Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Esei Denni Pinontoan: "Politik Baliho Pilkada Sulut".

Baliho-baliho yang dirancang sebagai media kampanye bagi para calon kepada daerah di Sulawesi Utara ikut mewarnai perayaan Natal dan Tahun Baru yang baru lewat. Baliho-baliho tersebut berisi foto sang calon dan kalimat-kalimat iklan politik. Slogan-slogan kesejahteraan dirangkai dalam kalimat-kalimat yang memang menggoda publik. Agaknya, inilah momen tepat untuk berkampanye, mengingat pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di level kabupaten/kota dan provinsi akan dilaksanakan pada tahun 2010 ini. Selain baliho, media dan cara kampanye lainya juga semakin kreatif, misalnya dengan iming-iming beasiswa, bagi-bagi uang, bantuan modal usaha, dan lain sebagainya.

Baliho sebagai salah satu media kampanye, rupanya menjadi pilihan terkini setelah daya kreasi dan perangkat pendukungya berkembang pesat seiring perkembangan alat-alat modern. Politik kita memang sedang dan sudah berada di era liberal dan komersial. Bahwa, masing-masing orang merasa memiliki hak dan kebebasannya untuk mencalonkan diri, dan mau tak mau persaingan ala dagangpun menjadi bagian dalam politik Pilkada daerah ini. Politik kini tak ubahnya seperti strategi pemasaran produk, yang membutuhkan strategi pemasaran yang jitu. Kampanye yang telah sangat mirip dengan iklan-iklan produkpun akhirnya menjadi sepaket dengan strategi politik masing-masing calon.

Menarik bila kita mengamati isi materi dari baliho-baliho politik tersebut. Secara garis besar yang bisa kita amati bahwa yang menjadi penting untuk ditonjolkan adalah gambar atau foto dari si calon. Seperti iklan produk, ini adalah gambar bentuk dari produk tersebut yang sejatinya harus ditampilkan semenarik mungkin, yang barangkali antara lain adalah untuk menyamarkan tampilan fisik sebenarnya dari si calon. Ahli design grafis sangat memegang peranan penting untuk hal ini. Berikut adalah kalimat-kalimat provokatif yang memang sengaja dirancang untuk menarik perhatian publik. Para pengkreasi kalimat ini agaknya kebanyakan jatuh pada pilihan menjadikan akronim nama calon untuk menyingkatkan slogan atau moto politik. Beberapa di antaranya, memang mencantumkan secara singkat visi dan misi politiknya. Dengan demikian, fenomena ini akhirnya sedang menggambarkan kepada kita betapa politik kita sudah sangat liberal dan komersil, dalam pengertian politik yang memakai mekanisme dan sistem dagang (pasar) yang penuh persaingan (siapa kuat dia dapat).

Sebenarnya, dengan demikian fenomena baliho-baliho politik ini sedang menyamarkan siapa sesungguhnya si calon dengan slogan-slogan dan foto-foto yang merupakan hasil rekayasa teknologi. Maka, maksud dari sistem ini adalah untuk membius dan menggiring publik pada mimpi-mimpi politik melalui baliho politik masing-masing calon. Artinya, media gambar dan permainan bahasa di baliho-baliho tersebut sedang bermaksud membuat rakyat tergoda pada janji-janji manis. Dan hal ini tak ubahnya iklan produk yang disaksikan melalui tv, papan-papan reklame atau juga baliho-baliho, yang memang dimaksudkan membangkitkan daya tarik calon pembeli untuk membeli produk tersebut.

Pada hal bahwa era liberal dan komersil sedang menggejala dalam ketidaksadaran dan kesadaran public, dan akhirnya politik juga harus mengambil cara dan bentuk seperti itu, fenomena baliho politik adalah sesuatu yang harus terjadi dan akhirnya menjadi wajar adanya. Suksesi dari dulu selalu mencari cara kreatif bagi yang terlibat di dalamnya untuk menampilkan diri dan menarik dukungan dari audiens. Maka, cara dan bentuk modern dari usaha menarik perhatian tersebut adalah melalui baliho politik. Namun, terkini mungkin kita harus menyoal terutama isi baliho-baliho tersebut.

Soal gambar atau foto calon, saya kira sudah jelas, bahwa memang adalah wajar jika gambar atau foto si calon harus dirancang dominan. Namanya saja untuk memperkenalkan diri. Namun, persoalan berikut adalah kalimat-kalimat atau slogan-slogan yang ditampilkan bersama-sama dengan foto atau gambar dalam baliho tersebut. Kebanyakan yang dapat kita amati bahwa kalimat-kalimat tersebut, selain memang bersifat sloganistik, namun juga pada umumnya memperlihatkan bahwa si calon selalu menempatkan diri sebagai subjek. Misalnya dengan penggunaan kata “saya berjanji…” atau “jika saya diberi kesempaatan, maka saya akan….”, atau juga “Bersama …(nama calon)….rakyat akan sejahtera…”

Jarang kalimat-kalimat yang sloganistik tersebut menjadikan rakyat sebagai subjek. Dalam pengertian bahwa si calon sebenarnya dalam kesadaran bahwa dia sebagai seorang manusia yang sama dengan publik dan mereka hanya berbeda pada kesempatan dan penguasaan di bidang tertentu dengan rakyat, bermaksud menjadikan rakyat sebagai fokus. Rakyat yang banyak itu, dalam slogan-slogan politik tersebut belum dilihat sebagai kekuatan yang massif dalam sebuah proses yang bernama pembangunan, dan dengan demikian rakyat mestinya dijadikan sebagai subjek proses tersebut. Fungsi kepala daerah sebenarnya lebih kepada fasilitator untuk memadukan keragaman potensi dan kekuatan yang ada pada rakyat yang banyak itu.

Maka, baik foto atau gambar calon di baliho-baliho yang “narsis” tersebut, maupun slogan-slogan politiknya sudah sangat jelas memperlihatkan kepada kita bahwa sentralisme kekuasaan yang nantinya akan melahirkan “raja’raja kecil” di daerah ini masih akan menjadi kenyataan dalam politik pemerintahan daerah kita. Rakyat, nantinya hanya akan dijadikan sebagai objek dalam perda, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan di hampir semua dimensi kehidupan. Rakyat, untuk kesekian kalinya hanya akan menjadi penonton dalam proses pembangunan. Dengan demikian, pemiskinanpun akan terus berlanjut ketika rakyat hanya dilibatkan dalam kampanye-kampanye dan pemungutan suara. Setelah semua itu usai rakyat akan kembali terasing di kebun, di sawah, di laut, di pabrik-pabrik tempat dia berusaha untuk bisa terus hidup. Sebab, kantor-kantor pemerintahan dan kantor dewan ditutup dengan tembok-tembok “narsisme” dan “sentralisme” politik, yang memisahkan kehidupan rill rakyat dengan persekongkolan politik para elit. Inilah hasil dari Politik Baliho atau Baliho Politik itu. Maka, jangan sekali-kali percaya dengan baliho-baliho politik tersebut!

Motoling, 3 Januari 2010

0 komentar: