Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Reportase Rikson Karundeng: "Minahasa Amazing: Dari Zaman Pra Sejarah, Sejarah hingga Minahasa Modern".

Sang surya dengan gagahnya berdiri tegak di atas langit sambil membakar sebuah benda berbentuk bulat bernama bumi yang berada tepat di bawahnya. Jauh di bawah sana, tampak sejumlah Tou Muda Minahasa dengan bendera Mawale Movement sedang menari dihadapan Liquid crystal display (LCD). Otak tiba-tiba memeritahkan tangan mereka untuk segera mengklik tombol mouse dan menghentikan perjalanan keliling dunia sebab keindahan Danau Tondano telah menanti mereka.

Daerah Benteng Moraya saat Perang Tondano. Tampak dari kejauhan wilayah Minawanua yang ditumbuhi pohon Tewasen.

Dengan penuh semangat Green, Rikson, Denni dan Bodewyn meninggalkan GMM (Gerakan Minahasa Muda) Net di Pusat Gerakan Muda Minahasa puncak Maesa UNIMA Tondano. Ekspedisi Kamis, 1 April 2010 kali ini diawali dengan mengamati secara langsung kompleks Benteng Moraya dan Minawanua yang kini berada di sebelah selatan Wanua Roong Kecamatan Tondano Barat. “Disinalah tempat Tou Minahasa yang gagah berani merancang strategi, mengangkat senjata dan berjuang tanpa takut melawan bangsa asing demi mempertahankan harkat dan martabat Tou dan Tanah Adat Minahasa pada tahun 1661-1664, 1709-1711 dan 1808-1809. Di sekitar Minawanua ini banyak waruga, sayang sudah banyak yang diobrak-abrik. Bahkan ada yang sudah diangkat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ini kwa kalu pemerintah tata, boleh dapa lia mantap, ” terang Bodewin Talumewo sambil mengarahkan kameranya ke sebuah hamparan rawa yang luas di hulu sungai Tondano.
Gereja Tua Watumea (1872). Di atas mimbar gereja inilah Johann Frederik Riedel sering mengabarkan Injil.

Perjalanan Tim Ekspedisi Mawale mengitari Danau Tondano yang indah kemudian dilanjutkan ke arah Kecamatan Eris. Satu per satu wanua-wanua di pesisir timur danau Tondano mulai terlewati, mulai dari Wanua Toliang Oki yang terkenal dengan industri furniturenya yang menakjubkan, Ranomerut, Tandengan dan Eris yang terkenal dengan Karamba Mujairnya, dan perjalanan Tim Mawale akhirnya terhenti di sebuah bangunan tua yang ada di Wanua Watumea. “Gereja Tua Watumea ini adalah satu dari dua gereja tertua di Minahasa. Selesai dibangun pada tahun 1872 dan ditahbiskan oleh Ds. H. Rooker pada Minggu 8 Desember 1872, jadi umurnya saat ini sudah 138 tahun,” kata Kostor Joubert Kawengian sambil menunjukkan beberapa bagian gedung gereja yang sudah ada sejak gereja itu dibangun seperti Mimbar, lonceng, termasuk kursi rotan buatan Austria yang masih digunakan hingga kini.
Baki Roti dan Cawan Perjamuan Kudus, Wadah Air untuk Baptisan dan Tempat Persembahan berusia 138 tahun hingga kini masih digunakan di gereja Tua Watumea .

Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 Wita, dan kini Tim Mawale telah memasuki Wanua Telap. Perjalanan tiba-tiba terhenti tatkala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah benda yang tampaknya telah terekam sebelumnya dalam memorinya. “Stop Tuama, co ngoni lia tu lonceng da tagantong di sei rumah tua sana. Depe model sama deng tu di Watumea kang ?”. Pertanyaan Denni inipun mengusik hati untuk segera mencari jawabannya.

“Itu lonceng kita pe tau kamari so ada. Soalanya dulu torang pe rumah ini gereja kong tu lonceng itu ada di sini. Sebelumnya tu lonceng itu kata deri gereja pertama di Telap yang ada di blakang pa torang ini,” kata Opa Tinangon yang kini telah berusia 87 tahun dan tinggal di wilayah Telap Tua atau Lama. Menurut informasi yang diperoleh Tim Mawale, lonceng itu sudah ada sejak tahun 1830, ketika gereja di Wanua itu pertaman kali dibangun.

Salah satu tujuan Tim Mawale dalam ekspedisi kali ini sebenarnya adalah mengunjungi situs Wengkang-Gerungan yang terletak di hutan dengan jarak kurang lebih 5 km dari Wanua Telap. Situs itu berada di ngarai yang dalam disamping sungai kecil. Batu yang bentuk permukaannya datar kurang lebih panjang 5 Meter dan lebar 4 meter. Diatasnya tertoreh dua bentuk contour manusia yang lebar bahunya 95 cm dan panjang tubuhnya hampir 250 cm. Sayang, waktu sepertinya tak memungkinkan lagi bagi Tim untuk mengunjungi Batu Pinatik itu.

Wengkang dan Gerungan adalah dua orang sahabat karib yang tercatat sebagai dua orang tokoh yang terlibat secara langsung dalam perang heroik antara Bolmong dengan Minahasa pada tahun 1606. Gerungan saat itu adalah Kepala Walak merangkap Teterusan Walak Toudano dan Wengkang adalah pemimpin para waraney dari Kakas. Menurut kisah yang diperoleh dari penduduk sekitar bahkan sejumlah literatur, bentuk tubuh yang tertoreh adalah dotu Gerungan dan temannya Wengakang. Secara bergantian Wengakang tidur di batu dan Gerungan menoreh batu hanya dengan jarinya mengikuti contour tubuh Wengakang dan sebaliknya Gerungan tidur dan Wengakang menoreh batu dengan jari telunjuknya sedalam satu setengah cm. Kelihatannya itu dibuat sebagai tanda persahatan mereka berdua. Tapi sayang situs tersebut telah banyak di rusak pengunjung dengan menatah batu serta menulis nama tanggal dan lain-lain.

Tak sempat ke batu pinatik Wengakang-Gerungan, Tim Mawale tetap tak ingin menyianyiakan kehadiran di Wanua Telap. Tim pun bergerak menuju sebuah bukit yang menjorok ke danau Tondano di Wanua tersebut. Dari bukit itu tampak jelas luas wilayah perkampungan Wanua Telap sementara di arah Barat, tampak Danau Tondano yang indah yang dikelilingi pegunungan mengagumkan. Lebih dari itu sebenarnya, di bukit kecil ini terdapat Batu Meja. Daun meja dari batu dengan tebal kurang lebih 15 cm dan memiliki panjang 1 meter serta lebar 60 cm ini bentuknya tidak beraturan. Daun meja ini ditopang kaki meja dari batu-batu berbagai ukuran. Diantaranya ditoreh bentuk muka dotu Gerungan dan Wengkang, yang bentuk mukanya sama dengan wajah yang tertoreh di Batu Pinatik. Menurut cerita, daun meja batu yang berat itu dibawa dari daerah Batu Pinatik dengan hanya ditenteng (di kele) oleh kedua kepala walak yang dikenal berpostur tubuh raksasa itu.
Batu Meja di Telap (1606). Di tempat ini biasanya Dotu Wengkang dan Gerungan bercakap-cakap sambil mengintai keberadaan musuh.

Pukul 15.15 Wita, Tim Mawale melanjutkan perjalan dan berhenti sejenak di Wanua Tasuka, dimana Ex pelabuhan pesawat amphibi masa Jepang masih berdiri kokoh. Menurut cerita, di masa Perang Dunia II, para opsir bawahan KNIL sersan Efron Paat, sersan Paul Pinontoan, sersan Mo’e, sersan Daniel Timbongol, kopral Herman Lowing, dan spandri Cornelis Wahani, memimpin tiga brigade pasukan Reservekorps yang dibebani tugas menjaga pangkalan udara amfibi Tasuka.

Kini, dermaga itu adalah salah satu sudut terbaik untuk menikmati keindahan danau Tondano dan sekitarnya. Eks pangkalan udara yang dibangun pada masa PD II sebagi tempat mendaratnya pesawat jenis Katalina atau Albatros itu, kini sehari-hari digunakan sebagai tempat bermain anak-anak sekitar.
Anak-anak Wanua Tasuka menikmati sore sambil mandi di sekitar dermaga Tasuka yang dibangun masa PD II.

Dari Wanua Tasuka, Tim Mawale baron Kakas ke waruga Lalamentik, kubur Majoor Inkiriwang, dan berhenti lagi di Wanua Paso. Dua kendaraan roda dua itu berhenti tepat di depan gedung gereja GMIM Immanuel Paso. Tempat ini adalah satu kawasan yang oleh kalangan arkeolog disebut sebagai sampah kerang Paso. Situs yang terletak di Wanua Paso Kecamatan Kakas ini berisi sisa-sisa buangan sampah manusia purba Minahasa, yang oleh peneliti asal Australia, Peter Bellwood, diperkirakan berusia 8.000 tahun. Disebut sampah kerang, karena tumpukan yang kini mengeras berasal dari sisa cangkang renga dan kolombi yang dikonsumsi masyarakat Minahasa purba yang mendiami tempat itu. Selain kerang, Bellwood menemukan sisa-sisa tulang berbagai jenis hewan seperti babi hutan (Sus sp), anoa (Bubalus sp), burung, kelelawar kecil, tikus dan ular patola (Phyton sp). Diduga, manusia purba Minahasa mendiami lokasi itu selama ratusan tahun. Sisa-sisa cangkang kerang dibuang ke lsquo;tempat pembuangan akhir rsquo; yang akhirnya menumpuk dan mengeras, seluas 30 meter dengan kedalaman satu meter.

Satu hal menarik yang dijumpai Tim Mawale, masyarakat sekitar mengisahkan bahwa sejak dahulu di lokasi tersebut terdapat sebuah batu yang tidak boleh diusik sebab jika diangkat, dipercaya akan mengeluarkan air panas. Makanya, untuk mengamankan lokasi tersebut, disepakati masyarakat untuk membangun gedung gereja di atasnya. Letak batu yang dimaksud, menurut warga kini berada tepat di bawah mimbar dalam gedung gereja GMIM Imanuel Paso. Hem…….

Tim Mawale sebenarnya bermaksud hendak mengunjungi sebuah goa yang terletak di Wanua Sinuian dan sejumlah situs budaya yag ada di Romboken. Namun, gelap malam yang semakin pekat memaksa tim untuk mengurungkan niat tersebut. “Situs di wilayah Romboke kan banya skali. Jadi, torang memang perlu waktu satu hari fol mo cari tu situs-situs itu,” Kata Greenhill Weol.

“Bagimana kalu ziarah kultura di situs-situs budaya di sekitar Romboken torang ambe satu hari berikut,” usul Bodewin Talumewo yang langsung disetujui semua anggota Tim Ekspedisi Mawale.

Perjalanan Tim Mawale kali ini memang sangat berbeda dari biasanya. Sebab sepanjang jalan, Tim juga bisa menikmati keindahan Wanua-Wanua yang telah didandani dengan berbagai ornament khas perayaan Jumat Agung dan Paskah. Salib-Salib berbagai ukuran dan bentuk terpampang di mana-mana. Kata Denni Pinontoan, mudah-mudahan pemandangan ini tidak ditangkap sebagai bentuk kekerasan. “Hahaha….hihihi….wkwkwk…” itulah respons anggota Tim tatkala mendengar celutukan Denni itu. Walaupun dalam hati mereka juga ikut berpikir.

“So banya skali situs baru da muncul di pinggir jalan. Kalu tu Tou Minahasa pe smangat begini sama deng dorang pe smangat mo menjaga deng melestarikan situs budaya termasuk nilai-nilai budaya Minahasa, tantu torang pe Tou deng Tanah Minahasa somo lebeh mantap,” ujar Green dengan nada guyonan.
“……………………………..,” ungkapan Green ini disambut dengan ekspresi diam oleh anggota Tom Mawale yang lain.


Banyak kisah-kisah menarik terkait sejarah, tokoh dan mitos yang diperoleh Tim Mawale terkait situs dan lokasi yang dikunjungi dalam perjalanan mengeliligi danau Tondano, namun kisah-kisah selengkapnya dapat anda peroleh di Majalah “WALETA MINAHASA” terbitan Gerakan Minahasa Muda dan Mawale Cultural Center yang rencananya akan dilaunching pertengahan bulan April 2010. Bagimana Tou Minahasa, boleh sampe di sini dulu tu cerita ???

0 komentar: