidore berusaha untuk mencari tahu tentang asal muasal dan tujuan pemasangan patok-patok baru tersebut.

Pada malam tanggal 2 November 2009, diadakan rapat antara penduduk Kampung Tidore (khususnya para pemilik rumah yang dilewati patok) dengan pemerintah kabupaten. Dalam pertemuan itu, pihak pemerintah daerah memberikan konfirmasi bahwa permintaan pembebasan lahan warga sejauh 8 (delapan) meter adalah untuk menunjang pembangunan Rute Jalur Hijau (RTH) di kawasan jalan lingkar ini. Pemerintah daerah sendiri menawarkan ganti rugi hanya untuk tanah yang akan di lewati patok. Sedangkan bangunan yang berdiri di atasnya tidak akan diganti rugi dengan alasan minimnya biaya. Pertemuan ini berakhir tegang karena warga menolak dengan tegas permintaan pemerintah kabupaten untuk pembebasan tanah sebesar 8 (delapan) meter tersebut. Beberapa warga juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang tidak ingin mengganti rugi kerugian bangunan di atas lahan yang akan digusur. Keadaan sempat memanas sehingga membuat pihak kepolisian menurunkan personilnya untuk berjaga-jaga agar kondisi tetap aman.

Keesokan pagi (3 November 2009), warga lalu berinisiatif untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan penolakan terhadap pembebasan lahan untuk Rute Jalan Hijau (RTH) ini. Beberapa orang warga kemudian segera ditugaskan untuk menghubungi sekaligus mengajak warga masyarakat yang lain untuk bersama-sama melakukan demonstrasi ke gedung legislatif kabupaten hari itu juga. Tak lama kemudian, warga berkumpul dan melakukan aksi longmarchnya dengan mengambil start dari kantor kelurahan Kampung Tidore di bawah pimpinan ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kampung Tidore.

Demonstrasi ini berhasil memaksa beberapa anggota DPRD Kabupaten Sangihe untuk menemui massa dan melakukan dialog membahas persoalan ini. Namun jawaban diplomatis ala legislatif tak memuaskan warga yang semakin khawatir bahwa penggusuran akan tetap terjadi sepanjang patok-patok tersebut masih berdiri. Tertangkap kesan bahwa ada upaya saling melempar tanggung jawab antar berbagai pihak dan instansi yang berwenang dan punya andil dalam persoalan ini. Tak puas dengan tanggapan yang diberikan oleh anggota DPRD, warga memilih kembali pulang ke rumah kemudian mengambil keputusan untuk segera menghancurkan patok-patok penanda perluasan lahan.
Sekarang, warga kelurahan Kampung Tidore tetap bersikeras untuk tak lagi memberikan tanahnya meski sejengkal. Diskusi dan pertemuan sering di gagas untuk membicarakan persoalan ini. Advokasi kasus dan pendampingan dilakukan oleh Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI). Sementara itu di tingkatan pemerintah daerah pembicaraan mengenai persoalan ini masih terus dibahas. Belum ada kejelasan tentang akhir sengketa ini.

0 komentar: