Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Puisi Ivan Frans: "Balibo".

Saat itu.....,
anak kecil pun menangis
tetes air mata kandas
di bahu sang bunda

saat itu.....,
semuapun menangis
takut bila esok
fajar tak lagi tiba

saat itu.....,
harapan seakan punah
ketika kau tak kuasa
menahan semua derita

saat itu.....,
air mata tumpah
bersama tetesan darah
sementara kau tertawa

hak asasi seakan dilupa
menjelma jadi hakmu semata
disaat mereka tak bersenjata
berhadap butiran peluru menerpa

kabar kini benar tak nyata
sembunyi dibalik dusta
mungkin takut dapat cela
tapi ini benar nyata

kemanusiaan yang adil dan beradap
kini jadi simbol yang menempel
di dada sang GARUDA

merah putih yang kau bawa
harusnya kau ganti hitam dan hitam
karna memang seharusnya demikian.

saat itu.....,
kau tak kubanggakan lagi.

Puisi Denni Pinontoan: "Doa Dari Minahasa di Bulan Desember".

Yesus,
Engkau telah dilahirkan oleh Maria dan Yusuf
Ribuan tahun lalu di kadang yang sederhana
Di Betlehem, jauh dari kami di Tanah Minahasa ini
Kami bersyukur atas kesederhanaan-Mu itu dalam menjumpai kami

Yesus,
Kami mengingat dengan jelas betapa Kau adalah seorang yang revolusioner
Kau pernah memarahi orang-orang yang berdagang di Bait suci yang sakral itu
Kau pernah menceritakan tentang Orang Samaria yang Murah Hati
Kau pernah menolong seorang perempuan pelacur yang akan dirajam
Kau pernah meredahkan angin dan badai ketika semua murid-Mu ketakutan
Kau pernah memberi makan 5000 orang yang mengikuti-Mu
Kau pernah duduk sehidangan dengan orang-orang yang dipinggirkan
Kau pernah menyembuhkan orang-orang yang sakit dan lemah
Kau pernah mengkritik dengan keras kemunafikan para agamawan
Kau pernah memberi pelajaran tentang makna-makna kehidupan
Kau pernah menyatakan cinta dan kasih kepada anak-anak yang polos
Kau pernah rela disakiti, difitnah dan bahkan disalib hingga mati
Tapi kepada kami, telah diceritakan bahwa Engkau adalah Tuhan yang telah bangkit dari kematian

Yesus,
Di sini, di tanah ini, kami yakin, Engkau terus bersama kami
Sehingga, dengan penuh kesadaran, kami pun mempercayai Engkau
Sebagai sumber inspirasi kami dalam menapaki hidup
Dalam kami melalui sejarah hidup ini yang penuh liku

Yesus,
Kini, Engkau adalah pembebas dan pemberi keadilan
Bagi kami yang tertindas, lemah dan miskin
Bagi kami yang terus bertarung dengan pilihan-pilihan hidup
Temanilah kami terus dalam memperjuangkan hidup ini

Yesus,
Mohon janganlah Engkau marah dan murka
Bila kami menghayati makna dan nilai Injil-Mu
Dari kekayaan budaya kami, Minahasa
Sebab, bagi kami Engkau juga lahir di Tanah Minahasa, di hari ini
Semoga Engkau menerima ekspresi kepercayaan kami ini
Dalam kritik, protes dan gugatan kami atas segala ketidakadilan yang sementara terjadi
Dan, ampunilah kami, jika kami adalah bagian dari keberdosaan itu

Yesus,
Oleh sebab itu, berilah kami kesadaran dan pikiran yang jernih
Untuk melakukan hal-hal yang membangun dan memberdayakan
Berilah kami kearifan untuk mengusahakan hal-hal kreatif dan ivonatif
Berilah kami waktu untuk memperjuangkan keadilan dan kedamaian

Yesus,
Bulan Desember ini untuk kesekian kalinya kami akan merayakan Natal-Mu
Meski kata orang tanggal 25 Desember bukan sesungguhnya hari lahir-Mu
Tapi, bukan itu yang penting sebab Engkau telah lahir di hati kami semua:
Ketika kami menerima panggilan-Mu untuk membaharui kehidupan ini
Ketika kami bersedia hidup terasing dari keramaian pesta dosa dan kejahatan
Ketika nalar dan nurani kami melawan semua kuasa yang menindas
Ketika kami mau jadi orang yang tidak tergila-gila dengan kekayaan dan kekuasaan
Ketika kami mau menjadi orang yang rendah hati tapi penuh semangat untuk terus menggugat….

Yesus,
Inilah doa kami di bulan Desember ini
Semoga dengan sabar Engkau dapat membaca doa ini
Ampuni kami yang telah berdoa panjang lebar ini
Amin…..

Puisi Reza Inkiriwang: "Surabaya oh Surabaya di taong 1945, tampa Bani Toar Lumimuut bergelora".

Surabaya oh Surabaya Oh Surabaya
Bukang torang pe kota mar torang tetap cinta
KArena sama-sama Nusantara
Surabaya di taong ampa lima
Torang berjuang bataruh nyawa
Bukang cuma arek-arek Surabaya
Mar juga Tou Kawanua
Ngoni nyanda percaya?

Pernah ngoni dengar si "Opo" Sulut Hein Worang?
PErnah ngoni dengar Joop Warouw deng Juus Somba dedengkot PERMESTA?
Deng sederet tu nama-nama laeng mulai dari GErungan, Tilaar, Siwi, Luntungan, Moningka, Waworuntu, Wuysan, Tampi, Regar, Mumu yang dapa sayang sekali Tou Kawanua hampir nyanda kanal samua

PRISAI deng PRI Barisan Istimewa
So itu dorang pe kesatuan pe nama
Satu peleton lengkap deng samua senjata
Baku abis deng orang-orang Inggris deng India
Bataru nyawa
For Indonesia

Mar sapa ada beking sampe Tou Kawanua apalgi orang Indonesia jadi lupa
Pa dorang samua?

Sekali lagi ya tamang-tamang tou Kawanua
Bangun Minahasa
Bangun Sulawesi Utara
Bangun Indonesia
Bangun Dunia
Jangan sampe ngoni lagi-lagi lupa
Perjuangan dari Tou Minahasa

Esei Reza Inkiriwang: "Peristiwa Perang Tondano 1809 diabadikan di salah satu museum di Jakarta namun nama pejuangnya diabaikan".

Bagi sebagaian besar warga Kawanua mungkin tidak banyak yang pernah mendengar Museum Keprajuritan. Museum ini terletak dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah dan merupakan salah satu museum sejarah militer Indonesia yang dikelola oleh Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Walaupun demikian dalam museum tersebut justru merekam satu peristiwa heroik yang terjadi di Minahasa yaitu Perang Tondano 1809 dalam bentuk satu diorama sebagaimana sebagian besar yang ditampilkan dalam museum tersebut. Museum yang berbentuk benteng tersebut banyak merekam peristiwa heroik dari sebagian besar pahlawan nasional Indonesia melawan penjajah kolonial atau ketangguhan Nusantara dalam menghadapi ancaman dari luar mulai dari abad ke tujuh sampai ke abad ke sembilan belas. Kalau anda berkunjung ke museum tersebut anda akan melihat beberapa diorama yang dibuat berdasarkan urutan kronologis peristiwa. Pada diorama awal anda akan terlihat diorama yang menggambarkan angkatan laut Sriwijaya yang mengawal kapal dagang dari Cina, India, Champa dari serangan perompak di selat Malaka pada abad ketujuh kemudian selanjutnya ada diorama mengenai Fatahillah yang menghadang armada Portugis di teluk Jakarta pada tahun 1527 yang merupakan cikal bakal berdirinya kota Jakarta kemudian ada juga mengenai Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten yang menghajar kapal-kapal Belanda di teluk Banten kemudian ada juga yang melukiskan perlawanan Sultan Hasanuddin di Benteng Somba Opu pada tahun 1669 dan seterusnya. Pada museum tersebut selain diorama terdapat juga relief-relief yang berada pada setiap sisi dinding dari museum yang melukiskan perjuangan melawan penjajah diantaranya adalah relief perang Diponegoro dan perang Padri pimpinan Imam Bonjol dan juga relief Raden Wijaya dalam menghadang serangan Mongol/Cina yang merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Majapahit. Diorama Perang Tondano 1809 berada di dalam museum dan terletak persis di sebelah kiri diorama Perang Maluku 1817 pimpinan Pattimura. Secara ringkas diorama di lukiskan dengan latar belakang danau Tondano dengan pegunungan di belakang dan juga terdapat miniatur dari bentang Moraya di sebelah kiri dan di sebalah kananya adalah boneka-boneka kecil dari tentara Belanda dan para waraney dan walak Minahasa yang sedang berperang di rawa-rawa Danau Tondano. Perang ini dipimpin oleh Sarapung dan Korengkeng yang patungnya dapat dilihat di salah satu sudut jalan di Tondano sekarang ini. Kalau kita perhatikan secara seksama dengan diabadikannya Perang Tondano ke dalam satu museum perjuangan heroik Indonesia itu berarti peristiwa tersebut adalah salah satu yang terpenting dalam sejarah pejuangan bangsa Indonesia. Apalagi diabadikannya di dalam ruangan utama museum tersebut. Dibandingkan dengan Pengeran Diponegoro dan Imam Bonjol yang justru diabadikannya dalam relief di luar museum. Dengan sendirinya nama Sarapung dan Korengkeng sudah dianggap setara dengan Fatahillah, Hasanuddin, Diponegoro, Imam Bonjol Pattimura dll yang nota bena sudah menjadi pahlawan nasional atau namanya menjadi terhormat sehingga diabadikan pada nama sebuah jalan atau institusi. Namun sangat disayangkan sekali nama Sarapung dan Korengkeng serta jasa-jasanya dibiarkan begitu saja. Jangankan diabadikan sebagai nama jalan jadi pahlawan nasional pun sampai hari ini tidak pernah. Padahal perjuangan Sarapung dan Korengkeng sudah lebih dulu dimulai daripada perang Diponegoro(1825), Imam Bonjol(1821), Mahmud Badaruddin (1819) bahkan Teuku Umar sekalipun (1873/dalam relief). Namun nama-nama mereka justru telah menjadi pahlawan nasional. Raden Inten II yang menjadi satu-satunya pahlawan nasional asal Lampung baru memimpin perlawanan empat puluh tahun sesudah Sarapung dan Korengkeng yaitu pada sekitar tahun 1850an. Peristiwa perjuangannya juga diabadikan dalam relief pada museum tersebut. Namun namanya sudah diabadikan pada sebuah nama jalan utama yeng menghubungkan antara Bekasi dan Jakarta. Sarapung dan Korengkeng tidak hanya sendiri yang mengalami nasib yang serupa. Sebut saja BW Lapian dan Ch Ch Taulu. Nama yang kita kenal sebagai tokoh utama dalam Peristiwa Heroik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado. Yang mana peristiwa tersebut telah di tulis di banyak buku sejarah nasional Indonesia. Namun apakah mereka telah menjadi pahlawan nasional? Jawabannya tidak. Padahal jasad mereka telah dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tidak itu saja. Satu lagi museum sejarah militer Indonesia yang bernama Satria Mandala di Jakarta juga telah mengabadikan peristiwa perjuangan mereka juga dalam bentuk diorama. Tokoh-tokoh kaliber asal Minahasa yang bergerak di bidang politik dan diplomasi di masa awal kemerdekaan Indonesia seperti AA Maramis, LN Palar, A Monunutu juga tidak berbeda nasibnya. Sedangkan rekan-rekan seperjuangan mereka dulu sudah banyak yang bergelar pahlawan nasional atau paling tidak namanya mendapatkan penghormatan tertinggi. Gelar pahlawan nasional memang tidak sepenuhnya diberikan langsung oleh pemerintah. Banyak kali malah lewat proses pengajuan lebih dulu. Namun pada kenyataannya sejak dari dulu sampai sekarang orang-orang Minahasa mulai dari orang-orang penting sampai pada kalangan bawah tidak satupun yang berusaha dan berjuang segenap hati agar tokoh-tokoh Minahasa tersebut layak menjadi pahlawan nasional. Kita sering mengangkat nama-nama mereka di dalam lingkup forum atau media komunitas Kawanua namun tidak ada usaha yang serius untuk mengangkat nama mereka di tingkat lebih besar lagi dalam hal ini skala nasional. Bayangkan kalau kita sejak dulu dengan sungguh-sungguh sudah berjuang mengangkat nama mereka di tingkat nasional maka Sulwesi Utara paling tidak sudah memiliki tiga belas pahlawan nasional(kalau mau dimasukan satu lagi tokoh militer Let Kol Lembong). Jumlah ini sudah melampaui jumlah pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatra Utara, Bali, dan Jakarta(Betawi) sekalipun. Berkaca dari fakta yang saya tuliskan disini maka menentukan arah sikap kita adalah yang terutama. Membiarkan nama-nama mereka tetap terkubur adalah sama saja mengubur diri kita sendiri sebagai orang Minahasa. Tetapi mengangkat nama dan jasa mereka ke permukaan hingga diakui dan dihormati secara nasional itu artinya kita sedang membuat api yang besar yang bercahaya yang tidak saja menerangi tanah Toar Lumimuut dan orang-orangnya tetapi seluruh negeri Indonesia termasuk bangsanya. Tidak ada kata terlambat selama keinginan, pikiran dan kerja ada pada kita setiap saat.


Tulisan ini dipersembahkan khusus dalam rangka memperingati hari jadi Propinsi Sulawesi Utara ke 35.

Cerpen Novline Lidia Rewah: "Cerita Hari Basar".

serta bulang agustus abis......
bar maso bulang september,
opa philus so mulai lia depe binatang da piara.....
anjing for mo beking rw......deng babi mo beking tinoransak.....
ayang kampung pe tolor so mulai opa philus kumpul for mo beking kukis kolombeng.....

pagar muka rumah opa phlilus so ja mulai ganti depe bulu,
biar cuma ika deng tali gomutu....mar so gaga tupagar.....
kurang mo ka kawangkoan for mo bli cet kapur barang 2 kilo for mo cet pagar......

oma pince.....so mulai ciraro rumah,.....
biar cuma mo gantong tu hiasan ....merry christmas and happy new year,
oma pince so sanang.......

samua opa philus deng oma pince beking karna mo sambut hari basar......

brenebon so siap for mo beking sup nanti.....
mantega blek blueband......so bli lebe dulu....soalnya biasanya pedagang ja senae nentau tako kal so dekat depe hari katuun....mar tu dinas perindustrian deng dinas perdagangan kwa nda da nyali for kontrol........tarigu kasiang oma pince so ja cicil2 bli satu2 kilo tiap dia da lebe doi.....
gula paser......dan samua kabutuhan hari basar.....oma pince so cicil2 bli kasiang........

.......di dekat opa philus deng oma pince pe rumah.....ada kasiang satu keluarga yang hidop dari perjuangan tanta lenci sebagai tukang bobaso pakeang orang....deng oom lexi mancari tukang jaga wc umum di stasion oto kawamgkoan........deng 7 anak dirumah........car ini hari, makang ini hari, abis ini hari.......tapi toh tetap ingin mo sambut hari basar.......deng dong pe kemampuan katuun......!

for hari basar....
salalu torang basadia for urusan poót....
salalu torang basadia for urusan badang.......
biar korang mo bautang di koperasi deng bunga 20 perseng asal.....hari basar torang mo rayakan.....

hari basar.......
for nona2 deng nyong2 masa kini....so musti ada baju baru deng capatu baru,
for anak2.......sama lei.....
apalagi for mama2.........dar rambu sampe di kaki.....so musti baru kata.......biar dong pe laki deng so nda malo balolo doi rakyat.......asal bini sanang sambut hari basar......

hari basar......skarang so ilang depe arti....

for apa nasi jaha da bakar 200 bulu kal hasil da bautang di koperasi ato bank???????
for apa tinoransak deng pangi da 100 bulu kal da pi lolo pa orang pe kobong nya batanya karna merasa ada kekuasaan???????
for apa kukis mantega 100 toples.......kal da lolo opa philus deng keluarga miskin pe pbb yang dong da bayar karna semboyan perpajakan.....rakyat taat hukum wajib bayar pajak bumi dan bangunan.....??????

apa ini tu damai dibumi diantara manusia yg diperkenankannya?.......ny

anda sobat!...lantarang didalang gareja sandiri......ada karlota,ada bakusontong,ada kebencian dan iri hati.....
apa ini tu kesukaan untuk seluruh bangsa?.......nyanda komang!.....lantarang ta pe bangsa minahasa kasiang......masih tabiar ditengah satu negara kesatuan.....dinjak haknya,dimanipulasi kultuurnya,dikebiri kemerdekaannya sebagai bangsa minahasa......dengan alasan....demokrasi.....dirampas hak hidup sebagai bangsa yang kecil.......dengan berbagai macam peraturan dan syariat......

ta pe bangsa minahasa.......sampe sekarang masih saja di kejar oleh herodes2 deng depe mahligai kekuasaan.......mayoritas menindas minoritas.......


namun satu ta pe keyakinan......hari basar yang penuh sukacita,sederhana deng bunyi lantaka.....cuma ada di tanah kelahiranku......banuaku MINAHASA......tanah TOAR DAN LUMIMUUT!


kampung sorong,13 des 2009.

Puisi Denni Pinontoan: "Agama Kita".

Kita meneriakan nama Tuhan denganpenuh kemarahan
Ketika diri kita terusik dengan kelaianan yang lain
Tuhan yang Maha Besar itu diteriakan dalam kekerdilan kita
Atas nama Tuhan dan agama kita saling mengkafirkan

Namun kita menjadi gagap ketika seorang anak kecil miskin
Mendekat dan meminta sesuap nasi dan setetes air
Sebab agama kita adalah kekuasan dan kekayaan,
Dan Tuhan hanya nama yang terselip di dalam otak kita


Banjarmasin, 10/11/2009

Esei Andre GB: "SEJARAH DAN KRONOLOGIS SENGKETA TANAH DI KAMPUNG TIDORE".

kita sudah beri mereka
ribuan jengkal tanah kita
demi mimpi hari nanti
tangis luka akan pergi

tapi mereka berdusta
dan lagi minta memaksa
sedepa tanah kita
untuk ego penguasa

tak mungkin kita tunduk
karena rumah kita kan ambruk
kita butuh tanah ini
untuk hidup dan bila esok mati

maka benar kita berbondong
berarak di jalan teriak penolakan
sebab tak mungkin ada yang menolong
selain kita sendiri yang melawan!
(Tanah Ini Kita Yang Punya, Andre GB)

Kampung Tidore adalah sebuah kelurahan di pesisir pelabuhan kapal penumpang Tahuna. Termasuk daerah kecamatan Tahuna Timur dan merupakan bagian kecil dari Tahuna yang adalah ibukota kabupaten Kepulauan Sangihe di propinsi Sulawesi Utara. Mayoritas mata pencaharian penduduk di sini adalah nelayan (90%). Luas wilayah kampung nelayan ini 39,86 hektare dan memanjang sekitar 1 (satu) kilometer di bibir pantai. Sebelah barat kampung ini langsung menghadap laut, sebelah utara dengan kelurahan Dumuhung, sebelah selatan dengan kelurahan Tapuang, sedang sebelah timur dengan kelurahan Tona. Kampung ini juga sering disebut Kampung Islam karena mayoritas penduduknya (90%) memeluk agama Islam. Penduduk di sini adalah para pendatang dari Makassar, Bugis, Arab, Maluku dan China yang mulai menetap di sini sejak tahun awal tahun 1900-an.

Dalam catatan sejarah, pada tahun 1883 nama awal kampung ini adalah Marapeta yang artinya Kampung Timbul Tenggelam. Disebut seperti ini karena jika tiba masa air pasang, maka sebagian besar pekarangan akan tergenang air. Pada masa ini masih banyak pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai. Nama Tidore sendiri berawal dari penyebaran Islam di pulau Sangihe bagian Timur, tepatnya di desa Petta, kecamatan Tabukan Utara yang dibawa oleh seorang yang berasal dari Maluku bagian utara bernama Syamsuddin. Meski sebenarnya, Syamsuddin berasal dari Sumatera yang kemudian menyebarkan Islam hingga ke Tidore dan kemudian menikah dengan seorang perempuan setempat. Ini yang membuat banyak orang menganggap Syamsuddin seorang Tidore.
Penyebaran agama Islam oleh Syamsuddin akhirnya menyentuh Sangihe. Awalnya mereka memulai dari Petta hingga ke sekitar. Pada masa ini VOC telah menjadi kekuatan ekonomi dan berhasil menanamkan pengaruh politiknya hingga ke dalam kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe. Benturan demi benturan antara Syamsuddin dan VOC tidak dapat dihindari sehingga membuat Syamsuddin bersama pengikutnya harus menyingkir dari Petta dan memilih pesisir pantai Dumuhung di Tahuna sebagai tempat tinggal. Keturunan Syamsuddin dan para pengikutnya yang kemudian berbaur dengan penduduk lokal adalah nenek moyang masyarakat Kampung Tidore. Nama ini mulai digunakan sejak tahun 1903 untuk membedakan dengan pemukiman sekitar.

Pada pertengahan tahun 2003, Makaminan sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe mengeluarkan rencana untuk mendirikan talud (pagar beton) di sepanjang pesisir pantai Dumuhung untuk menjadi penahan ombak. Pada musim penghujan yang disertai angin kencang, kawasan ini memang rentan dengan terjangan ombak. Apalagi memang rumah-rumah penduduk yang dibangun tak terlalu jauh dari pesisir pantai. Sosialisasi dilakukan pemerintah kepada masyarakat di pesisir pantai Dumuhung agar mendukung rencana ini. Percaya bahwa talud akan memberi banyak manfaat bagi mereka, masyarakat Kampung Tidore yang berada di pesisir pantai Dumuhung ikut terlibat aktif dalam pembangunannya. Bupati Makaminan sendiri meninggal dalam masa pengabdiannya dan digantikan oleh Drs. Winsulangi Salindeho yang sebelumnya adalah wakil bupati.

Awal tahun 2007, Bupati Salindeho mengeluarkan kebijakan pembangunan ruas jalan lingkar pantai (boulevard) di sepanjang pesisir pantai Dumuhung yang sebelumnya telah didirikan talud. Boulevard yang menyambungkan batas talud dengan batas rumah-rumah warga dengan lebar lebih dari 25 meter ini mendesak pemukiman masyarakat Kampung Tidore hingga benar-benar berbatas langsung dengan jalan raya lingkar pesisir pantai ini. Pembangunan ini sendiri sempat menjadi ajang untuk kampanye bagi Bupati Salindeho yang mencalonkan diri lagi di pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2008 untuk mendapatkan suara dari pemilih yang berada di Kampung Tidore.

Drs. Winsulangi Salindeho memang terpilih lagi sebagai bupati kepulauan Sangihe dan pembangunan boulevard dilanjutkan meski sangat lamban. Boulevard ini hingga kini masih terus dikerjakan. Pengerjaan ini masih meliputi pembangunan saluran air (gorong-gorong) dan pengerasan jalan. Material jalan sudah berada di badan jalan, namun belum terlihat adanya tanda-tanda menuju pengaspalan. Hingga kemudian pada pertengahan bulan Oktober 2009, mulai ada penyelewengan dengan pemancangan patok-patok baru sejauh 8 (delapan) meter merangsek ke daerah mukim warga. Seluruh patok-patok ini memakan hampir separuh rumah-rumah warga yang sudah berbatas jalan.
Beberapa warga kemudian menemui lurah Kampung Tidore untuk meminta penjelasan tentang keberadaan patok-patok tersebut. Tak ada penjelasan yang memuaskan karena Lurah sendiri merasa tidak tahu menahu tentang patok-patok tersebut. Ketika meminta penjelasan kepada para pekerja pembangunan boulevard, tak juga mampu memberikan informasih yang memuaskan. Akhirnya, Lurah Kampung Tidore berusaha untuk mencari tahu tentang asal muasal dan tujuan pemasangan patok-patok baru tersebut.

Pada malam tanggal 2 November 2009, diadakan rapat antara penduduk Kampung Tidore (khususnya para pemilik rumah yang dilewati patok) dengan pemerintah kabupaten. Dalam pertemuan itu, pihak pemerintah daerah memberikan konfirmasi bahwa permintaan pembebasan lahan warga sejauh 8 (delapan) meter adalah untuk menunjang pembangunan Rute Jalur Hijau (RTH) di kawasan jalan lingkar ini. Pemerintah daerah sendiri menawarkan ganti rugi hanya untuk tanah yang akan di lewati patok. Sedangkan bangunan yang berdiri di atasnya tidak akan diganti rugi dengan alasan minimnya biaya. Pertemuan ini berakhir tegang karena warga menolak dengan tegas permintaan pemerintah kabupaten untuk pembebasan tanah sebesar 8 (delapan) meter tersebut. Beberapa warga juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang tidak ingin mengganti rugi kerugian bangunan di atas lahan yang akan digusur. Keadaan sempat memanas sehingga membuat pihak kepolisian menurunkan personilnya untuk berjaga-jaga agar kondisi tetap aman.

Keesokan pagi (3 November 2009), warga lalu berinisiatif untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan penolakan terhadap pembebasan lahan untuk Rute Jalan Hijau (RTH) ini. Beberapa orang warga kemudian segera ditugaskan untuk menghubungi sekaligus mengajak warga masyarakat yang lain untuk bersama-sama melakukan demonstrasi ke gedung legislatif kabupaten hari itu juga. Tak lama kemudian, warga berkumpul dan melakukan aksi longmarchnya dengan mengambil start dari kantor kelurahan Kampung Tidore di bawah pimpinan ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kampung Tidore.

Demonstrasi ini berhasil memaksa beberapa anggota DPRD Kabupaten Sangihe untuk menemui massa dan melakukan dialog membahas persoalan ini. Namun jawaban diplomatis ala legislatif tak memuaskan warga yang semakin khawatir bahwa penggusuran akan tetap terjadi sepanjang patok-patok tersebut masih berdiri. Tertangkap kesan bahwa ada upaya saling melempar tanggung jawab antar berbagai pihak dan instansi yang berwenang dan punya andil dalam persoalan ini. Tak puas dengan tanggapan yang diberikan oleh anggota DPRD, warga memilih kembali pulang ke rumah kemudian mengambil keputusan untuk segera menghancurkan patok-patok penanda perluasan lahan.
Sekarang, warga kelurahan Kampung Tidore tetap bersikeras untuk tak lagi memberikan tanahnya meski sejengkal. Diskusi dan pertemuan sering di gagas untuk membicarakan persoalan ini. Advokasi kasus dan pendampingan dilakukan oleh Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI). Sementara itu di tingkatan pemerintah daerah pembicaraan mengenai persoalan ini masih terus dibahas. Belum ada kejelasan tentang akhir sengketa ini.

Puisi Reza Inkiriwang: "Minahasa Electric Crisis".

Part I
Hei yo Hei yo The Light goes on and light goes off

Hei yo Hei yo
The Light goes on and light goes off
Hei yo is the hei yo
The light goes on and light goes off

I work all day long and light goes off
The Light goes on and light goes off
I stick to the candles til morning comes
The light goes on and light goes off

Come Mr PLN turn on my electric
Don't you know where does money come from
Come Mr PLN turn on my electric
Don't you know we can finally "pay" off

One time, two times three times light is gone
The light goes on and light goes off
Four times, Five times Six times are damn black
The light goes on the light goes off

Hey yo Hey yo
The light goes on and light goes off
Hey What a day What a day What a day
The light goes on and light goes off

Hey all my friends say why don't you stop pay bill
It will be cut off and the problems are more
Hey all my friends say did you save energy?
Yes we did but the price getting more crazy

It's said Lahendong are not so hot
We need to build the power sation more
It's said Tanggari is getting drought
It' all classic but what can we do more

Hey yo Hey yo
The light goes on and light goes off
Hey what a day what a day what a day
The light goes on and light goes off

Come Mr Sinyo do something more
he said we should try to save more
Come Mr Sinyo do something more
he would say that with all same things

Hey yo Hey yo
The light goes on and the light goes off
Hey What a day what a day what a day
what a day what a day yo
The electric is crisis but we should still care for



Part II
Electric Kills All Things Here

I live in nice place but back to centuries ago
Nothing but black and carries a little fire to go
If you were me I'm sure you'll going be mad too

Oh ah Oh!

TV sleeps. Lights rest in peace. and the net is dead
Cables, devices, lines under grave of technology
And now you understand the problem you can see

Oh ah Oh!
It's all the same again
Oh ah Oh!
Now you can tell that

Electric kills all things here
Electric kills all things here
Trouble here and breaks them all


Oh ah ah ah oh

High Class Meeting, Parade of ships we just all had
We have foods, singers, models and intellectuals
But what a heck now we live in the dark

Oh ah oh!
Light always goes sucks!
Oh ah ah!
But we still pay it

Electric kills all things here
Electric kills all things here

In the morning in the night
We can do nothing but it's gone too far

Oh ah ah oh
Oh ah ah oh

Electric kills all things here
Electric kills all things here

Now our minds we can't control!
We can't stand it cause it's gone too far
Trouble here and breaks them all
Put the blame on PLN

OH Hooooow will it come eeeeeend!
Oh aaaaaah Christmas will come aahhhhhhh!

Electric kills all things here (oh ahhhhh my weeding is canceled!)
Electric kills all things here (oh ahhhhh my dating is damaged!)
Electric kills all things here(oh ahhhhhhh I can't do my job!)
Electric kills all things here

Cerpen Novline Lidia Rewah: "Lantaka"

.......lantaka pe bunyi.....bekeng rame ta pe banua minahasa,
biar nyamuk rako di bawah kolong rumah....mar tong bakumpul se bunyi ni lantaka....
na pe suara......melambung diantara gunung dua sudara dan klabat.....
na pe gema rupa mo se pica tu gunung soputan.....
biar oom pala lengkali jaga marah....amper jatung katu tu jantong lantarang ta kage , pas lewat tong se babunyi tu lantaka......
cuma pake obor.....ato lampu botol tong barmaing ni lantaka.....rupa tong da setau pa seantero dunia.......NAPA KITA PE BANUA MINAHASA......
tiap kali tong mo pasang......
so musti tiop dulu se kaluar depe asap......soalnya kal nda sekaluar....depe babunyi rupa sapa stou pe konto......

lantaka......skarang kasiang torang so nda dapa kase barmaing rupa dulu......
padahal torang pesalah sandiri deng tong pe nakal katuun sampe.....lengkali kal tu api kaluar.....kage alis deng rambu bagiang muka so tabakar......
mar lengkali katuun....kal so tal panas.....ja meletus kong tabakar tu rumah kang......so itu oom pala deng kuntua so nya ja kase barmaing tu lantaka.....

dar bulu basar tong beking pa ngana lantaka,
se lobang di dekat buku-buku for mo isi dan mo tampung minya tanah.....
deng kaeng lap for mo tutu tu lobang waktu mo se babunyi........

lantaka.......na pe bias pribadi bukang cuma jadi kenangan.....
mar.....lantaka ngana masih hidop pa tole,utu,inyo deng tu samua nyong-nyong minahasa yg pernah da jadi trend deng ngana tempo dulu......pehati deng jiwa......

na muncul sebelum hari basar,
na so se tau pa samua orang di kampung.......hari basar so nda lama.....
biar ada dikobong jao.......serta dengar lantaka pe babunyi.....
orang kobong so tau.......hari basar so dimuka pintu......

lantaka......
ngana rupa sosok pribadi yg hidop di antara ta banua minahasa,
na so se smangat ta pe bangsa minahasa.......
na so jadi warta for ta pe bangsa minahasa.......

serta malam hari basar datang.......
deng satu pengorbanan.....na rela tong beking umpan api for mo bakar akang......
nasi ja,posana,pangi,tinoransak

........deng samua tu da isi di bulu......

lantaka kini bergeser deng......petas-petasan buatan china.....

kini buatan bangsaku minahasa.......hanya tinggal kenangan......
dentuman lantaka......kini tinggal dalam ingatan.......
namun......lantaka ngana pe nama tetap ada pa kita pe hati......

ta akan jadikan ngana seruan yang panjang rupa ngana pe bunyi yang panjang mengema di seantero dunia.....
ta ingin skali ngana hidup kembali memelopori perjuangan ta pe bangsa minahasa mo mangada globalisasi dalam segala bidang......

biarkan tong pe hati putra putri bangsa minahasa.....selalu di bakar dengan api.....kesetiaan pada tanah leluhur kami.....minahasa!

lantaka......
bakar semangat patriotisme bangsa minahasa dalam keyakinan.......MENJADI SATU bangsa yang mengemakan......I yayat u santi......!!!!!!!!


kampung sorong,15 desember 2009.

Puisi Meidy Tinangon: "Pesta Kami, Duka Sang Raja".

...apresiasi terhadap puisi Greenhill Weol, "Mari Berpesta!".


Tuhan,
Kepala kami berpesta dengan mahkota kesombongan
Mata kami berpesta dengan kedipan ketidakadilan
Mulut kami berpesta dengan bahasa kemunafikan
Hati kami berpesta dengan kasih yang diskriminatif...
Tangan kami berpesta dengan kepalan kekuasaan
Kaki kami berpesta dengan jejak kezaliman

Tubuh kami berpesta namun kau tampak murung....

Owww...... kami mendukakanmu Tuhan.....
Ampuni kami ya Tuhan.................

Puisi Greenhill G. Weol: "Mari Berpesta!".

Tuhan,
Kau lahir lantas kami berpesta
Kami pakai pakaian gemerlap
Kami mabuk anggur arak
Kami makan segala sedap

Tuhan,
Kami berpesta karena lahirmu
Kau di Bethlehem Efrata
Kau di kandang miskin papa
Kau dibungkus lampin sengsara

Tuhan,
Mari bersolek!
Mari mabuk!
Mari makan!

Mari berpesta!
Segala Rumah Doa bersabda
Segala Mimbar memuja
Segala dosa tercipta

..sebab lahir-Mu dulu adalah mati-ku kini..

Puisi Altje Wantania: "Mari JABAT TANGAN !".

Selamat malam Sobat.
Desember kini datang lagi,
orang-orangpun
asyik berbasi-basi
mengatasnamakan kasih .
Kini,
pesta-pesta digelar setiap hari,hampir sepanjang hari.
Di atas nampan emas,
cinta dan kasih
imitasipun disajikan untuk setiap lidah yang lapar.

Ya,desember datang lagi.
Orang-orangpun ramai
berandai-andai
menjadi pembawa damai.
Untuk sementara cacimaki disimpan dulu,
untuk sementara,
sumpah serapah dipendam dulu,
pasang senyum semanis mungkin,
pasang wajah seramah
mungkin,
damai di bumi
damai di bumi.

Yaaah, desember datang lagi,
tuhan lahir lagi
tuhan datang lagi
orang-orangpun ramai-ramai membawa komisi
buat tuhannya.
Persepuluhan yang bukan sepersepuluh dari hasil korupsi
sudah mampu melahirkan dewadewa.

Yah !
Desember datang lagi,
atas nama kasih,
segenap indera dilumpuhkan sejenak,
agar kepalsuan tak nampak,tak terdengar dan tak terasa !

Damai di bumi
damai di bumi
jabat tanganku,
peluk aku
cium aku
!





Jauh disana,
Tuhan menangis




-Tondano,6 Desember 2009.

Puisi Jack Wullur: "Jangan Sedih, Tole (ada no dorang pe jatah)".

Jawaban Puisi Denni Pinontoan: "Tuhan Atas Doa Tole".


Jangan sedih tole...
karena bukan cuma tole yang nda dapa baju baru
Jangan pesimis tole...... Lihat Selengkapnya
karena Natal taon depan kita so ada rencana indah for ngana

Kita so tau ngoni orang susah
Kita so tau ngana pe papa dan mama pe karja
Terus jo rajin-rajin skola deng berdoa
Karena ngana pe masa depan kita akan biking bagus

Kalo ngana berdoa rupa bagini jo
Kita nda suka yang ja bagabu
So itu jang ngana coba-coba blajar bagabu
Kalo pendeta-pendeta di gareja, tenang jo tole

Kita so ja taruh kira pa dorang
Mar kita masih ja kase kesempatan
Ngana kase inga-inga akang katu no pa dorang
Kalo dorang nda barubah ada no dorang pe jatah

Puisi Denni Pinontoan: "Tole pe Doa di Bulan Desember".

Tuhan, mama deng papa bilang
Qta kata nda mo bli baju baru ni Natal
Ya, qta mo bilang lei apa kasiang
So bagitu setiap taon kita pe nasib no’

Tuhan, torang kasiang orang susah
Papa pe karja ba pacol di kobong
Mama ba jual sayor deng rica di pasar
Maar Tuhan, biar bagini qta ja skola

Tuhan, cuma ini qta pe doa
Qta kasing nda pande ba gabu
Nda sama deng tu pendeta di gereja
Mudah-mudahn ni doa sampe. Amin

Puisi Altje Wantania: "BUKAN TENTANG AMARAH".

Bila aku mati nanti
tak akan ada berita duka
dan tak akan ada perkabungan
karena itu justru hari bahagia

jangan mengira
angin akan membawakan kabar untukmu
karena justru
akulah yang akan menyampaikan langsung padamu

semoga jantungmu cukup kuat menerima kejutan
dan jangan pernah berpikir bahwa kematianku akan membuatmu lolos dari tamparanku

kematian akan membuatku lebih kuat
karena aku telah kembali menyatu dengan penciptaku
aku bisa ada
dimana saja
kapan saja

aku harap
bila saat itu tiba
engkau punya nyali
untuk menatap mataku
tanpa sembunyi-sembunyi lagi
dan menatap wajah sang maut
tanpa perlu basabasi lagi

tapi ingat
aku tak bisa memberikan jaminan
gerbang mana yang akan dibuka untuk seekor ular seperti kamu

ya,
bila aku mati
tak akan ada perkabungan
karangan-karangan bunga akan dikirim para sahabat
sebagai tanda turut berbahagia.


_Tdo,19 Des 2009

Puisi Andre GB: "SURAT DI SAMPING RANJANG UNTUKMU SAAT PAGI".

bila nanti hati telah lelah bercinta
dan merasa bahwa kau tak lagi perawan
maka aku kan pergi tinggalkanmu
sendiri di kamar ini dengan tangis

karena memang begini seharusnya
sebuah kutukan terjadi merusak mimpi
dan aku adalah si pembawa pesan
sial dan bencana atas nama rindu

Reportase Denni Pinontoan: "Natal MCC, GMM dan Pinawetengan Muda: “Yesus Kristus Lahir di Watu Pinawetengan”.

Pinabetengan – Orang-orang muda Minahasa yang tergabung dalam Mawale Cultural Center (MCC), Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Pinawetengan Muda beserta jaringannya se-Minahasa, Rabu (9/12) malam memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks budaya Minahasa melalui Pagelaran Seni Natal Yesus Kristus di Watu Pinawetengan, Desa Pinabetengan, Minahasa. Kegiatan yang dimaknai sebagai Perayaan Natal yang khas dan kreatif ini dimaksudkan sebagai bentuk kontekstualisasi teologi dalam kebudayaan Minahasa.

Kegiatan dirancang sebagai ibadah yang kreatif dan kontekstual, yang dalam prosesinya diisi pementasan teater, musikalisasi puisi serta diskusi dengan tema “Yesus Kristus Lahir di Watu Pinawetengan dengan pembicara Pdt. Dr. Richard A.D. Siwu, MA, PhD, sebagai teologi yang memiliki konsern terhadap persoalan kemasyarakan dan kebudayaan Minahasa. Bersama hadir dalam kegiatan ini Prof. Johny Weol, teologi dan juga pemerhati persoalan kemasyarakan, Ivan Kaunang, kandidat doktor di Udayana Bali, Sofian Yosadi, SH., tokoh pemuda Khonghucu, Meidy Tinangon, SSi, MPd, Ketua Penggerak GMM, Greenhill Weol, Direktur MCC, Frisky Tandaju selaku ketua Pinawetengan Muda, dan beberapa tokoh Muda Minahasa lainnya, antara lain Meidy Malonda, Bodewyn Talumewo, dan Chandra Dengah Rooroh, tokoh pemuda dari Treman, Tonsea.

Dalam diskusi yang dipandu Denni Pinontoan ini, Pdt. Siwu mengemukakan, tema yang diangkat dalam kegiatan tersebut dan yang juga menjadi topic diskusi sangat menarik. Sebab, tema ini, menurutnya, menggambarkan apa yang disebut di sekolah-sekolah teologi sebagai kontektualisasi teologi atau teologi kontekstual. “Kelahiran Yesus di Bethlehem adalah sesuatu yang histories. Dan, dalam memaknainya sekarang adalah soal konteks kebudayaan kita,” kata Pdt. Siwu.

Pdt. Siwu menjelaskan bahwa, teologi di dalam gereja-gereja kita di Indonesia kebanyakan masih mewarisi model teologi Barat. Makanya, perlu dilakukan lagi reinterpretasi terhadap ajaran dan pemahaman teologi tersebut untuk mengkontekstualisas ikan pesan-pesan Injil Yesus Kristus. “Sebenarnya, apa yang diajarkan oleh gereja-gereja kita sekarang, termasuk mengenai cara dan bentuk perayaan Natal adalah hasil interpretasi mereka terhadap apa yang terdapat dalam Alkitab dalam Alkitab. Persoalannya, kita belum melakukan interpretasi langsung. Tapi, saya kira apa yang dilakukan oleh orang-orang Muda Minahasa mala mini adalah langkah awal yang baik untuk menuju ke sana ,” tegasnya.


Orang-orang muda yang hadir dalam kegiatan tersebut menanggapi bahwa, perlu ada usaha kontektualisasi teologi gereja dalam konteks lokal Minahasa, dengan kebudayaannya, dan juga dengan persoalan-persoalan nya. “Saya kira, persoalan utama kita adalah ada manusianya. Ya manusia Minahasa. Maka, penting untuk kita lakukan bersama-sama sekarang adalah memaknai makna Natal tersebut dalam konteks kekinian kita di Minahasa ini,” kata Fredy Wowor, sastrawan dan dosen Sastra Unsrat yang juga.

Sementara Rikson Karundeng, tokoh Muda Minahasa, mengatakan, memaknai arti Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa sama halnya dengan bagaimana kita menerjemahkan nilai-nilai Injil tersebut dalam konteks Minahasa kontemporer. “Dengan demikian sebenarnya kita sedang berusaha menjebatani antara nilai-nilai histories Natal Yesus itu dengan persoalan kekinian Minahasa,” tegasnya.

Pagelaran Seni semakin menarik ketika sejumlah satrawan muda Minahasa tampil membawakan puisi secara bergantian, mereka-mereka tersebut antara lain Chandra D. Rooroh, Fredy Wowor, Alfrits "Ken" Oroh, Allan Umboh, dan Rikson Karundeng.

Greenhill Weol, dibagian awal kegiatan ini mengatakan maksudnya dilaksanakan perayaan peringatan Natal Yesus Kristus di Watu Pinawetengan ini adalah untuk memaknai secara baru arti Watu Pinawetengan dalam konteks Minahasa kontenporer. “Bahwa, menurut cerita, Watu Pinawetengan ini adalah tempat para dotu-dotu Minahasa melakukan musyawarah untuk menjawab persoalan-persoalan hidup mereka di zamanya. Maka, tempat ini kami pilih sebagai penanda bahwa sekarang ini orang-orang Minahasa tidak tinggal diam, tapi melakukan sesuatu untuk tanah ini. Sudah sekitar dua tahun, kami menjadikan Watu Pinawetengan sebagai tempat untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan kebudayaan Minahasa,” ujar Green.

Puisi Meidy Tinangon: ""DAMAI yang MAHAL (mencipta damai di masa natal)".

Damai.... 'ntuk membicarakanmu,
brapa rupiah harus dikumpul bermodal proposal tuk sebuah Seminar Perdamaian

Damai..... 'ntuk menemukanmu,
brapa rupiah harus kami investasikan untuk membuat rusuh....

Damai.... 'ntuk menghalangimu,
brapa rupiah harus kami relakan supaya tak hilang kuasa disaat damai tiba....

Damai.... 'ntuk membuat orang berdamai,
brapa rupiah harus kami keluarkan untuk ganti rugi para pihak...

Damai..... kami takut kau tiba dan ganggu strategi politik kami....
siapa harus kami korbankan dan mangsa supaya kekacauan selalu ada ?

Damai.... nilai uang tak mampu membayar harga diri demi sebuah kerendahan hati untuk berdamai

Damai.... mungkinkah engkau objek bisnis potensial ? ataukah kau tlah menjelma sebagai komoditi impor-ekspor ? Berapakah modal investasi untuk Mem-bisnis-kanmu duhai damai ?

Damai.... mahal engkau......
Kau sering ingin hadir dengan bayaran mata uang 'air mata' saat saat mata uang itu banyak palsunya...

Darahpun seakan tak sanggup membuat kami bertemu dikau wahai damai....

Sang Raja Damai, Penguasa Kedamaian, pun harus membayarnya dengan kehinaan, penolakan, siksa, hianat, cambuk, salib dan darah !!!!

Damai.....
Mahal... tapi Sang Dunia merindumu bersama bergandeng tangan mesra menuju sorga.......

Toudano, 6 Des 09....

Cerpen Novline Lidia Rewah: "......dapa inga dulu....!"

.......dapa inga dulu waktu masih di kampung,
bakumpul rame-rame....
deng torang pe tamang-tamang.....
dudu di parampatan jalang di kampung......
deng modal.....juk ato gitar......
somo manyanyi.....kong bacarita......
mulai dar da ser tu nona di jaga satu ato jaga barapa stou.....
sampe deng......tu keke oom utu poto mar panjaha pe anak nama wulan.....yang poto rupa depe papa mar bakendis kwa e........
kal tole walak so ja ba petik depe gitar deng dua snar paling bawah.......deng lagu makatana......samua baku iko manyanyi.....biar ada suara lari sei....ada suara blek......mar samua iko manyanyi nya pake orang bapalu.......

masih nyong-nyong katuun kang......
jadi tu carita masih sampe di batas.......tu nona-nona di kampung sandiri......
so ja ser-ser mar tako mo tanya.......kage katu tu nona tolak manta-manta nya dua kwa kata tu malo.........
ada lai tu so lama da ser-ser nona dikampung......mar nya ja dapa kasampatan bacarita lantarang.....salalu tu nona kal kaluar....depe kaka ja iko balakang........
ada lai kasiang so suka mo ba slamat malang pa nona ......mar tako skali dar depe opa kuntua ta tua2 dikampung yg di hormati samua orang.......

tu carita cinta dikampung kebanyakan.......rupa kandas cuma sampe di suka pa tu nona.....apalagi kasiang dulu-dulu kang.....adat istiadat bangsa minahasa......kuat skali.......jadi ya kal blung ada kuda ato sapi ato kobong deng tu alat2 rumah tangga.....nya barani mo pi maso minta.......
jadi orang tua kasiang ja bilang......kerja bae2....rajing2 kasana supaya boleh mo pi maso minta tu nona yg ngana suka........

kal da orang mati.......
so ni dia tu kesempatan nyong-nyong deng nona-nona ja baku dapa......
lantarang lama ni acara......bisa sampe pagi deng depe acara ......wora-wora cincing....rata-rata samua nyong-nyong deng nona-nona......boleh baku haga......biar katu cuma sampe disitu kang....deri jang torang lupa.......samua orang tua so pasang pa pala ato kuntua......lia-lia akang ta pe anak.......!
mar yang nya bisa tong lupa di acara wora-wora cincing.......ja ba pantun......kong ja baku-baku balas.........rupa bagini noh.....
nasi dinging satu balanga
mari kugantung di pohong kopi
sudah ingin berumah tangga
bar satu calana golpi.

kong tu laeng balas lai....
tiga kapal barete-rete
kapal ditengah muat karanjang
tiga nona barete-rete
nona ditengah mata karanjang.....
.....nya rasa tu rasa cinta so bartumbuh dar da baku balas pantun.......

dapa inga dulu......
pi batifar saguer dikobong......
kal da nona2 lewat mo pi bobaso di kuala......rupa pepatah bilang......dar mana datangnya cinta,dar mata turung ka hati kata......biar dar atas pohong da batifar........so kacili tu nyong ba floit.....ato bersiul.....no napa tu nona-nona yg deng loto da isi pakeang kotor lai.......mulai ator gaya.....sambil bobaso pakeang di kuala ato pancuran.......bacarita tentang tu nyong yg dia da takser......
bagimana tu nyong pe mata.....badang......depe tatawa,suara....dan sampe depe kumis model bagimana dong carita sambil bobaso......

dapa inga dulu.....
pi mapalus pa orang kampung pe kobong......
no mo bapacol se kalar dalang satu hari tu kobong......
nya herang tu nona-nona deng nyong-nyong pe tampa bakudapa juga katuun tu mapalus.......

era globalisasi.......so nda dapa kasiang tu babagini......biar baron supermarket.....mini market....dan baron dunia.......tong nda dapa tu babagini di tampa laeng......

membaca,merenungi nasib bangsa minahasa yang hampir punah ditelan kebobrokan ahlak dan martabat pemimpin bangsa minahasa yang egois.....serakah dan gila kedudukan......gila hormat.......dong nya sadar kasiang.........SO KURANG UNTUNG NAMA TU KATA MINAHASA.........sedang depe arti MINAHASA........dong solupa dan sengaja dilupakan....ya dilupakan.....lantarang yg dong pikirkan........bagimana kal jadi pejabat supaya boleh kuras abis rakyat pe doi.......biar maso panjara.....dorang so nya tako........pokoknya bisa bli samua tu tanah di kampung pinawetengan deng baruci lai pake nama orang laeng.......!!!!!!!!......

..hoi para pemimpin bangsa minahasa.......tong pe tanah minahasa da seberbage for bangsa minahasa turun temurun.......bukang untuk dimiliki oleh seorang pejabat.......!!!!!!!!!!!

dapa inga dulu.......
kuntua deng pala.......da kobong sandiri yg dong ja pacol deng mapalus satu kampung......
rakyat biasa......da kobong sandiri yg dong ja pacol deng mamapalus satu kampung......
ta pe bangsa minahasa......nda pernah tagantong pa bangsa laeng.......
mar skarang.......so laeng skali.......banya skali bangsa minahasa.....bajongko pa bangsa laeng......

dapa inga dulu......
inga kasana bukang mo bale kemasa lalu......mar masa lalu yg gemilang sebagai bangsa minahasa....seharusnya sekarang harus menjadi masa keemasan bagi bangsa minahasa.

dapa inga dulu......




kampung sorong,16 desember 2009.

Esei Denni Pinontoan: "Orang Muda Minahasa Bergerak (Catatan dari diskusi “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Orang Muda Minahasa”).

Kamis, 17 Desember 2009, bertepatan dengan HUT saya, teman-teman Mawale Cultural Center, dan juga beberapa kelompok jaringannya berkumpul di rumah tempat saya dan keluarga tinggal (bukan rumah milik pribadi, melainkan fasilitas fakultas). Teman-teman yang hadir tidak terlalu banyak, tapi diskusinya fokus dan menarik. Dan, seperti biasa, sebagai juru foto dalam diskusi ini adalah Bodewyn Talumewo. Sementara Sylvester Ompi Setlight mengikuti dengan seksama proses diskusi tersebut. Topik diskusi kami di sore hingga malam itu adalah “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Muda Minahasa”? Saya bilang di awal diskusi, memilih topik ini bukan berarti kita baru akan menggagas sebuah gerakan, namun katakanlah topik ini sebagai refleksi jelang akhir tahun kita atas apa yang telah dibuat oleh Mawale Cultural Center dengan jaringan-jaringannya.

Diskusi dimulai dengan pernyataan menarik dari Ivan Kaunang, yang sekarang ini sedang menyelesaikan S3nya di Udayana, Bali. Dia menyoal tentang penggunaan kata “muda” atau “orang muda” dalam gerakan ini. “Ini sangat dikotomis, tidak mencirikan posmo. Padahal melakukan kerja budaya tidak boleh dikotomis”, kata lelaki yang biasa kami sapa mner Ivan ini.

Rikson Karundeng, menanggapi pernyataan mner Ivan tersebut. Katanya, misalnya mengapa Gerakan Minahasa Muda (GMM) menggunakan kata “muda”, ini karena ada suatu masa di Kab. Minahasa terjadi kelesuan dalam gerakan kebudayaan. Nah, yang kebetulan muncul waktu itu, kata dia adalah pemikiran dari beberapa orang muda untuk melakukan sesuatu dalam kebudayaan Minahasa. Maka lahirlah GMM. Artinya, orang-orang muda yang peduli dengan kebudayaan Minahasa dalam kekiniannya berusaha mencari cara dan melakukan usaha untuk kemajuan cara pikir dan bertindak dengan basis kultur Minahasa menghadapi beberapa tantangan dan peluang.

Saya memberi tanggapan dengan mengatakan, bahwa kata ‘muda’ atau ‘orang muda’ ini sebenarnya tidak terutama menunjuk pada segi usia, namun lebih menunjuk pada semangat atau spirit berpikir dan beraksi. Orang-orang yang sudah tidak masuk dalam kategori orang muda dari segi usiapun, kata saya, bisa menjadi bagian dalam gerakan ini. Tapi, menurut saya bahwa, misalnya dari beberapa kesempatan berdiskusi dengan para tua-tua ini, yang tampak adalah pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung tidak mengikuti zaman. “Mereka, memang tidak semua, cenderung lebih banyak bernostalgia dengan masa lalu. Bahkan, kecenderungan untuk seolah-olah melimpahkan tanggung jawab terhadap usaha memajukan Minahasa sering muncul dalam ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan mereka. Dan, di sini orang muda cenderung dilihat sebagai objek,” kata saya.

Fredy Wowor kemudian angkat bicara dengan mengungkap diskusi di waktu lalu mengenai topik “tua” dan “muda” ini. Menurut dia, hal ini memang pernah menjadi topik diskusi menarik. Dalam diskusi di waktu itu, kata Fredy, akhirnya disimpulkan bahwa kata “muda” ini memang tidak terutama menunjuk pada segi usia, melainkan lebih ke spirit dan dinamisasi gerakan serta pemikiran. “Tapi, memang sebagai sebuah gerakan budaya, kita orang muda harus mengambil garis pilihan. Bukan karena kita tidak menghormati lagi peran orang-orang tua, tapi bahwa inilah kita yang mengambil pilihan garis gerakan dengan memakai pendekatan yang progresif, bersifat kebaruan dan dinamis,” kata dosen sastra ini.

Greenhill Weol mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan gerakan muda ini lebih menunjuk pada sebuah usaha dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran muda, baru dan mungkin memiliki pendekatan dan cara padang yang berbeda dengan ‘tua-tua’ tersebut. Tapi, katanya, ini bukan bermaksud untuk membuat “pembedaan”. “Perbedaan”, ya, jelas dan itu wajar-wajar saja. “Menariknya, yang khas pa torang meski kita terlibat debat atau beda pendapat dengan kaum tua misalnya, tapi selalu diakhiri dengan pendekatan kultur,” kata Green “Gondrong” Weol.

Saul Ering, pendiri Teater Roda di Manado memberi penekanan soal semangat atau “roh” muda atau orang muda dalam gerakan kultural Minahasa. Artinya, yang dimaksud dengan gerakan orang muda Minahasa menunjuk pada adanya pemikiran dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang muda atau yang berpikiran muda. “Jadi, mungkin yang lebih tepat kita menyebut gerakan ini sebagai gerakan orang-orang muda Minahasa. Roh atau semangat orang-orang muda yang melakukan gerakan itu,” kata alumni Fakultas Teologi UKIT ini.

Satu pertanyaan menarik diungkap oleh Jack Wullur, dari Komunitas Kreatif ’06, Fakultas Teologi UKIT yang hadir bersama dua rekannya, Eka Egeten dan Rivo Gosal. Dia bertanya tentang siapa sebenarnya yang disebut tou Minahasa itu. Ini kemudian memunculkan respon yang menarik pula. Diskusi pun semakin hangat. Dari beberapa orang yang menanggpi pertanyaan Jack itu kebanyakan sampai pada titik yang sama, bahwa yang disebut tou Minahasa itu bisa dilihat dari segi geneologis, dan kemudian dari segi ikatan sosial, politik dan ekonomi dengan tanah Minahasa. “Dasarnya adalah komitmen. Jadi siapapun dia yang hidup dan mati di tanah ini yang mendasari gerakhidupnya pada komitmen pada Tanah Minahasa, maka dialah Tou Minahasa,” begitu kesimpulannya.

Keragaman Corak dan Paradigma Berminahasa
(Beberapa pokok pikiran saya yang tidak tertuang dalam diskusi itu)
Di tahun 2009 ini, saya mengamati secara umum ada semacam gairah baru bagi kaum muda Minahasa dalam memberi sikap dan pemikiran serta aksi yang berbasis budaya Minahasa terhadap beberapa persoalan dalam konteks kekiniannya. Kaum muda Minahasa yang saya maksudkan tentu tidak semua. Namun, dari sekelompok orang muda Minahasa yang bergerak melalui gerakan dan pemikiran ini, sebagai orang muda, saya melihat ada semacam semangat untuk memberi perhatian terhadap kebudayaan Minahasa. Hal tersebut tampak dari gerakannya, baik itu dalam bentuk diskusi, seminar atau sejenisnya yang mengangkat tema “ke-Minahasa-an” di Facebook, di acara-acara yang melibatkan banyak orang, publikasi tulisan, dan kegiatan-kegiatan seni dan sastra. Terakhir yang saya rekam adalah usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa, seperti yang dilakukan oleh Mawale Cultural Center (MCC), Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Pinawetengan Muda di Watu Pinawetengan pada tanggal 9 Desember lalu.

Berdasarkan pengamatan saya, yang mungkin subjektif, dari berbagai macam bentuk gerakan dan pemikiran yang terlihat dipublik, tampak ada paling kurang tiga pendekatan ketika membicarakan Minahasa. Pertama, memahami Minahasa sebagai bagian yang tidak terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga kepedulian terhadap persoalan kebudayaan Minahasa selalu berusaha diletakkan dalam konteks Indonesia. Kadang pendekatan ini rawan menjebakkan orang-orang muda Minahasa pada usaha mempolitisir dan mengkomersialisasikan budaya Minahasa. Atau hanya membuat gerakan itu berjalan di tempat karena tidak kritis dalam memahami apa yang sudah mapan, sudah begitu adanya. Tapi, saya kira pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin nasionalisme orde baru dengan penyeragamannya dan juga usaha politik negara mensubordinasi Minahasa sebagai sebuah bangsa dalam komunitas politik besar yaitu negara. Tapi dari beberapa diskusi dengan teman yang saya identifikasi masuk dalam pendekatan ini, bahwa alasanya lebih kepada bahwa Minahasa, secara histories adalah bagian dari sejarah pergerakan Indonesia. Makanya, adalah suatu keharusan untuk membicarakan Minahasa dalam konteks ke-Indonesia-an.

Kedua, orang-orang yang memahami Minahasa sebagai sebuah suku bangsa yang identik dengan Kekristenan, sehingga ketika mendiskusikan masalah-masalah Minahasa selalu diletakkan pada pada nilai-nilai kekristenan, yang denganya maka ketika berbicara fenomena tentang berbagai hal yang memprihatinkan di Minahasa jawabanya ada pada iman Kristen. Bahkan ada kecenderungan untuk menyamakan begitu saja antara kekristenan sebagai agama dengan ke-Minahasa-an sebagai bangsa secara kultur. Sejarah penginjilan atau kristenisasi di Tanah Minahasa yang bersamaan dengan kolonialisme ternyata pada banyak hal telah membentuk pemikiran dan sikap bagi orang-orang Minahasa untuk menyimpulkan bahwa eksistensi Minahasa kontemporer sebagai bagian yang tidak terlepas dari proses perkembangan agama Kristen di tanah ini. Padahal, pada banyak hal gereja-gereja Kristen di Minahasa belum berhasil melakukan kontekstualisasi teologi dan praktek kekristenannya dengan kebudayaan Minahasa.

Ketiga, memahami Minahasa sebagai bangsa yang entitas dan identitasnya tidak identik dengan Indonesia dan Kekristenan. Bahwa, berdasar pada catatan sejarah, Minahasa adalah bangsa yang di dalamnya terdiri dari suku-suku. Sehingga, usaha menjawab keprihatinan terhadap berbagai persoalan Minahasa hari ini tidak kemudian diletakkan dalam konteks NKRI dan kekristenan, malah justru secara kritis mencari akar-akar persoalan itu dari dominasi NKRI dan juga persoalan belum tuntasnya gereja-gereja membumikan teologinya dalam konteks Minahasa.

Orang-orang ini memahami Minahasa sebagai organisme hidup, yang dinamis dan selalu mengambil pilihan pada zamannya. Ciri dari orang-orang yang memahami Minahasa seperti ini adalah secara kritis tidak menyamakan begitu saja antara yang disebut Minahasa sebagai entitas dan identitas kultur dengan kekristenan sebagai agama. Berikut, memahami kebudayaan Minahasa sebagai sesuatu yang dinamis, dan dengannya selalu berusaha melakukan interpretasi terhadap sejarah, nilai dan simbol Minahasa peninggalan leluhur. Kemudian, secara kritis memahami kolonialisme dan kekristenan sebagai yang antara lain penyebab dari sejumlah persoalan Minahasa kontemporer. Bahwa, kolonialisme dan kristenisasi di Tanah Minahasa telah menyebabkan hilangnya beberapa nilai budaya Minahasa. Dalam mendefinisikan siapa Tou Minahasa, pendekatan ini cenderung terbuka. Bahwa yang disebut tou Minahasa kontemporer tidak terutama hanya bisa dilihat dari segi geneologisnya, namun juga komitmen dari orang-orang (siapa saja dia) yang hidup dan mati di atas tanah Minahasa.

Pada soal politik, oleh pendekatan ini memahami bahwa NKRI tidaklah identik dengan Minahasa, sebab Minahasa adalah bangsa dengan identitas dan entitasnya yang khas yang berbeda dengan NKRI yang baru berdiri pada tahun 1945 itu. Pada hal-hal tertentu, secara kritis memahami bahwa struktur dan kebijakan politik NKRI telah mendominasi dan menghegemoni Minahasa. Pendekatan ini percaya, bahwa salah satu cara untuk memajukan Minahasa adalah dengan perubahan cara pikir dan paradigma.

Tapi yang perlu digaris bawahi bahwa ketiga kategori pendekatan ini tidak serta merta menunjuk pada lembaga atau kelompok gerakan orang-orang muda tersebut. Dalam satu kelompok gerakan orang Muda Minahasa, ketiga corak dan paradigma berpikir tersebut bisa tercampur. Masing-masing individu di dalamnya bisa saling berbeda pendekatan. Makanya, ketiga pendekatan ini barangkali tepatnya kalau disebut sebagai corak dan paradigma berpikir dalam memahami dan mendekati Minahasa sekarang ini secara umum yang tampak dalam diskusi-diskusi di berbagai macam ruang sebagai media untuk membicarakan Minahasa. Lepas dari persoalan perbedaaan pendekatan dan paradigma tersebut, hal yang positif dari fenomena ini adalah munculnya semacam semangat baru dalam memaknai Minahasa dalam kekiniannya. Para orang muda Minahasa sekarang ini dan mudah-mudahan akan semakin berkembang, sementara melakukan gerakannya dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti: seni sastra (sanggar-sanggar teater, band-band indie) kajian intelektual (lewat diskusi, penelusuran jejak-jejak sejarah, penelitian, penerbitan buku, dll) dan kelompok-kelompok yang fokus pada minat tertentu.

Kami, di Mawale Cultural Center misalnya mengambil posisi pada pendekatan yang terbuka, kritis dan berusaha mendialektikan secara aktif antara nilai budaya di masa lalu dengan melakukan interpretasi kritis terhadapnya dengan konteks Minahasa kontemporer. Meski pada level praksisnya, di antara kami masih sering terlibat dalam diskusi yang mendalam mengenai beberapa hal yang menjadi perhatian bersama. Prinsip dasarnya adalah komitmen membangun kembali rumah bersama Minahasa ini yang mungkin pada beberapa hal masih sangat terbebani dengan paradigma warisan kolonial, paradigma sentralistik orde baru, belum tuntasnya usaha menkontekualisasikan teologi agama Kristen dengan Minahasa yang telah memunculkan keterbelahan pada orang-orang Minahasa. Dengan berbagai bentuk gerakan yang ada di Mawale Cultural Center yang bergerak bersama dengan berbagai jaringannya, misi kita adalah melakukan perubahan paradigma atau mindset di kalangan muda Minahasa.



Bukit Inspirasi, Jumat, 18 Desember 2009

Puisi Ruth Ketsia Wangkai: "SANG MANGUNI TELAH LAHIR".

MANGUNI, satwa yg hampir punah.
Kehilangan habitat yg nyaris tak berhutan
Suara kicaunya kian tak terdengar.
Tak ada lagi ranting dan dahan tempat berteduh.

Dulu para leluhur menyambutnya sebagai ujud Sang Ilahi
Pembawa pesan akan datangnya berkat atau malapetaka
Tapi kini Ia sekedar logo institusi dan para penguasa.
Malah ada yang menudingNya takhyul.

Sedih ... piluh ... tersayat hati kami
Merenungkan nasib Sang MANGUNI
Tapi, marah ... beringas ... dan berontak jiwa kami
Menatap mereka menindas diriMu dalam simbol tanpa makna.

Banyak dari kami kalah, tak berdaya melawan arus borjuasi
Tapi Tou Minahasa Muda kini bangkit
Ujud baru Sang MANGUNI telah lahir
Mengemban misi demi hidup yang bermartabat.

Puisi Denni Pinontoan: "Kami Sudah Bangkit!!!".

...balasan tuk puisi Green: Kami Kalah (Tapi Belum Mati)

Agama kita tak lagi membebaskan
Politik kita semakin rakus dan narsis
Ekonomi kita hanya memiskinkan
Komunitas kita semakin pragmatis

Namun budaya kita belum kalah
Memanggil kembali ke asal pijakan kaki
Berziarah mencari ilham dari leluhur
Berdialog dengan kekinian kita

Tanah kita masih mendetakkan kehidupan
Gunung lokon, soputan dan kalabat
Masih kuat menopang langit
Tanah kita masih subur memberi hidup

Manguni kita masih tajam menatap
Tapi suaranya semakin jauh terdengar
Fanatisme beragama dan kerakusan
Mesin-mesin hasrat milik para kapitalis
Mengusir dia dari kehidupan tou Minahasa

Tapi, kami kaum muda Minahasa
Yang telah bersumpah tuk tanah ini
Yang dilahirkan dari para perempuan tangguh
Kami, sudah bangkit untuk melawan!!!



Bukit Inspirasi, 13 Desember 2009

Puisi Frisky Tandaju: "Torang Punya".

Tana' ini torang punya..
Wale ini torang punya..
Lalan ini torang punya..
Sampe got torang punya..
Mar...
Hidop ini cuma nda lama,
Wale cuma sementara,
Lalan so beking ilang jalan,
Sampe got so jadi tampa tinggal
sama2 deng tikus,
Kuran mo ba kuku pa empung..
"Temboney se mangale ngale.."
I hope some day you will join us.

Puisi Reza Inkiriwang: "Call Us Names, But We Can Be Much More".

Prostitute
That's you gonna call us
Nothing but Poco-Poco dancer
That's you gonna call us
Corruptor Minister
That you gonna call us
Drunker
That's you gonna call us

Go Ahead
Laugh at us
Shout at us
But Heck and Hell with you
We won't listen to you
We don't care about you

Cause we are not dumber

We can be doctor
We can be police
We can be soldier
We can be law practitioner
We can be scientist
We can be politician

And we can be hell too if you want
If you step on us

Puisi Greenhill G. Weol: "Kami Kalah (Tapi Belum Mati)".

Aku lihat putri-putri kami dicuri
Ditebus pergi rupiah ke penjuru negeri
Aku lihat putra-putra kami bunuh diri
Hancur menghantam aspal gengsi

Aku lihat ibu-ibu kami gila menari
Tari-tari bobrok tak punya arti
Aku lihat bapa-bapa kami korupsi
Padahal merangkap jabatan suci

Wahai Empung Pencipta Bumi
Leluhur yang gagah berani
Anak-cucu yang belum membumi
Tana' dimana kelak kami kembali
Masih ada bijak sang manguni
Belum lupa cara mengacung santi
Karena kami memang kalah hari ini
Tapi kami belum mati