Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Denni Pinontoan: Media, Wacana dan Perempuan".

Sejarah peradaban dunia sampai sekarang ini seolah bergerak bersama dengan cerita memiriskan tentang penindasan terhadap kaum perempuan. Sejarah penindasan ini, sudah berlangsung begitu lama dan tersebar di hampir semua dimensi kehidupan manusia. (John Stott: 1994, 334). Budaya patriarki telah begitu merasuk peradaban umat manusia di manapun dan kapanpun dia berada. John Stott, ketika mengulas tentang sebab-sebab kebangkitan gerakan feminis, antara lain menunjuk pada sejarah pencitraan negatif terhadap perempuan yang justru dapat ditemukan dalam teks-teks kitab suci umat Yahudi, kemudian pemikiran-pemikiran para filsuf klasik Yunani terutama Plato, Aristoteles, dan selanjutnya para bapak gereja. (Stott, 334).
Meski zaman sudah berubah, dan demokrasi (yang di dalamnya mengandung spirit persamaan hak, dan keadilan) telah menjadi pilihan di banyak negara bangsa (nation state) di Dunia Ketiga misalnya, namun, globalisasi yang antara lain ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, pada banyak hal telah melahirkan persoalan baru bagi perempuan. Di bidang media perempuan ternyata masih diposisikan sebagai objek untuk dieksploitasi oleh pemilik modal media, dan kekuasaan rezim. Gadis Arivia mengatakan, ”...representasi perempuan di media massa masih saja sangat bias gender.” (Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan: 1998, 1).
Debra H. Yatim mengulas persoalan media dan perempuan dengan antara lain mencoba mencari tahu sampai pada persoalan produksi berita yang kemudian, dari wacana yang dimunculkan sebuah berita atau artikel, ternyata memberi dampak pencitraan bagi perempuan. Yatim menulis:
”...kita perlu ingat bahwa seluruh hidangan media, baik itu berita maupun hiburan, diramu oleh sosok individu atau sekelompok orang pekerja media, yang harus melewati serangkaian proses pola bias dan tradisi yang dianut media tersebut, serta dikerjakan di bawah tekanan waktu, sumberdaya dan persaingan ketat. Apa yang diseleksi untuk disiarkan (dan juga apa yang tidak terseleksi), pola penyuntingannya, keputusan konstruksinya, serta hasil akhir penyajiannya – dan tidak kalah penting, oleh siapa rangkaian langkah itu dilakukan – kesemua ini ikut andil dalam membangun (dan juga membatasi) persepsi kita terhadap dunia tempat kita berpijak. (Debra Yatim, dalam Jurnal Perempuan...,3-5)..

Proses produksi sebuah berita dan wacana, adalah faktor penting terbentuknya opini dan citra publik terhadap apa yang sedang diberitakan dan diwacanakan. Dalam sebuah proses panjang pewacanaan di publik, perempuan ternyata selalu dianggap oleh media sebagai yang pasif atau bahkan objek pemberitaan. Untuk menjelaskan posisi sulit perempuan di media, Yatim kemudian mengatakan:
”...bahwasannya seluruh media dikuasai oleh kaum pria – dan pria yang kaya. Bagi tuan-tuan media media insentifnya yang terlalu besar membuat sajian hidangan yang dikeluarkan media pun dengan sistem yang paling menarik, kapitalisme dan patriarki.” (Yatim: 1998).

Persoalan lain yang menjadi sepaket dengan apa yang diidentifikasi oleh Yatim tadi adalah ketika media akhirnya menjadi alat untuk ”menjual” tubuh perempuan demi keuntungan pelaku bisnis media. Penampilan gambar-gambar setengah telanjang para model perempuan oleh media dalam iklan, foto, dan film pada banyak hal telah mencitrakan perempuan sebagai makhluk murahan dan rendah.
Bersamaan dengan itu, media juga agaknya lebih gampang menjadikan perempuan sebagai objek dalam sebuah pemberitaan ketimbang diperlakukan sebagai subjek. Yunidar Nur, menggambarkan kelakuan para sineas melalui sinetron-sinetron Indonesia yang sering menampilkan tokoh perempuan sebagai sosok yang bodoh, terkebelakang dan bloon sebagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis. Efek dari pengambaran seperti ini, menurut Nur, bahkan bisa melembagakan praktek kekerasan dalam masyarakat (Yunidar Nur: 2005)
Masalah-masalah yang saya identifikasi ini menarik untuk dikaji sebab di era globalisasi ini, media telah menjadi salah satu unsur penting peradaban. Bersamaan dengan itu ini juga dipicu oleh karena semakin menguatnya diskusi-diskusi tentang diskriminasi perempuan yang yang terjadi di hampir semua dimensi kehidupan. Sehingga, kajian ini dimaksudkan terutama untuk mendapatkan gambaran tentang diskriminasi oleh media terhadap perempuan, dan kemudian dari gambaran itu diharapkan akan diperoleh sebuah telaah atau analisa kritis keilmuan dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tentang posisi perempuan dalam media.

Citra Perempuan dalam Media
A. Diskursus Hubungan Perempuan dan Media
Kajian tentang hubungan media dan perempuan telah banyak dilakukan oleh para akademisi maupun para penggiat feminis. Kesimpulan dari kebanyakan kajian itu, bahwa, media melalui bahasa dan wacana yang disebarluaskannya telah memberi dampak diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ini disebabkan antara lain karena baik bahasa yang digunakan dan wacana yang diproduksi media masih bias gender. Yatim menyimpulkan empat hal sebagai faktor penyebab diskriminasi perempuan oleh media:
Pertama, media memiliki bias-bias yang inheren, dan tidak mungkin (atau tidak mau) bersikap objektif sepenuhnya dalam menyajikan panggung kehidupan.
Kedua, media dimiliki oleh sekelompok kecil orang, kebanyakan pria dan pria elit.
Ketiga, struktur penyelenggaran media tidak seimbang antara laki dan perempuan.
Keempat, isu perempuan karena dianggap tidak mewakili kepentingan elit kekuasaan, tidak mampu menembus ke dalam mainstream tidak dipandang sebagai unsur penting bagi kelangsungan masyarakat. Dan jangan lupa, ketikdaktembusannya itu bisa juga karena patriarki bisa dianut oleh siapapun, lelaki maupun perempuan. (Yatim: 1998, 13).

Bahasa yang digunakan media dianggap memainkan peranan yang penting lahirnya sebuah pencitraan negatif terhadap perempuan dalam media. Karlina Laksono Supelli berpendapat, pemilihan kosa kata dan penjalinannya dalam bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam percakapan atau tulisan belum peka terhadap perempuan. Malah, bahasa mampu membentuk stereotip mengenai posisi dari status perempuan, atau bahkan menyisihkannya. ”Media massa besar dan terkenal sekalipun seringkali tidak mempunyai kepekaan itu.” (Karlina Laksono Supelli dalam Jurnal Perempuan...., 17).
Bahkan menurut Supelli, bahasa dapat dibebani dengan kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan sosial dengan cara yang tidak kita sadari, serta untuk menyelubungi kebenaran-kebenaran penting dengan memanfaatkan retorika. Dalam kajiannya itu, Supelli menegaskan bahwa bahasa bisa menjadi senjata terselubung yang dipergunakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan lebih untuk menekan dan membuat diam pihak yang tersubordinasi. ”Terselebung, karena pertama, jika dikaitkan dengan cara pemrolehannya, kekuasaan itu mendapat persetujuan dari pihak yang dikuasai.” (Suppeli: 1998, 18).
Karenanya, media, menurut Supelli, dapat menjadi penentu realitas apa yang bakal dominan. Media dapat mengatur bagaimana masyarakat harus memikirkan tentang suatu realitas. Makanya, tidaklah mengherankan jika kemudian media menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Dengan kata lain, media memiliki kuasa untuk menentukan opini atau pencitraan terhadap suatu objek. Dalam hal membicarakan perempuan, dari sinilah akar terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Sebab, ketika media hanya dikuasai oleh para kaum laki-laki, maka sudah tentu perspektif kaum laki-laki yang dominan dalam mengambarkan realitas dalam masyarakat.
Supelli menyimpulkan kenyataan ini dengan mengatakan:
Bahasa dan media menjadi dua kekuatan yang mengkonstruksi realitas, dan realitas itu adalah realitas menurut kepentingan pusat-pusat otoritas tertentu yang kemudian berjalin dengan kepentingan kebertahanan hidup media itu sendiri. (Suppeli: 1998, 25).

Ninuk Mardiana Pambudy dalam sebuah tulisannya yang mengulas tentang pencitraan media terhadap perempuan, mencoba memetahkan persoalan hubungan perempuan dan media ini antara lain dengan berangkat dari sejumlah hasil penelitian terhadap media di Indonesia. Misalnya, seperti yang ditulisnya, adalah hasil penelitian tahap awal Hak-hak Seksual dan Pemberdayaan Perempuan oleh Kartini Network di Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Jender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada tahun 2005. Yang diteliti adalah bagaimana media tersebut menggambarkan seksualitas perempuan, terutama dari kelompok marjinal, yaitu janda, pekerja seks komersial (PSK), dan lesbian (Ninuk Mardiana Pambudy : 2005).
Berdasarkan hasil penelitian itu disimpulkan bahwa:

Cara penyampaian media-media tersebut memang sangat berbeda. Artikel mengenai lesbian, misalnya, amat minim, bahkan pada koran kuning. Sedangkan tulisan yang terbanyak adalah mengenai janda, disusul dalam jumlah lebih sedikit adalah mengenai PSK. Majalah khusus laki-laki yang menempatkan diri pada posisi pembaca kelas menengah atas menggunakan bahasa yang diperhalus, meski konotasinya tetap negatif. (Ninuk Mardiana Pambudy : 2005).

Hasil penelitian itu menggambarkan betapa perempuan akhirnya harus menjadi korban diskriminasi pencitraan. Suara dan pengalaman perempuan sepertinya dibungkam oleh media. “Di media, perempuan lebih dimunculkan sebagai obyek seksual laki-laki yang berarti perempuan dikonstruksikan sebagai korban dan sebagai obyek yang dikasihani.” (Ninuk Mardiana Pambudy : 2005).
Produksi berita, yang di dalamnya melibatkan wartawan, proses penyuntingan, pengeditan dan penyeleksian oleh redaktur di kantor redaksi, adalah proses terjadinya wacana dan opini publik. Kode etik jurnalistik di manapun sebenarnya telah mengatur dengan jelas, bahwa seorang wartawan dalam melakukan kerja peliputan harus selalu bersikap netral dan indepeden. Media, di mana wartawan bekerja dan yang memproduksi lahirnya wacana dan opini publik juga diwajibkan untuk bebas nilai.
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dalam Bab I misalnya menyebutkan bahwa: “Wartawan harus memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri serta integritas dalam arti jujur, adil, arif dan terpercaya.” (Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat:, 2005, 204).
Selanjutnya soal cara pemberitaan disebutkan dalam Pasal 2: “Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukan fakta dan opini...” (Kusumaningrat dan Kusumaningrat: 2005, 307).
Jelasnya, secara moral etis, wartawan mestinya menjadi seseorang yang hanya memberitakan fakta, dengan kewajiban memperhatikan unsur keadilan, objektifitas dan kemanusiaan. Dengan adanya penegasan tidak boleh mencampuradukan fakta dan opini, maka yang dituntut pada seorang wartawan adalah profesionalisme, tak menjadikan kerja wartawan sebagai ungkapan perasaan atau untuk menyudutkan pihak lain.
Tapi dalam kenyataannya, selain terhadap objek pemberitaan lainnya, perempuan khususnya, ternyata mendapat posisi yang kurang beruntung dalam kerja jurnalistik media. Eriyanto dalam bukunya Analisis Wacana menelaah secara mendalam tentang wacana yang dihasilkan oleh media, yang ternyata sangat terbeban dengan ideologi, kekuasaan dan modal dari kelompok yang dominan dalam masyarakat. Dengan memakai pendekatan analisis wacana kritis, Eryanto kemudian menemukan bahwa: ”Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan.” (Eryanto: 2001, 7). Wacana yang dihasilkan oleh media dalam kerja jurnalistiknya, menurut, Eryanto dapat membuat masyarakat memandang suatu ketimpangan sebagai sesuatu yang wajar. Wacana yang kemudian membentuk opini publik masyarakat, dapat membuat pembaca atau masyarakat terpengaruh dalam memandang suatu realitas.
Dalam menganalisis pemberitaan oleh media, menurut Eryanto pendekatan analisis wacana harus mempertimbangkan faktor konteks (latar, situasi, peristiwa dan kondisi), historis (ruang dan waktu penciptaan berita), kekuasaan (dari elit kepada rakyat atau dari laki-laki kepada perempuan) dan ideologi (paham, aliran pemikiran dari yang berkuasa atau pihak yang memegang otoritas). (Eryanto: 2001, 7). Unsur-unsur ini, sangat menentukan isi, maksud dan dampak sebuah wacana.
Pendekatan analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Menurut Eryanto pendekatan ini melihat bahwa:
Bahasa selalu memapankan kelompok dominan dan menggusur kelompok yang tidak dominan. Bahasa adalah isntrumen utama untuk memarjinalkan kelompok lain dan mengeluarkan mereka dari pembicaraan. (hal. 46).

Kenapa bisa begitu? Bahasa, sejatinya netral dan bebas nilai. Bahasa kemudian memiliki makna dan bernilai ketika subjek atau pebahasa menggunakan bahasa untuk suatu kepentingan dan tujuan. Kaum laki-laki, penguasa media, akhirnya terjebak untuk menjadikan bahasa sebagai ekspresi patriarkalnya. Sebagai contoh, berita mengenai perkosaan yang banyak diungkapkan adalah cerita mengenai proses perkosaannya, sementara informasi mengenai usaha paksa pelaku perkosaan tidak banyak ditampilkan. Dengan pola pemberitaan semacam itu, perempuan sebagai korban berada di pihak yang lemah, seakan perkosaan itu terjadi tanpa paksaan, tetapi dikehendaki oleh korban.

B. Analisa Kritis
Hubungan perempuan dan media, ternyata terjadi secara diskriminatif. Media, dengan kerja jurnalistiknya (peliputan, produksi, penyiaran dan penyebaran luasan berita yang mengandung pesan) yang kemudian menghasilkan wacana dan opini publik, adalah juga tindakan, dan proses yang terjadi secara ideologis. Hasil dari kerja media yang seperti itu adalah pemosisian perempuan sebagai objek yang dengan demikian menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan objek seksual.
Setidaknya dari sejumlah kajian dan diskursus tentang hubungan perempuan dan media, dapat dipetakan beberapa faktor penyebab diskriminasi terhadap perempuan di ruang publik. Pertama, bahwa yang menguasai media adalah dominan kaum laki-laki. Penguasa media yang adalah laki-laki itu dipahami sebagai pihak yang memproduksi wacana yang kemudian membentuk opini atau pencitraan negatif terhadap perempuan. Kedua, bahasa yang digunakan oleh media, masih sangat bias gender dan belum menempatkan perempuan sebagai subjek berita. Padahal, bahasa adalah unsur penting dalam media. Ketiga, kekuasaan dan ideologi serta tekanan tuntutan akumulasi keuntungan dari pemilik media sangat mempengaruhi kurangnya profesionalisme wartawan/reporter lapangan dan redaktur di kantor redaksi dalam memproduksi berita.
Hasil dari sebuah proses jurnalistik oleh media yang sangat terbeban dengan beberapa faktor internal dan eksternal itu adalah diskriminasi terhadap perempuan di ruang publik karena pencitraannya yang bias gender. Perempuan kemudian dicitrakan sebagai makhluk kelas kedua dalam masyarakat, sebagai objek seksual dan lemah dan bodoh makanya perlu dikasihani. Efek dari pengambaran seperti ini, seperti yang dikatakan Nur di atas, bahkan bisa melembagakan praktek kekerasan dalam masyarakat.
Budaya patriarki tenyata juga merasuki media dalam kerjanya menyebarluarkan pesan. Konstruksi yang dihasilkan media melalui pemberitaan dan wacana pada banyak hal menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Bahasa serta penggambaran media tentang perempuan yang bias gender memberi gambaran betapa media kita belum memberi ruang yang baik bagi perempuan untuk ditempatkan dalam posisi yang sama dengan laki-laki.
Media dengan model dan paradigma kerjanya yang masih bias gender sangatlah ampuh dalam menyebabkan diskriminasi perempuan di ruang publik sampai ke tingkat yang lebih kecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Ini terjadi, ketika media akhirnya telah menjadi kebutuhan bagi manusia dalam memperoleh informasi atau pengetahuan. Bukan tidak mungkin, kekerasan dalam rumah tangga, dalam masyarakat serta diskriminasi perempuan di tempat-tempat kerja adalah juga dampak dari pencitraan dan opini yang disebarluaskan media.


Catatan: Kata “Media” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperangkat alat untuk menyebarluaskan informasi, misalnya TV, Koran, majalah, radio, internet, yang di dalamnya membawa pesan, informasi, wacana, dan ideologi untuk diketahui khalayak ramai.

Kepustakaan
Arivia, Gadis., 1998. “Catatan Redaksi”, dalam Jurnal Perempuan, edisi 06, Februari-April 1998. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Eryanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS

Kusumaningrat, Hikmat, dan Kusumaningrat, Purnama., Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Rosda, 2005.

Nur, Yunidar., “Perempuan dan Media Potret Kekerasan dalam Masyarakat”, dalam http://www.radarsulteng.com, edisi Selasa, 16 Agustus 2005.

Pambudy, Ninuk Mardiana., ” Wajah Perempuan di Media Massa” dalam http://www2.kompas.com, edisi Sabtu, 01 Oktober 2005.

Stott, John., 1994. Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, terj. G.M.A. Nainggolan. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

0 komentar: