Tabea Waya e Karapi!

Sastra for Minahasa Masa Depan!

Mengapa sastra (baca: tulisan)?

Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasa atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.


Kemudian: Mengapa pake Bahasa Manado? No kong kyapa dang?

Karena tak ada lagi bahasa lain yang menjadi 'lingua franca" di se-enteru Minahasa hari ini selain bahasa yang dulunya torang kenal juga sebagai "Melayu Manado".

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, io toh?



Tulisan Paling Baru

ini tong pe posting terbaru.

Reportase Denni Pinontoan: "Memahami Pemikiran Gus Dur dalam Konteks Minahasa: Dari Diskusi Bakudapa Mawale 9 Januari 2010".


Tomohon - Abdurahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, adalah tokoh bangsa yang memahami Islam sebagai agama yang dinamis dan transformatif. Pemikiran Gus Dur yang melampaui zamanya itu sangat relevan dalam konteks Indonesia yang multikultur.

Aktivis Gerakan Minahasa Muda (GMM), Rikson Karundeng mengatakan, Gus Dur, untuk masyarakat Minahasa dikenal pemimpin yang pernah berjasa dalam menaikkan harga Cengkih. “Bagi masyarakat etnis Tionghoa, Gus Dur bahkan dikenal sebagai tokoh yang telah memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga Indonesia,” kata Rikson membuka acara ‘Bakudapa Mawale”, yang bertajuk “Gus Dur, Islam, dan Multikulturalisme” yang digagas oleh Mawale Cultural Center (MCC) di Tomohon Sabtu (9/01/2010).

Hadir dalam acara “Bakudapa Mawale” tersebut antara lain Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab. Manado dan Tondano, Tokoh Muda Khonghucu Sulut, Sofyan Yosadi, SH, Ketua Penggerak Gerakan Minahasa Muda (GMM) Meidy Tinangon, sejumlah mahasiswa UKIT, Frisky Tandaju dari Pinawetengan Muda.

Sofyan Yosadi mengatakan, bagi etnis Tionghoa dan penganut agama Konghucu di Indonesia, Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang telah memberi ruang kebebasan bagi mereka untuk mengekspresikan kebudayaan agamanya. “Di zaman Gus Dur agama Konghucu kemudian bisa bebas beribadah lagi, begitu juga dengan barongsai dan beberapa budaya Tionghoa lainnya. Gus Dur sangat berjasa bagi kami, tapi sebenarnya dia juga berjasa untuk Indonesia, lebih khusus pada perjuangan keadilan dan perdamaian,” kata Yosadi.

Meidy Tinangon mengatakan, dalam konteks Minahasa sekarang ini terpenting adalah memberi apresiasi terhadap pemikiran Gus Dur dengan lain bersikap terbuka terhadap yang lain. “Realitas di Minahasa, masih banyak yang bersikap eksklusif dalam memahami kehadiran yang lain. Padahal, kondisi sosial lokal dan global kita menuntut keterbukaan dalam berinteraksi. Pemikiran Gus Dur tentang ini sangat maju, dan sudah semestinya pemikirannya terus dilanjutkan dan dikembangkan,” kata Tinangon.

Rusli Umar, dari PMII Cab. Manado mengurai tentang perjalanan intelektual Gus Dur yang sangat kompleks. “Gus Dur, tokoh Islam yang terbuka, makanya dia seorang intelektual yang berwawasan luas. Latar belakang pendidikannya ala pesantren yang tradisional, kemudian di Cairo dan Baghdad antara lain yang telah membentuk karakter pemikirannya yang khas. Gus yang kemudian menjadi sangat pluralis, tentu tak lepas dari interaksi keilmuannya dengan pemikiran-pemikiran Barat. Gus Dur melampaui cara pikir kebanyakan ulama NU lainnya,” jelas Rusli.

Pertanyaan menarik diajukan oleh Fredy Wowor dari Mawale Cultural Center. “Siapa setelah Gus Dur? Saya pikir ini yang penting untuk kita renungi bersama. Bahwa, sebagai seorang yang mampu melampaui zaman dalam berpikir, pemikiran Gus Dur perlu dilanjutkan dalam kontek keberagaman Indonesia,” ungkapnya.

Beberapa peserta diskusi lainnya, antara lain Greenhill Weol, Denni Pinontoan, dan Frisky Tandaju menegaskan soal pentingannya mengembangkan sikap yang multikulturalis dalam konteks Indonesia. Sebab, multikulturalisme memberi penegasan mengenai hak-hak kaum minoritas, misalnya suku, ras dan agama untuk eksis. Hak-hak hidup kaum minoritas juga dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam perjuangan keadilan dan persamaan dalam sebuah negara multikultur. Menurut mereka sudah saatnya konsep-konsep pemikiran Gus Dur yang dinilai bercorak multikulturalisme ini dikembangkan dan diterapkan dalam mengkritik sentralisme dan absolutisme kekuasaan pusat.

0 komentar: