Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Reza Inkiriwang: "Peristiwa Perang Tondano 1809 diabadikan di salah satu museum di Jakarta namun nama pejuangnya diabaikan".

Bagi sebagaian besar warga Kawanua mungkin tidak banyak yang pernah mendengar Museum Keprajuritan. Museum ini terletak dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah dan merupakan salah satu museum sejarah militer Indonesia yang dikelola oleh Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Walaupun demikian dalam museum tersebut justru merekam satu peristiwa heroik yang terjadi di Minahasa yaitu Perang Tondano 1809 dalam bentuk satu diorama sebagaimana sebagian besar yang ditampilkan dalam museum tersebut. Museum yang berbentuk benteng tersebut banyak merekam peristiwa heroik dari sebagian besar pahlawan nasional Indonesia melawan penjajah kolonial atau ketangguhan Nusantara dalam menghadapi ancaman dari luar mulai dari abad ke tujuh sampai ke abad ke sembilan belas. Kalau anda berkunjung ke museum tersebut anda akan melihat beberapa diorama yang dibuat berdasarkan urutan kronologis peristiwa. Pada diorama awal anda akan terlihat diorama yang menggambarkan angkatan laut Sriwijaya yang mengawal kapal dagang dari Cina, India, Champa dari serangan perompak di selat Malaka pada abad ketujuh kemudian selanjutnya ada diorama mengenai Fatahillah yang menghadang armada Portugis di teluk Jakarta pada tahun 1527 yang merupakan cikal bakal berdirinya kota Jakarta kemudian ada juga mengenai Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten yang menghajar kapal-kapal Belanda di teluk Banten kemudian ada juga yang melukiskan perlawanan Sultan Hasanuddin di Benteng Somba Opu pada tahun 1669 dan seterusnya. Pada museum tersebut selain diorama terdapat juga relief-relief yang berada pada setiap sisi dinding dari museum yang melukiskan perjuangan melawan penjajah diantaranya adalah relief perang Diponegoro dan perang Padri pimpinan Imam Bonjol dan juga relief Raden Wijaya dalam menghadang serangan Mongol/Cina yang merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Majapahit. Diorama Perang Tondano 1809 berada di dalam museum dan terletak persis di sebelah kiri diorama Perang Maluku 1817 pimpinan Pattimura. Secara ringkas diorama di lukiskan dengan latar belakang danau Tondano dengan pegunungan di belakang dan juga terdapat miniatur dari bentang Moraya di sebelah kiri dan di sebalah kananya adalah boneka-boneka kecil dari tentara Belanda dan para waraney dan walak Minahasa yang sedang berperang di rawa-rawa Danau Tondano. Perang ini dipimpin oleh Sarapung dan Korengkeng yang patungnya dapat dilihat di salah satu sudut jalan di Tondano sekarang ini. Kalau kita perhatikan secara seksama dengan diabadikannya Perang Tondano ke dalam satu museum perjuangan heroik Indonesia itu berarti peristiwa tersebut adalah salah satu yang terpenting dalam sejarah pejuangan bangsa Indonesia. Apalagi diabadikannya di dalam ruangan utama museum tersebut. Dibandingkan dengan Pengeran Diponegoro dan Imam Bonjol yang justru diabadikannya dalam relief di luar museum. Dengan sendirinya nama Sarapung dan Korengkeng sudah dianggap setara dengan Fatahillah, Hasanuddin, Diponegoro, Imam Bonjol Pattimura dll yang nota bena sudah menjadi pahlawan nasional atau namanya menjadi terhormat sehingga diabadikan pada nama sebuah jalan atau institusi. Namun sangat disayangkan sekali nama Sarapung dan Korengkeng serta jasa-jasanya dibiarkan begitu saja. Jangankan diabadikan sebagai nama jalan jadi pahlawan nasional pun sampai hari ini tidak pernah. Padahal perjuangan Sarapung dan Korengkeng sudah lebih dulu dimulai daripada perang Diponegoro(1825), Imam Bonjol(1821), Mahmud Badaruddin (1819) bahkan Teuku Umar sekalipun (1873/dalam relief). Namun nama-nama mereka justru telah menjadi pahlawan nasional. Raden Inten II yang menjadi satu-satunya pahlawan nasional asal Lampung baru memimpin perlawanan empat puluh tahun sesudah Sarapung dan Korengkeng yaitu pada sekitar tahun 1850an. Peristiwa perjuangannya juga diabadikan dalam relief pada museum tersebut. Namun namanya sudah diabadikan pada sebuah nama jalan utama yeng menghubungkan antara Bekasi dan Jakarta. Sarapung dan Korengkeng tidak hanya sendiri yang mengalami nasib yang serupa. Sebut saja BW Lapian dan Ch Ch Taulu. Nama yang kita kenal sebagai tokoh utama dalam Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado. Yang mana peristiwa tersebut telah di tulis di banyak buku sejarah nasional Indonesia. Namun apakah mereka telah menjadi pahlawan nasional? Jawabannya tidak. Padahal jasad mereka telah dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tidak itu saja. Satu lagi museum sejarah militer Indonesia yang bernama Satria Mandala di Jakarta juga telah mengabadikan peristiwa perjuangan mereka juga dalam bentuk diorama. Tokoh-tokoh kaliber asal Minahasa yang bergerak di bidang politik dan diplomasi di masa awal kemerdekaan Indonesia seperti AA Maramis, LN Palar, A Monunutu juga tidak berbeda nasibnya. Sedangkan rekan-rekan seperjuangan mereka dulu sudah banyak yang bergelar pahlawan nasional atau paling tidak namanya mendapatkan penghormatan tertinggi. Gelar pahlawan nasional memang tidak sepenuhnya diberikan langsung oleh pemerintah. Banyak kali malah lewat proses pengajuan lebih dulu. Namun pada kenyataannya sejak dari dulu sampai sekarang orang-orang Minahasa mulai dari orang-orang penting sampai pada kalangan bawah tidak satupun yang berusaha dan berjuang segenap hati agar tokoh-tokoh Minahasa tersebut layak menjadi pahlawan nasional. Kita sering mengangkat nama-nama mereka di dalam lingkup forum atau media komunitas Kawanua namun tidak ada usaha yang serius untuk mengangkat nama mereka di tingkat lebih besar lagi dalam hal ini skala nasional. Bayangkan kalau kita sejak dulu dengan sungguh-sungguh sudah berjuang mengangkat nama mereka di tingkat nasional maka Sulwesi Utara paling tidak sudah memiliki tiga belas pahlawan nasional(kalau mau dimasukan satu lagi tokoh militer Let Kol Lembong). Jumlah ini sudah melampaui jumlah pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatra Utara, Bali, dan Jakarta(Betawi) sekalipun. Berkaca dari fakta yang saya tuliskan disini maka menentukan arah sikap kita adalah yang terutama. Membiarkan nama-nama mereka tetap terkubur adalah sama saja mengubur diri kita sendiri sebagai orang Minahasa. Tetapi mengangkat nama dan jasa mereka ke permukaan hingga diakui dan dihormati secara nasional itu artinya kita sedang membuat api yang besar yang bercahaya yang tidak saja menerangi tanah Toar Lumimuut dan orang-orangnya tetapi seluruh negeri Indonesia termasuk bangsanya. Tidak ada kata terlambat selama keinginan, pikiran dan kerja ada pada kita setiap saat.


Tulisan ini dipersembahkan khusus dalam rangka memperingati hari jadi Propinsi Sulawesi Utara ke 35.

0 komentar: